kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / refleksi

Return on failure

oleh Ekuslie Goestiandi - Pengamat Manajemen dan Kepemimpinan


Selasa, 23 Agustus 2016 / 18:37 WIB

Reporter: Ekuslie Goestiandi | Editor: hendrika.yunaprita

Dalam buku klasiknya, Built to Last: Successful Habits of Visionary Companies (1998), guru manajemen Jim Collins menuturkan, there is a lot of evidence when we learn a lot more from failure than from success. It can be difficult to learn from success.

Pimpinan perusahaan inovatif 3M yang sangat legendaris, William McKnight, juga pernah berkata, the best and hardest work is done in the spirit of adventure and challenge. And, mistake will be made.

Setali tiga uang, Ed Catmull, President Pixar Animation Studios, perusahaan teknologi animasi, berpandangan mistakes arent a necessary evil. They arent evil at all. They are an inevitable consequence of doing something new.. and should be seen as valuable.

Ringkas cerita, para pakar dan pelaku bisnis bersepakat, bahwa pembelajaran dari kegagalan adalah hal yang tak terhindarkan, bila sebuah perusahaan ingin berkembang maju dan inovatif.

Studi yang dilakukan konsultan beken Boston Consulting Group juga mengukuhkan keyakinan ini. Dari responden korporasi yang mereka survei, 31% menyatakan, budaya menghindari risiko kegagalan atau risk-averse merupakan biang kendala sebuah perusahaan melakukan inovasi.

Lain pikiran, lain juga tindakan. Sama halnya pula, lain hasil studi, lain juga kenyataan di lapangan. Dalam keseharian perusahaan, proses pengelolaan anggaran, alokasi sumber daya dan manajemen risiko dilakukan terutama di atas prinsip efisiensi, akurasi, juga kontrol yang ketat. Semakin efisien cara kerjanya, semakin yakin orang akan efektivitas hasilnya. Semakin rendah derajat kesalahan, semakin baiklah nilai kinerjanya.

Dan, mereka yang bekerja secara efisien dan menunjukkan kinerja tanpa kesalahan lah yang akan dinilai sebagai profesional yang andal serta layak dipromosikan.

Jadi, sekalipun mengerti bahwa kegagalan adalah prakondisi mutlak bagi kemajuan dan inovasi, mereka tetap berusaha dengan berbagai cara untuk menghindarinya. Sebuah kondisi yang paradoksal, yakni saat seseorang memiliki keyakinan yang mendalam terhadap sesuatu, perilakunya secara nyata justru menghindarinya.

Dalam urusan perilaku kerja seseorang, berlaku adagium klasik yang berbunyi: what get measured, get done. Apa yang dituntut dan diukurkan kepada seseorang, itulah yang akan dilakukannya pula.

Dengan demikian, sekalipun kegagalan diyakini sebagai hal penting bagi kemajuan seseorang/organisasi, namun karena tak dituntut dan diukurkan secara jelas, orang pun enggan melakukan.

Bahkan, seringkali yang terjadi justru sebaliknya. Semakin sering dan banyak kegagalan yang ditunjukkan seseorang, semakin rendahlah nilai kinerja yang disematkan kepadanya.

Praktis tanpa memperhatikan konteksnya, apakah kegagalan itu memang sebuah kelalaian, atawa justru akibat dari eksperimen pembelajaran.

Manfaat pembelajaran

Julian Birkinshaw dan Martine Haas, ahli strategi dan kewirausahaan dari London Business School dan Wharton School University of Pennsylvania, menggagas ide untuk meningkatkan Return on Failure (HBR, May 2016). Kita mungkin sudah familiar dengan beberapa pengukuran bisnis, seperti ROI (Return on Investment) ataupun ROI (Return on Assets), yang jadi indikator apakah nilai investasi dan jumlah asset yang dialokasikan dalam suatu inisiatif bisnis mendatangkan hasil yang positif atau tidak.

Hal yang sama juga berlaku untuk Return on Failure (ROF): kita bisa mengukur kegagalan yang dialami dalam suatu inisiatif kerja akan mendatangkan manfaat pembelajaran atau tidak.

Menurut Birkinshaw dan Haas, ada tiga langkah yang perlu dilakukan untuk meningkatkan ROF organisasi.

Pertama, temukan butir-butir pembelajaran penting dalam setiap pengalaman kegagalan. Kegagalan memang menyakitkan, namun jika dipelajari secara seksama dengan kepala yang tenang, niscaya ada pembelajaran yang bermanfaat di dalamnya. Pembelajaran tersebut bisa berupa: pemahaman situasi pasar yang lebih baik, pengertian terhadap regulasi pemerintah yang lebih tajam, ataupun pengenalan tim dan suasana kerja yang lebih cermat.

Kedua, bagikan butir-butir pembelajaran tersebut kepada seluruh organisasi, sehingga hasil pembelajaran dapat termultiplikasi secara masif. Kesalahan yang terjadi di satu tempat akan menjadi pembelajaran di tempat lain. Kegagalan di masa lalu akan jadi pembelajaran di masa mendatang. Beberapa perusahaan bahkan mendokumentasikan dengan baik risalah kegagalan ini, supaya bisa dimanfaatkan oleh banyak orang, entah masa kini ataupun masa yang akan datang.

Ketiga, lakukan review terhadap pendekatan kita dalam menyikapi kegagalan. Memang benar, inovasi dan kemajuan selalu berangkat dari pengalaman kegagalan. Tapi, tidak berarti setiap kegagalan akan mendatangkan perbaikan dan kemajuan. Walaupun banyak yang mendatangkan pembelajaran, tak kurang juga kegagalan yang muncul karena kelalaian semata. Kita harus bisa memastikan bahwa kegagalan yang kita alami memang kegagalan yang bermanfaat, bukan sebuah kelalaian yang sia-sia.

Kegagalan yang kita alami akan menjadi tak begitu menyakitkan, bila bisa menghadirkan manfaat pembelajaran maksimal darinya. Bahkan, boleh jadi akan berubah jadi pembelajaran menggembirakan.



TERBARU

×