kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / wakeupcall

Bias reaksi investor yang tidak proporsional

oleh Budi Frensidy - Staf Pengajar FEB-UI dan Pengamat Pasar Modal


Senin, 05 September 2016 / 16:49 WIB
Bias reaksi investor yang tidak proporsional

Reporter: Budi Frensidy | Editor: hendrika.yunaprita

Pertanyaan utama dalam teori investasi adalah apakah pasar saham efisien. Jika cukup banyak investor lihai yang selalu dapat memanfaatkan semua kesempatan meraup untung, harga saham cenderung cepat menyesuaikan diri, sehingga pasar menjadi efisien.

Keberadaan mereka akan segera menghilangkan mispricing yang terjadi. Jika jumlah mereka sedikit sehingga mispricing dapat bertahan lama, pasar dikatakan tidak efisien.

Memahami mispricing sangat penting bagi investor. Kadang mispricing diikuti reversal atau pembalikan harga, tetapi tidak jarang menghasilkan momentum, karena ada dua sumber mispricing yaitu overreaction dan underreaction.

Menurut pendukung pasar efisien, keduanya bersifat acak dan tidak mudah diprediksi, sehingga sulit mendulang untung abnormal. Eugene Fama dalam dua artikelnya di tahun 1998 mengatakan overreaction di bursa sama umumnya dengan underreaction dan tidak ada polanya.

Namun, pengikut behavioral finance memandangnya sebagai penyimpangan sistematis dari efisiensi pasar. Mereka menolak pandangan Fama, sambil menunjukkan sejumlah bukti empiris bahwa overreaction terjadi dalam jangka panjang (1 tahun-3 tahun), sementara underreaction dalam jangka pendek (3 bulan-6 bulan). Kedua kejadian ini menandakan pasar tidak efisien. Ini berarti ada kesempatan memperoleh keuntungan di atas rata-rata pasar.

Apa itu overreaction dan underreaction?

Overreaction dan underreaction adalah kondisi ketika investor dan trader bereaksi tidak proporsional terhadap informasi baru mengenai sebuah saham. Jika reaksi mereka berlebihan dikatakan overreaction dan jika harga tidak spontan merespons atau bereaksi kurang dari semestinya, kita sebut underreaction. Kedua kondisi ini menyebabkan harga saham tidak mencerminkan nilai fundamentalnya.

Dalam kasus overreaction, harga saham berubah drastis, yaitu naik kencang saat mendengar kabar positif dan turun dalam ketika muncul berita negatif. Namun, ayunan harga tidak berlangsung lama, harga saham perlahan tetapi pasti, kembali ke nilai intrinsik.

Contoh overreaction, sebuah emiten baru saja mengumumkan laporan keuangan tahunan yang mampu mengalahkan ekspektasi para analis dan investor beberapa rupiah atau sekitar 5% dan tidak ada isu aksi korporasi lain. Jika kemudian para investor dan trader ramai berburu saham ini dan berani menawar hingga harga tertinggi, katakan puluhan persen dari harga sebelum pengumuman, mereka telah bereaksi berlebihan. Harga dalam waktu singkat mungkin saja ikut melonjak karena aksi beberapa investor emosional atau irasional. Namun, tidak lama harga saham akan kembali ke nilainya. Kalaupun naik, wajarnya hanya di 5%-10%.

Reaksi berlebihan marak terjadi saat sebuah saham go public. Literatur behavioral finance mencatat, beberapa saham naik hingga ratusan persen pada hari pertama melantai di bursa. Di urutan pertama ada theGlobe.com yang memberikan return hingga 606% sehari. Pada 13 November 1998, saham yang harga IPO-nya hanya US$ 9, langsung diperdagangkan di US$ 87 dan terus naik hingga US$ 97, sebelum tutup di US$ 63,5 pada hari itu. Harga theGlobe kemudian jatuh hinggaUS$ 10 sen pada 2001. Tahun 2009 perusahaan tidak memperoleh pendapatan lagi dan utangnya sampai 500 kali nilai aset.

Di urutan kedua ada MarketWatch.com yang ditawarkan pada harga US$ 17 di pasar perdana. Harganya sempat melesat menjadi US$ 130 sebelum tutup pada US$ 97,5 atau meroket 474% pada 15 Januari 1998.

Di bursa kita, overreaction tidak pernah sampai ratusan persen, karena ada maksimum kenaikan harga yang diperkenankan di hari pertama listing, yaitu dua kali autoreject pada perdagangan harian saham, yang 20%–35%. Jadi, hanya bisa naik maksimal 40%–70%.

Mungkin Anda masih ingat kasus KRAS yang mengalami autoreject kanan pada hari pertama di pasar sekunder di penghujung tahun 2010. Dan berlanjut di hari kedua hingga menembus Rp 1.500 dari harga IPO di Rp 850. Setelah itu harga saham ini terus melempem dan tidak pernah kembali ke harga awal. Akhir pekan lalu saham ini masih di Rp 690.

Contoh lain adalah saham BJBR yang juga mengalami autoreject kanan di hari pertama melantai pada 8 Juli 2010 karena naik 50% (maksimum). Harga masih terus naik dan berada di Rp 1.600 tiga bulan kemudian. Setelah itu harga berbalik arah dan hingga semester satu tahun ini tidak pernah ke harga tertinggi di tahun 2010.

Pesan bias overreaction ini jelas, jangan mengejar saham yang sudah terbang tinggi apalagi pada eforia IPO. Waspadai bias overreaction setiap kali terjadi autoreject sebuah saham, baik atas maupun bawah.

Bukti empiris mengingatkan Anda bisa gigit jari dalam 6 bulan-3 tahun kemudian karena longterm underperformance. Literatur keuangan mencatat efek reaksi berlebiham saham-saham IPO pada hari-hari atau bulan pertama sebagai efek longterm reversal atau efek Bondt-Thaler. Selain saat IPO, overreaction dengan arah berlawanan dengan saat IPO kerap terjadi saat investor dan trader memperoleh pengumuman earnings atau aksi korporasi yang negatif.

Di posisi berlawanan, kita mengenal underreaction atau momentum. Dalam memprediksi masa depan, banyak orang terpaku kinerja masa lalu. Underreaction kerap terjadi ketika investor dan trader memperoleh informasi terbaru mengenai laba perusahaan. Jika berita laba bersih per saham jauh di atas ekspektasi, harga naik dan meneruskan kenaikan berhari-hari atau berminggu-minggu. Sebaliknya jika berita laba bersih per saham negatif, harga cenderung turun beberapa hari menuju nilai fundamentalnya.

Saya akan menulis tentang contoh underreaction di bursa kita pada kesempatan lain. Mana yang lebih sering terjadi underreaction terhadap berita positif atau berita negatif?



TERBARU

×