kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / refleksi

Bukan bos tapi gembala

oleh Ekuslie Goestiandi - Pengamat Manajemen dan Kepemimpinan


Senin, 05 September 2016 / 16:55 WIB

Reporter: Ekuslie Goestiandi | Editor: hendrika.yunaprita

Mari sejenak kita kembali melihat praksis kepemimpin di zaman jahiliah, persisnya di era perbudakan. Pada masa itu, seorang budak sepenuhnya bergantung kepada sang pemimpin, karena hidupnya sudah dibeli olehnya. Karena kepemilikannya, sang pemimpin ini juga disebut dengan istilah majikan, juragan, atawa bos.

Seorang bos memahami orang yang dipimpinnya tak lebih dari seorang hamba sahaya yang boleh dan pantas diperlakukan apa saja seturut keinginannya. Bahkan, menindas kemudian membuangnya saat dirasakan tak bermanfaat lagi. Di sini bos memandang dirinya sebagai penguasa yang punya hak penuh untuk melakukan apa saja terhadap orang yang dipimpinnya.

Dalam konteks yang berbeda dan takaran yang lebih ringan, mentalitas tuan seperti ini masih terus berjalan pasca era perbudakan. Entah itu dalam kehidupan pribadi, organisasi sosial kemasyarakatan, maupun institusi bisnis. Banyak atasan bersikap sewenang-wenang kepada bawahannya, karena merasa telah memberikan gaji kepada mereka. Atasan menentukan apa saja yang harus dan boleh dikerjakan bawahan, tanpa memberikan peluang untuk berkreasi dan memikirkan bentuk kontribusi yang bisa diberikan kepada organisasi.

Hingga pada tahun 2002, seorang pemikir kepemimpinan John Adair meluncurkan bukunya yang sangat inspiratif, Not Bosses, But Leaders: How to Lead the Way to Success. Judul bukunya sendiri sudah mengingatkan seorang atasan, bahwa fungsi utama yang harus diperankan adalah sebagai pemimpin, bukannya bos.

Ada beberapa perbedaan mencolok yang disampaikan oleh Adair tentang kedua peran tersebut.

Bos berpikir tentang kepentingan dan kepuasan pribadi, sementara pemimpin berorientasi kepada kepentingan dan sasaran organisasi. Bos fokus kepada kedudukan jabatannya, sedang pemimpin mengutamakan keteladanan pribadi. Bos mengandalkan kekuasaan formal, sementara pemimpin menggunakan daya pengaruh informal.

Dan, bos bertindak reaktif layaknya seorang pemadam kebakaran (fire fighter), sedangkan pemimpin berinisiatif menentukan arah perjalanan kawanannya (path-finder).

Sejarah menunjukkan, para pemimpin besar adalah sosok-sosok yang mampu menggetarkan hati dan rasa kawanannya, bukan sekadar memerintah dan menggerakkan langkah mereka. Karena, pada dasarnya manusia (sebagaimana makhluk hidup lainnya) cenderung lebih peka terhadap sentuhan perasaan daripada petunjuk, apalagi titah dari orang lain. Touch their heart before asking for their hand, demikianlah nasehat yang sering kali kita dengar.

Sifat mengampuni

Itulah sebabnya, dalam ilmu kebajikan tradisional (traditional wisdom), para pemimpin sering dianalogikan pula sebagai gembala. Beberapa agama bahkan menyebut pemimpinnya sebagai gembala. Pemimpin disetarakan dengan gembala, pertama-tama bukan lantaran kecerdasan intelektualnya, tapi karena kepedulian hatinya.

Dengan bahasanya yang sederhana, seorang peternak kambing di desa kecil menceritakan pengalaman kegembalaannya kepada saya. Ada tiga kualitas diri seorang gembala yang baik, yang bisa saya tarik dari perbincangan itu.

Pertama, seorang gembala yang baik ialah sosok yang peduli (caring) kepada kawanan atau peliharaannya. Ia peduli pada kelangsungan, kesehatan, dan pertumbuhan para kawanannya. Itulah alasan, mengapa ia akan mencarikan rumput, memandikan, juga menjaga kesehatan kawanannya.

Kedua, lebih dari peduli, seorang gembala yang baik memiliki rasa welas asih (compassion) kepada kawanannya. Dia merasakan suasana batin hewan yang diternaknya, entah itu pada saat hewan lapar, sakit, juga ketika senang. Jangan menduga seorang gembala sedang gila, bila ia tiba-tiba tampak sedang bercengkerama dan bersenda gurau dengan hewan piaraannya. Mereka tidak sedang kehilangan kewarasannya, justru begitu terlibat dengan kawanan di sekitarnya.

Terakhir atau ketiga adalah kualitas kegembalaan yang sangat unik, dan sedikit terdengar aneh di telinga kita. Kualitas itu: sifat mengampuni (forgiving). Mungkin kita bertanya-tanya, apa pula hubungannya antara kepemimpinan dan pengampunan? Namun, sang gembala punya jawaban yang membuat saya tertegun. Katanya, tanpa pengampunan, sudah banyak hewan saya yang mati. Entah mati karena dipukul, ditendang, ataupun dipecut keras.

Bisa dibayangkan, kalau kambing yang salah jalan kemudian digebuk? Apa pula yang terjadi jika kambing yang ngambek di jalan lalu dipecut keras? Bagaimana juga jika yang meronta dari pegangan terus dipukul membabi-buta? Dan persoalannya, setiap hari selalu ada kemungkinan kambing keliru arah, mogok jalan, juga bandel dari tuntunan.

Mengampuni tidaklah berarti memaafkan pelaku begitu saja, dan mengacuhkan persoalan yang dihadapi. Lebih dari memaafkan, mengampuni di sini berarti melepaskan diri dari keinginan untuk membalas dendam, sekaligus juga ikhlas menuntun kawanannya kembali ke jalan yang semestinya.

Sementara sibuk memikirkan istilah yang tepat untuk praksis kepemimpinan seperti ini, saya menemukan kata merciful dalam kamus bahasa Inggris. Sifat merciful acapkali digunakan dalam khazanah ilmu kerohanian, untuk menunjukkan sifat pribadi yang penuh rasa peduli, welas asih, dan pengampunan.

Padanan kata merciful yang tepat dalam bahasa Indonesia: rahim. Jadi, pemimpin yang baik adalah seorang gembala yang penuh sifat kerahiman.

 



TERBARU

×