kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / wakeupcall

Mencermati reli IHSG

oleh Lukas Setia Atmaja - Financial Expert-Prasetiya Business School


Rabu, 21 September 2016 / 18:36 WIB
Mencermati reli IHSG

Reporter: Lukas Setia Atmaja | Editor: hendrika.yunaprita

Bursa sedang sumringah dan investor saham bergairah. Ada hal menarik jika kita mencermati roller coaster Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sejak Juni 2012 hingga kini. Ada dua kali up and down besar IHSG.

Pertama, Juni 2012-Mei 2013 (11 bulan), IHSG naik 35% dari 3.800 menjadi 5.145. Kemudian Juni 2013-September 2013 (3 bulan), IHSG rontok 21% menjadi 4.070.

Kedua, dari Desember 2013- awal Maret 2015 (15 bulan), IHSG melonjak 32%, dari level 4.180 menjadi 5.515. Namun IHSG kembali terpuruk 23% menjadi 4.210 pada September 2015 (6 bulan). Setelah itu, IHSG kembali menunjukkan tren positif. Jika menghitung dari tanggal ini, hingga kini IHSG melonjak 30%. Yang istimewa, dari 20 Mei silam hingga kini (3 bulan), IHSG naik 16%.

Sampai kapan penguatan ini? Apakah pola IHSG naik 30%-an lalu turun 20%-an selama 4 tahun terakhir akan berlanjut?

Yang jelas, reli kencang sejak Mei silam menimbulkan kekhawatiran bahwa IHSG sudah sangat kemahalan. Kondisi ini sering disebut financial atau stock market bubble. Benarkah IHSG sudah bubble?

Kita paham, kenaikan IHSG didorong sentimen pengesahan UU Amnesti Pajak. Harapan bahwa pemerintah bisa memperoleh tambahan pajak dari uang tebusan laporan aset sekitar Rp 165 triliun, ditambah impian dana repatriasi Rp 560 triliun menyebabkan para investor saham amat bergairah.

Dana ini mengalir langsung ke sektor riil (misalnya, infrastruktur, perumahan dan sebagainya) maupun ke sektor finansial (saham, obligasi, deposito). Sentimen positif selanjutnya adalah reshuffle kabinet, terutama menteri bidang ekonomi dan energi, diharapkan bisa mendorong pertumbuhan ekonomi di semester II tahun ini. Terutama kehadiran Sri Mulyani, sosok yang memiliki kompetensi dan integritas tinggi serta reputasi internasional.

Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang membaik di kuartal II serta fenomena Brexit yang membuat The Fed sementara menunda kenaikan suku bunga di Amerika Serikat (AS) turut menopang kenaikan IHSG.

Financial bubble terbentuk ketika harga saham melambung jauh di atas nilai fundamentalnya. Ada beberapa faktor penyebab. Pertama, likuiditas berlebihan pada sistem keuangan. Ditambah standar kredit bank yang buruk, hal ini bisa mendorong spekulasi dengan menggunakan utang.

Kedua, faktor-faktor psikologi sosial. Misalnya herding, yakni kecenderungan investor mengikuti tindak-tanduk kelompok (crowd), yakni investor domestik mengikuti investor asing yang dianggap lebih piawai.

Ketiga, greed (keserakahan) dan fear (ketakutan) pelaku pasar. Keserakahan mendorong pelaku pasar masuk ke bursa saham dan ketakutan kehilangan kesempatan meraup keuntungan besar memicu pelaku pasar berbondong-bondong masuk.

Kembali ke pertanyaan apakah IHSG sudah kemahalan? Saya setuju, pertumbuhan IHSG sudah cukup tinggi. Namun tidak tepat jika disebut bubble. Istilah bubble jika kenaikan sangat tinggi, misalnya 100% setahun. Seperti diutarakan di atas, dalam 11 bulan terakhir, IHSG baru melonjak 30%.

Bandingkan dengan bubble di Bursa Saham Shanghai tahun 2014–2015. Pada Juni 2014, indeks berada di 2.060 dan terus naik hingga 5.166 pada Juni 2015, alias naik 150% dalam 11 bulan. Dua bulan setelah itu, indeks terkoreksi tajam ke 3.092 dan bertahan hingga saat ini.

Namun, dengan posisi sudah cukup tinggi, investor sebaiknya berhati-hati dan jeli membeli saham yang price earnings ratio (PER)-nya sudah jauh di atas PER industri. Informasi mengenai PER saham di Bursa Efek Indonesia dapat diperoleh di www.bloomberg.com atau www.reuters.com. Atau lebih mudah bertanya pada google, ketik kode saham + PER + bloomberg.

Perlu diingat, tidak semua saham dengan PER tinggi atau di atas industri kemahalan. Saham yang perusahaannya sedang tumbuh pesat atau memiliki potensi pertumbuhan besar layak dihargai tinggi. Saham di sektor yang diuntungkan oleh program amnesti pajak, seperti konstruksi, infrastruktur, properti dan perbankan, wajar jika memiliki PER lebih tinggi.

Sebagai alternatif, gunakan indikator PEG ratio, yakni PER dibagi angka estimasi pertumbuhan EPS saham. Misalnya, jika PER 20 kali dan estimasi pertumbuhan EPS 20%, maka PEG ratio adalah satu kali. Sebagai patokan, saham dengan PEG ratio di bawah 1 bagus untuk dikoleksi.

Penurunan IHSG sangat mungkin terjadi jika program amnesti pajak kurang sesuai harapan atau dana asing yang panas keluar dari bursa. Jangan panik, anggap saja ini koreksi sehat agar tidak bubble seperti di bursa Shanghai.



TERBARU

×