kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / refleksi

Roh sebuah organisasi

oleh Ekuslie Goestiandi - Pengamat Manajemen dan Kepemimpinan


Jumat, 21 Oktober 2016 / 22:26 WIB

Reporter: Ekuslie Goestiandi | Editor: hendrika.yunaprita

Hidup laksana gelombang. Kadang menggulung deras, kadang mengalun lembut. Ada saatnya pasang, juga waktunya surut. Demikian isi selarik kalimat yang saya baca di media sosial seorang teman. Saya tak tahu persis, apa yang ada di benak sang teman. Yang jelas, tak terlalu sulit bagi saya untuk mengamini apa yang dia tuliskan. Sebab, memang demikianlah hakikat dari kehidupan itu sendiri. Yang lebih menarik justru melihat bagaimana respons seseorang dalam menyikapi kehidupan yang dinamis, yang dihiasi pasang surut secara bergantian.

Ketika kondisi kehidupan sedang bergairah dan berjalan lancar, umumnya kita akan menyongsong matahari terbit dengan optimistis. Udara begitu segar, langit begitu cerah, dan kita begitu siap untuk hidup hingga 1000 tahun lagi! Namun, saat mendung kehidupan menggantung gelap di sekitar kita, mendadak hari-hari begitu lambat berlalu. Semuanya serba lesu, khawatir, penuh kerisauan. Kalau sudah demikian, tak jarang kita mendengar ujaran lebih baik mati aja, deh!

Benarlah kata orang bijak, jika ingin menguji kualitas diri, ujilah di saat yang penuh kesulitan. Dari situlah kita akan bisa membedakan, mana kualitas emas dan mana yang tidak lebih dari sekadar loyang.

Victor Frankl, dalam bukunya yang sangat legendaris, Mans Search for Meaning (pertama kali terbit 1946), melukiskan pengalamannya sebagai tahanan beberapa kamp konsentrasi termasuk Auschwitz, korban tindakan genosida yang dilakukan Nazi.

Frankl memang selamat dari holocaust itu, tapi istri, orangtua, dan saudara lelakinya dibunuh bersama ribuan tawanan lainnya. Di antara anggota keluarga dekat, hanya saudara perempuannya, Stella, yang luput dari pembasmian Nazi tersebut, karena kebetulan saat itu sudah pindah ke Australia.

Pengalaman kehidupan yang penuh tragedi penderitaan dan kematian itu menempa sikap hidup dan pola pikir Frankl sedemikian rupa, yang pada akhirnya melahirkan metode terapi yang terkenal dengan nama logotherapy.

Pada intinya, Frankl mengatakan, yang membuat seseorang mampu mempertahankan hidupnya bukanlah kesenangan ataupun kesuksesan, tapi makna yang ingin dihidupinya. Those who have a why to live, can bear with any how, katanya. Maksudnya, seseorang yang mengerti makna hidupnya akan sanggup menanggung berbagai situasi kehidupan yang melingkupinya. Sekalipun, itu situasi yang tak menyenangkan, menyesakkan, bahkan menyakitkan.

Memberi makna

Pembaca, sesungguhnya apa yang terjadi dalam konteks hidup seorang manusia, juga terjadi dalam sebuah organisasi. Baru-baru ini, seorang pemilik bengkel yang saya kenal, menceritakan tantangan (kesulitan) bisnis yang dihadapinya. Secara bergurau ia berujar, saat-saat ini jauh lebih enak jadi seorang karyawan ketimbang pengusaha. Mengapa? Karena mencari peluang usaha dan mendapatkan margin keuntungan laksana menemukan jarum di dalam tumpukan jerami.

Secara bergurau saya pun bertanya, mengapa tak ditutup saja bengkelnya?, yang sepengetahuan saya berumur lebih dari 25 tahun. Tak perlu waktu lama, ia pun segera menjawab sambil menunjukkan jari ke beberapa karyawan dan seorang pelanggan yang ada di hadapan. Karyawan saya butuh makan, pelanggan saya butuh pelayanan, dan itu sudah cukup menggembirakan saya. Bengkel ini jatuh bangun selama puluhan tahun bersama mereka.

Walaupun tak bisa menuangkannya dengan kalimat yang konseptual, saya tahu persis bahwa sang pemilik hendak memberikan makna (meaning) kepada bengkel yang dikelolanya. Usaha bengkelnya sebagai alat untuk menghidupi karyawan dan menggembirakan pelanggannya. Lebih dari sekadar mencari uang belaka.

Untuk kesekian kalinya saya teringat dengan pesan guru saya yang mengatakan, sebuah organisasi bisnis perlu memiliki higher purpose of business. Tujuan bisnis yang lebih tinggi dari sekadar urusan mencari uang, transaksi, dan keuntungan. Bermanfaat bagi bangsa dan negara, menciptakan masyarakat yang lebih sehat dan sejahtera, membangun komunitas yang mandiri dan bahagia, adalah beberapa contoh the why of business, yang memungkinkan sebuah organisasi mampu bertahan dan menumbuhkan hidupnya. Sejarah sudah membuktikan, perusahaan-perusahaan besar selalu lahir dan tumbuh dengan membawa misi-misi mulia seperti ini.

Mungkin banyak di antara kita yang bergumam, Ah, bukankah itu jargon klise yang serba basa-basi belaka, mungkin juga sudah basi! Sekali lagi, kata guru saya, makna bisnis seperti ini akan jadi basa-basi belaka jika pemimpin dan karyawan yang mengelolanya tak sungguh-sungguh memaknai secara tulus. Tapi, bila makna itu dihidupi dengan sungguh-sungguh, dia akan jadi jiwa organisasi yang sungguh hidup, bahkan menggetarkan.

Semegah-megahnya sebuah patung raksasa, toh, tetap lebih menggairahkan sebatang pohon yang rindang. Soalnya, di dalam pohon ada jiwa, roh, dan kehidupan. Untuk bertumbuh besar, tinggi dan rindang, sebuah organisasi juga butuh roh yang menghadirkan makna bagi lingkungan di sekitarnya.



TERBARU

×