kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / siasatbisnis

Legenda dan strategi bisnis Hermes

oleh Jennie M. Xue - Kolumnis internasional serial entrepreneur dan pengajar bisnis, berbasis di California


Rabu, 23 November 2016 / 17:25 WIB
Legenda dan strategi bisnis Hermes

Reporter: Jennie M. Xue | Editor: hendrika.yunaprita

Bicara Hermes, bukan hanya tentang tas Birkin, pujaan para aristokrat Eropa dan sosialita. Sisi yang menakjubkan bisnis merek luks tak terlepas dari penetrasi dan resiliensi merek yang abadi. Demikian juga Hermes.

Produk-produk luks tidak mengikuti teori supply and demand secara kaku. Permintaan dan suplai termasuk kecil dibandingkan produk-produk konsumsi sehari-hari, tapi bisnis tetap berkembang.

Bukankah semestinya jikalau permintaan tidak terlalu tinggi, harga jual rendah? Dan ketika produksi merek-merek luks meningkat, bukankah semestinya harga menurun?

Kuncinya ada di nilai absolut sejarah produk dan nilai magis akan prestasi kepemilikan produk. Inilah nilai lebih produk-produk luks yang tidak dimiliki oleh produk-produk lain. Dengan nilai absolut dan nilai magis, harga tidak jadi elastis lagi (price insensitive), sehingga produsen dapat memberi harga berapa saja. Uniknya, di produk-produk luks, semakin tinggi harga ritel, semakin banyak pembeli yang mencari status dan prestasi.

Di tahun 2015, Majalah Forbes memberi Hermes International ranking ke-22 untuk perusahaan paling inovatif di dunia, ranking ke-51 untuk merek paling berharga di dunia dan ranking ke-890 untuk 2000 perusahaan terbaik di dunia. Terhitung Mei 2015, market cap Hermes International mencapai US$ 38,6 miliar dan omzet US$ 5,4 miliar.

Membeli produk Hermes berarti membeli sepotong sejarah tentang para aristokrat Eropa. Herms International S.A., Hermes of Paris atau Herms berdiri tahun 1837 sebagai penerima pesanan sadel dan perlengkapan berkuda para bangsawan Eropa. Terhitung tahun 1950, logonya adalah kereta kuda.

Selain itu, produk luks merupakan duta kesenian dengan kualitas melampaui kebutuhan pemakai. Dengan kata lain, sebuah aksesori luks mempunyai nilai seni dan kualitas yang mendekati abadi seperti benda-benda antik di museum.

Biasanya, dengan kehadiran fashion designer dan creative director yang mempunyai aura sebagai ikon kultur internasional, suatu merek luks semakin dihargai sebagai puncak barang seni yang dapat dipakai. Beberapa desainer kondang pernah bekerja untuk Hermes, seperti Lola Prusac, Jacques Delahaye, Catherine de Karolyi, Monsieur Levaillant, Nicole de Vesian, Eric Bergre, Claude Brouet, Tan Giudicelli, Marc Audibet, Mariot Chane, Martin Margiela, Jean Paul Gaultier, Christophe Lemaire, Vronique Nichanian dan Nadge Vanhee-Cybulski.

Sebagai business model, merek-merek luks mempunyai strategi terbalik dari produk-produk umumnya. Demikian menurut Jean-Noel Kapferer dalam bukunya berjudul Kapferer on Luxury.

Pertama, produksi biasanya di tempat asal pertama kali berdirinya perusahaan, agar kualitas dapat dikontrol dengan sangat ketat. Namun beberapa merek mulai berani melakukan delokalisasi, seperti outsource ke China.

Kedua, produk-produk luks tidak diiklankan massal, tapi semata-mata mengingatkan konsumen akan impian kepemilikan. Pemasangan iklan dan penggunaan brand ambassador sangat selektif agar impian tidak terobral. Publisitas secara organik maupun dengan product placement yang halus.

Mobil Aston Martin yang unit produksinya sedikit, misalnya, tidak pernah diiklankan secara umum. Namun pernah muncul dalam film James Bond. Tas Hermes yang dijuluki Kelly Bag dipopulerkan oleh foto-foto Putri Grace Kelly dari Monaco yang menutupi perut hamilnya dengan tas itu. Tas yang cukup baik untuk Putri Eropa.

Ketiga, kontrol distribusi sangat ketat. Produk-produk luks hanya dijual di butik-butik khusus mereka di mal-mal premium dalam jumlah tertentu. Bahkan Oprah Winfrey pernah ditolak membeli sebuah tas luks di sebuah butik di Eropa, karena staf penjual tidak mengenalnya.

Keempat, lisensi produk sangat dibatasi. Di 1998-2008, Ralph Lauren mengalami penurunan drastis dalam ritel produk-produk berlisensi. Sejak itu, pemilik merek-merek luks tidak lagi memberikan lisensi ke pihak lain agar jumlah dan kualitas dikontrol ketat.

Tahun 90-an, Hermes mengurangi butik-butik berlisensi dari 250 ke 200 dan meningkatkan butik-butik milik perusahaan dari 60 ke 100. Hermes membenahi butik-butik mereka dan membuka butik pertama di China di 1996.

Kelima, membangun hubungan ultra personal dengan konsumen melalui presentasi teaterikal. Tatanan jendela toko Louis Vuitton misalnya, sarat unsur-unsur kesenian dan keindahan klasik nan abadi museum. Toko LV di Marina Bay Sands, bertema dan berbentuk museum dua lantai berbentuk piramida kaca ala Museum de Louvre di Paris.

Keenam, mempertahankan kelangkaan (scarcity) dengan jumlah produksi terbatas dan harga tinggi. Baik organik maupun program limited edition, kelangkaan dipertahankan. Kelangkaan artifisial bisa dibangun dengan launching terbatas.

Hermes International berusia 137 tahun dan tampaknya masih hadir mewarnai dunia dengan aura absolutisme dan magis 137 tahun lagi. Dengan mengenali strategi Bisnis mereka, semoga kita terinspirasi melegendakan produk-produk kita.



TERBARU

×