kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / refleksi

Menaklukkan Ego

oleh Ekuslie Goestiandi - Pengamat Manajemen dan Kepemimpinan


Rabu, 23 November 2016 / 17:52 WIB
Menaklukkan Ego

Reporter: Ekuslie Goestiandi | Editor: hendrika.yunaprita

Salah satu guru kehidupan saya pernah berujar, dalam mencari seorang pemimpin, utamakanlah faktor kebijaksanaan di atas kecerdasan. Mencari orang yang pintar, visioner, dan berwawasan luas memang sulit. Namun, jauh lebih sulit lagi mencari orang yang bijak.

Mengutip Lao Tzu, sang guru berkata, semua sungai mengalir ke laut, karena letaknya yang lebih rendah. Kerendahan hati mengandung kekuatan yang sesungguhnya. Bila hendak memerintah orang lain, kita mesti menempatkan diri sendiri di bawah mereka. Sama halnya, jika ingin memimpin orang lain, kita harus belajar bagaimana cara mengikuti mereka.

Lebih lanjut, pemimpin baik laksana air yang mengalir lincah dan membaur. Air tidak berjalan ke tempat yang lebih tinggi, sebaliknya mengalir ke tempat yang lebih rendah. Bila bertemu batu penghalang, air juga tak membentur-benturkan dirinya, tapi dengan lincah berbelok untuk lewat dan mengalir kembali. Tak seperti beberapa batu yang tidak bisa menyatu menjadi sebuah batu (yang lebih besar), air dengan mudah membaur dan menyatu jadi kumpulan air yang lebih banyak.

Kepemimpinan seperti air pada hakikatnya adalah kepemimpinan yang merundukkan dirinya sendiri. Kepemimpinan yang tak mengejar panggung untuk diri pribadi, dan sebaliknya mengalir tenang ke arena tempat rakyat banyak bergumul. Filosofi di atas mungkin terdengar aneh, karena selama ini kita diedukasi (bahkan diindoktrinasi) dengan model kepemimpinan kharismatik.

Buku-buku sejarah dipenuhi dengan cerita-cerita heroik tentang sosok-sosok yang visioner, obsesif, yang ingin mengubah dunia dengan kekuatan sakti mandraguna yang ada di dalam dirinya. Mereka ialah para kaisar, pangeran, penguasa, ataupun panglima militer yang memiliki ego besar, yang seolah-olah siap menantang matahari dan menikam bumi.

Tapi, Ryan Holiday (kolumnis muda di New York Observer), dalam buku anyarnya Ego is the Enemy (2016), menuliskan, sejarah juga mencatat sosok-sosok pahlawan berpengaruh yang berhasil menaklukkan ego dan menghindarkan dirinya dari sorotan publik. Mereka adalah orang-orang yang menempatkan tujuan hidup lebih tinggi di atas keinginan untuk mendapat pengakuan pribadi.

Pengusaha kaya raya Howard Hughes, penerbit sukses Katharine Graham, pelatih Americans football hebat Bill Belichick, dan penulis sekaligus ibu negara Amerika Serikat Eleanor Roosevelt, adalah beberapa contoh individu yang berhasil meraih puncak kesuksesan dan kepemimpinan dengan cara menundukkan ego pribadi.

Jujur dan ikhlas

Banyak di antara kita percaya bahwa halangan terbesar untuk meraih kehidupan yang sukses ada di luar diri kita. Padahal, kata Holiday, pada kenyataannya musuh terbesar ada di dalam yakni ego kita sendiri. Pada awal kehidupan karier, ego menghambat proses pembelajaran dan pemupukan bakat kita. Pada saat menikmati kesuksesan, ego membutakan mata kita untuk melihat persoalan yang mungkin terjadi di masa depan. Pada waktu berhadapan kegagalan, ego seringkali memperkeruh situasi dan membuat kita semakin sulit untuk bangkit kembali. Singkat cerita, dalam banyak situasi, ego melumpuhkan proses penumbuh kembangan diri sendiri.

Akan tetapi, menundukkan ego bukanlah perkara gampang. Secara instinktif, manusia selalu terdorong untuk memuaskan, bahkan semakin membesarkan egonya. Apalagi, saat ini kita hidup di zaman yang penuh dengan gelombang media sosial dan tayangan televisi, yang menggoda orang untuk mempromosikan diri sendiri. Terkadang, bahkan tanpa batas diri dan rasa malu.

Namun, itulah tantangan kepemimpinan yang sesungguhnya. Dalam buku bertajuk Syukur Tiada Akhir (2015), pemilik sekaligus pemimpin Kelompok Kompas Gramedia Jakob Oetama, membedakan antara pemimpin dan pembesar. Mengutip ceramah Hardi S.H. saat memperingati 21 tahun wafatnya Bung Karno, Jakob memaknai pemimpin dengan dua kriteria saja: jujur dan ikhlas berkorban untuk memperjuangkan kepentingan rakyat. Sementara pembesar adalah sosok yang sekalipun berkuasa membuat rakyatnya kesepian.

Menggunakan perspektif Holiday, pemimpin adalah sosok yang menempatkan tujuan hidup yang lebih tinggi (dalam hal ini perjuangan kepentingan rakyat) melebihi kepentingan ego pribadinya. Sedang pembesar ialah sosok yang sibuk memikirkan kepentingan diri dan menggelembungkan ego pribadi, sehingga abai dengan panggilan untuk peduli dan melayani kepentingan rakyat. Akibatnya, rakyat pun merasa sepi.

Kata Holiday, Kalau banyak menghabiskan waktu untuk mempromosikan kehebatan diri dan membusungkan ego pribadi, jangan heran jika kita tak punya waktu memikirkan serta menuntaskan misi kehidupan yang jauh lebih tinggi, yang melebihi batas kepentingan dan egoisme pribadi.



TERBARU

×