kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / wakeupcall

Sistem keuangan berbasis bank vs berbasis pasar

oleh Budi Frensidy - Pengamat Pasar Keuangan dan Staf Pengajar FEB-UI


Rabu, 23 November 2016 / 17:57 WIB
Sistem keuangan berbasis bank vs berbasis pasar

Reporter: Budi Frensidy | Editor: hendrika.yunaprita

Mengapa sangat sedikit orang dengan kas surplus berinvestasi langsung di pasar saham? Ada yang langsung menjawab bahwa orang Indonesia takut risiko (risk-averse), sehingga tidak punya nyali membeli saham. Alasan ini tidak tepat, karena menyimpan uang melebihi jumlah tertentu di bank juga tidak mendapat jaminan aman dari pemerintah.

Tidak sedikit juga yang berkilah, berinvestasi saham butuh pengetahuan yang cukup, sehingga tak cocok bagi kaum awam. Jawaban yang masuk akal, tapi masih salah. Siapa pun dapat membeli saham dengan mudah tanpa perlu menjadi pakar saham atau ahli valuasi. Beli saja saham perusahaan bagus sesuai nasihat Peter Lynch dalam bukunya One up On Wall Street.

Menurut dia, pohon dikenal dari buahnya. Perusahaan yang baik juga dikenal dari produk dan jasanya. Sebagai salah seorang manajer investasi terbaik dunia, Lynch mengatakan tidak sulit untuk menemukan perusahaan bagus, karena produk bagus ada di sekitar kita.

Contohnya adalah saham Unilever (UNVR) dan Bank BCA (BBCA). Jika Anda sempat membeli UNVR di harga Rp 5.000 dan ASII di Rp 1.300 (harga setelah disesuaikan dengan stock split) sepuluh tahun lalu, keuntungan (capital gain) Anda saat ini mencapai ratusan persen dan per tahun 24,4% untuk UNVR dan 20,2% untuk ASII. Ini belum termasuk dividen tahunan yang cukup besar. Harga penutupan UNVR akhir pekan lalu adalah Rp 44.500 dan ASII Rp 8.200.

Jawaban yang paling ngawur atas pertanyaan di atas adalah yang mengatakan berinvestasi saham sama dengan berjudi, atau istilah kerennya zero-sum game. Sangat disayangkan jika berinvestasi saham disamakan dengan main black jack atau roulette di kasino.

Jawaban yang paling tepat adalah karena masyarakat kita masih deposito-minded. Selama bertahun-tahun pemerintah mengajak dan mendorong masyarakat menyimpan dananya di bank. Mobilisasi masyarakat untuk menabung di bank pada dekade 70-an dan 80-an ini sayangnya tidak diikuti seruan pemerintah untuk berinvestasi di pasar modal pada periode 1990-an hingga 2000-an. Dapat dimaklumi jika akhirnya masyarakat kita hanya tahu bank sebagai tempat paling aman untuk menaruh uang. Jika tabungan dan deposito sudah lama ada di Indonesia, saham baru diperkenalkan di 1977 dan mulai ramai sekitar 1989.

Pada tahun 1985, jumlah emiten tercatat di bursa hanya 24 perusahaan dengan kapitalisasi pasar sebesar Rp 89,3 miliar dan transaksi harian sebesar Rp 13,1 juta. Jumlah saham tercatat tidak mengalami pertambahan hingga tahun 1988.

Baru pada 1989 jumlah saham tercatat melonjak tajam jadi 56 dengan kapitalisasi pasar mencapai Rp 4,3 triliun dan transaksi harian menembus Rp 3,9 miliar. Angka-angka ini terus naik. Saat ini ada 536 saham tercatat, kapitalisasi pasar sebesar Rp 5.500 triliun, dan transaksi harian Rp 7 triliun.

Sebelumnya, mereka yang kas surplus tidak punya pilihan lain kecuali menaruh uangnya di bank. Demikian juga perusahaan yang kas defisit hanya bisa mendapatkan dana dari bank. Dalam literatur keuangan dan perbankan, sistem keuangan seperti ini disebut sistem keuangan berbasis bank. Jerman, Jepang, dan banyak negara berkembang menganut sistem keuangan ini.

Pendukung sistem keuangan bank-based mengatakan sistem ini lebih baik daripada sistem lain dalam mengatasi terjadinya asimetri informasi, terutama untuk negara-negara yang berada dalam tahapan awal pembangunan ekonomi. Tanpa adanya bank, biaya yang harus dikeluarkan investor untuk memperoleh dan memproses informasi mengenai kondisi dan kinerja perusahaan menjadi sangat tinggi.

Keberadaan bank menurunkan risiko dan biaya pengawasan yang harus ditanggung investor publik. Pengawasan oleh bank sebagai kreditur jauh lebih efektif daripada pengawasan oleh sekumpulan kas surplus (investor) dengan informasi terbatas yang dimilikinya.

Di sisi lain ada sistem keuangan berbasis pasar atau market-based yang dianut Amerika dan Inggris. Dalam market-based, sumber pembiayaan utama adalah pasar modal. Terjadi interaksi langsung antara yang punya uang dan yang butuh uang.

Pendukung sistem market-based menekankan pentingnya pasar modal dalam memberikan insentif kepada kas surplus dan kas defisit. Sistem keuangan ini lebih efisien karena bersifat langsung tanpa melalui perantara keuangan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi jangka panjang, daripada sistem bank-based. Tidak ada intermediary fee dalam sistem keuangan ini.

Lalu, mana yang lebih baik? Levine (2000) dalam artikelnya Bank-based or market-based financial systems: which is better? mengatakan tidak ada sistem yang lebih unggul atau lebih efektif dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Data empiris menunjukkan bahwa pembagian sistem keuangan dalam bank-based serta market-based, tidak mampu menjelaskan proses pertumbuhan yang dialami negara-negara di dunia.

Siapa yang tidak tahu rendahnya spread atau net interest margin (selisih tingkat bunga pinjaman dengan tingkat bunga tabungan) bank di Jepang dan keperkasaan Bundesbank Jerman zaman dulu? Dua negara itu menganut bank-based. Siapa juga yang meragukan Amerika sebagai negara adidaya dengan sistem market-based?

Masalahnya di Indonesia, menurut saya, sistem market-based belum lama berkembang sehingga masih jauh dari optimal. Umurnya masih sangat muda, sementara pasar modal Amerika sudah ada sejak 1792. Sementara itu, sistem bank-based juga belum begitu perkasa karena spread masih sangat besar dan kredit macet tetap menjadi momok perbankan nasional.



TERBARU

×