kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / wakeupcall

Paradox of Thrifty

oleh Budi Frensidy - Pengamat Pasar Keuangan dan Staf Pengajar FEB-UI


Rabu, 23 November 2016 / 18:33 WIB
Paradox of Thrifty

Reporter: Budi Frensidy | Editor: hendrika.yunaprita

Ketimpangan ekonomi terjadi di mana-mana, di negara maju dan negara berkembang. Jika dulu kita mengenal frase the rich get richer and the poor get poorer, kini ungkapan yang lebih tepat adalah the rich get faster richer and the poor get faster poorer.

Semakin kaya (richer) berarti ada tambahan kekayaan dari tahun ke tahun. Sementara faster richer jika pertumbuhan kekayaannya makin besar, tak hanya tambah kaya. Awalnya, kekayaan hanya naik 8% per tahun sehingga harus menunggu sembilan tahun untuk mendobelkan.

Kemudian berubah menjadi 12% per tahun, yang berarti waktu yang diperlukan menjadi cukup enam tahun. Terakhir, target waktu untuk melipatduakan kekayaan menjadi lebih pendek lagi yaitu hanya empat tahun, yang berarti return tahunan harus 18%.

Di sisi lain, kelompok bawah semakin lebih cepat miskin dalam arti penghasilan bulanan yang tadinya pas untuk empat minggu hingga sebulan, kemudian menjadi lebih cepat habis yaitu hanya dalam tiga minggu.

Untuk beberapa keluarga besar dengan tiga orang anak atau lebih, gaji seringnya hanya cukup untuk dua mingguan saja. Jika ditanya besar gajinya, mereka dengan spontan mengatakan, sepuluh koma atau lima belas koma setiap bulan. Kok masih enggak cukup? Ternyata yang dimaksud bukan 10 jutaan atau 15 jutaan rupiah, tetapi setiap tanggal 10 atau tanggal 15 mereka sudah mulai koma.

Di zaman susah seperti saat ini, sejatinya diperlukan peningkatan investasi riil. Tanpa ekspansi usaha, tidak akan ada pertumbuhan ekonomi, dan tanpa pertumbuhan ekonomi tidak ada penciptaan lapangan kerja baru. Karena itu, kita menyambut baik relaksasi peraturan yang giat dilakukan pemerintah untuk menarik lebih banyak investasi dan kebijakan kenaikan penghasilan tidak kena pajak (PTKP) baru. Dengan PTKP tahun 2016, bujangan dengan penghasilan kurang dari Rp 4,5 juta sebulan tidak akan kena pajak penghasilan (PPh). Ini akan meningkatkan daya beli sebagian besar masyarakat kita.

Boroslah

Jika pemerintah dan pengusaha sudah menjalankan perannya dengan baik, apa kontribusi kita sebagai anggota masyarakat? Sebaiknya kita hemat atau boros?

Tetap hematlah jika penghasilan Anda pas-pasan karena tidak ada pilihan lain. Silakan boros jika Anda termasuk kelompok menengah atas, terutama untuk membeli produk-produk dalam negeri dan bukan barang-barang impor berkelas.

Saya sendiri sejak dulu tidak suka merek-merek mewah apalagi dari luar negeri. Di mata saya, harga produk branded tidak wajar karena beberapa kali lipat biaya produksinya. Jika membeli tas Louis Vuitton, jam tangan Rolex, dan mobil Jaguar, misalnya, harga yang Anda bayarkan sebagian besar untuk membeli gengsi.

Produk ini sengaja dihargai tinggi di atas biayanya, agar hanya terjangkau segelintir konsumen saja. Jika dihargai rendah, produk premium ini akan kehilangan daya tariknya di kalangan atas. Karena mencari uang buat saya tidak semudah para pemilik perusahaan, saya pun tahu diri untuk menghindari produk-produk bermerek ini.

Namun, kita harus berterimakasih kepada kelompok atas yang bersedia mengoleksi produk-produk itu. Karena merekalah, mal-mal kelas atas, seperti Plaza Indonesia, Plaza Senayan, Pacific Place, dan Pondok Indah Mall 2, bisa terus bertahan. Tanpa adanya orang-orang kaya yang boros, mal-mal tadi sangat mungkin mesti turun kelas.

Untuk bisa berputar cepat dan menciptakan banyak pekerjaan baru, perekonomian memerlukan orang-orang kaya yang royal membelanjakan uangnya. Masyarakat mampu yang jarang makan di luar, jarang rekreasi, dan hanya sesekali berbelanja di mal membuat ekonomi mengalir lambat. Tidak diperlukan banyak restoran dan hotel mahal jika semua masyarakat hemat belanja. Intinya, untuk yang mampu, hemat dan irit baik untuk Anda dan keluarga tetapi buruk untuk perekonomian dan dikenal sebagai paradox of thrifty.

Bayangkan, bila orang membeli pakaian, sepatu, dan sandal hanya menjelang hari raya atau ketika barang yang mereka miliki sudah rusak. Jika ini terjadi, banyak toko baju dan sepatu yang harus tutup.

Mal-mal yang beroperasi pun sebagian besar akan kosong melompong lantaran pembelinya jarang dan sedikit. Dengan rendahnya penjualan pakaian dan sepatu, maka usaha konveksi dan pabrik yang menjadi pemasoknya juga bakal sepi order.

Bukannya akan ekspansi dan menambah tenaga kerja baru, usaha yang ada justru harus mengurangi jam kerja karyawannya. Bahkan, pemutusan hubungan kerja seperti yang marak terjadi di industri tambang serta minyak dan gas (migas) selama beberapa tahun terakhir ini. Akibatnya, pengangguran akan melesat dan daya beli semakin melemah yang dapat bermuara ke resesi.

Belanjakan uang Anda

Karena itu, saya sungguh berharap Anda yang kaya dengan kas yang sangat memadai dan bebas dari utang, saat ini bersikap boros membelanjakan uang demi membuat ekonomi di sekitar Anda bergeliat. Habiskan THR dan bonus Anda.

Sedapat mungkin, Anda membeli di tukang sayur, tukang buah, atau pasar tradisional dekat rumah, agar uang tidak hanya berputar di kalangan menengah atas. Tanpa dukungan kita, kebijakan yang dibuat pemerintah tak banyak artinya.

Dengan melakukan hal sederhana ini, Anda membantu ekonomi nasional kembali bergairah. Karena itu, saya dan keluarga tidak ragu mengeluarkan uang lebih banyak daripada yang dapat saya hasilkan atau dissaving, bahasa kerennya, untuk tujuan membeli pengalaman. Yakni, menjelajah ke tempat-tempat baru di dalam negeri dan kadang luar negeri, dan bukan membeli branded goods. Inilah enaknya kalau Anda bebas utang, apalagi jika sudah bebas finansial.

Nasihat saya di atas tentu saja tidak berlaku untuk mereka yang masih menanggung banyak kredit, seperti KPR, KKB, kredit multiguna, terlebih kredit tanpa agunan (KTA) dan utang kartu kredit. Sangat tidak bijak bagi siapa pun untuk boros memakai dana pinjaman.



TERBARU

×