kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / refleksi

Sudahlah!

oleh Ekuslie Goestiandi - Pengamat Manajemen dan Kepemimpinan


Rabu, 23 November 2016 / 18:38 WIB
Sudahlah!

Reporter: Ekuslie Goestiandi | Editor: hendrika.yunaprita

Pada 17 September 2016, saat memberikan respons terhadap kejadian yang menimpa Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Irman Gusman, Presiden Joko Widodo berujar pendek namun tegas, Stop korupsi untuk siapa pun. Korupsi, sudahlah!.

Hampir sebulan kemudian, 11 Oktober 2016, sambil menaikkan nada suara dan mengacungkan telunjuk, Presiden kembali berseru Stop dan hentikan pungli!. Tampaknya, Presiden tak kuasa menahan kesal karena tak lama berselang dengan rapat di Istana Negara dalam rangka pelaksanaan Operasi Pemberantasan Pungli dan Penyelundupan, sudah terjadi aksi pungli di Kementerian Perhubungan.

Kita bisa memahami kemarahan dan kesedihan yang begitu dalam pada diri sosok nomor satu di republik ini. Korupsi dan aksi pungutan liar sepertinya begitu mendarah-daging, berurat-akar dan bahkan juga beranak-pinak di bumi tercinta. Begitu masif dan mendalamnya perilaku koruptif, tokoh proklamasi Bung Hatta bahkan menyebutnya sebagai budaya. Sekali lagi, menyedihkan. Menjadi pertanyaan bagi kita, bagaimana perilaku tak elok ini bisa muncul dalam diri seorang manusia, khususnya manusia Indonesia?

Profesor psikologi ternama, David Mc. Clelland mengutarakan sebuah teori motivasi diri yang sangat terkenal. Menurut sang pakar, pada hakekatnya ada tiga jenis motivasi dasar yang melandasi perilaku seseorang, yakni kebutuhan akan power, affiliation dan achievement.

Mendapatkan kedudukan, jabatan dan kekuasaan setinggi-tingginya adalah hasrat dari seseorang yang memiliki need for power yang besar. Sementara itu, memupuk jejaring sosial, gengsi dan popularitas sebanyak-banyaknya adalah impian dari seseorang dengan need for affiliation yang tinggi. Dan, menguber penemuan dan prestasi yang sehebat-hebatnya adalah cita-cita dari seseorang yang mempunyai need for achievement setinggi langit.

Motivasi hidup ini laksana api, yakni energi yang dapat menghangatkan serta menggairahkan. Tanpanya, hidup akan kehilangan kehangatan, semangat dan gelora. Akan tetapi, api yang terlalu besar, alih-alih menghangatkan, justru akan membakar habis apa yang ada. Sama halnya pula dengan motivasi.

Tatkala motivasi tersebut mencapai titik ekstrem dan bergerak tanpa batas, akan lahir gejala kecanduan (addiction). Entah itu kecanduan kekuasaan, gila harta benda, dan juga mabuk popularitas. Manusia dengan motivasi ekstrem adalah makhluk yang akan selalu merasa lapar, tak pernah terpuaskan, dan tak mengenal kata cukup.

Sikap hati

Alkisah, ada sekelompok wisatawan Perancis yang berkunjung ke daerah terpencil di Afrika Selatan. Saat sedang jalan-jalan menikmati pemandangan, mereka menemukan sekumpulan batu yang jelek rupa, yang dipagari papan tulisan: Siapa yang mengambil batu ini akan menyesal. Pun, mereka yang tak mengambil batu ini juga akan menyesal. Aneh bin ajaib, baik mengambil atau pun tidak, hasilnya sama saja, yakni menyesal.

Sebagian turis memutuskan untuk mengambil satu batu tersebut dan sebagian lainnya memutuskan untuk tidak mengambilnya sama sekali. Ketika kembali ke Perancis, batu itu pun segera diperiksakan kepada ahlinya. Tak disangka-sangka, ternyata di balik keburukan rupa batu-batu tersebut, di dalamnya terkandung permata yang luar biasa indah dan mahal.

Mengetahui bahwa bongkahan batu tersebut adalah permata mulia, mereka yang tidak mengambilnya menyesal bukan kepalang karena telah membuang kesempatan mendapatkan barang berharga.

Bagaimana dengan mereka yang telah mengambilnya? Bukannya tersenyum gembira, mereka juga ternyata sama menyesalnya. Kok, bisa? Ya, mereka menyesal mengapa mengambil batu tersebut hanya sebuah. Mengapa mereka tak mengambil sebanyak-banyaknya batu yang ada.

Cerita sederhana di atas mengajarkan kepada kita bahwa rasa ketidakpuasan, ketidakcukupan atau pun penyesalan tidaklah terletak pada hasil yang kita dapatkan, namun ada pada sikap hati kita masing-masing.

Kosmologi semesta mengajarkan kita prinsip keseimbangan. Alam menyediakan api sekaligus air. Sebagaimana api, motivasi juga perlu mendapatkan penyeimbang dari elemen hidup lain agar tak jadi candu yang membius buta dan api yang membakar ludes. Penyeimbang itu, tak lain tak bukan, adalah nilai-nilai keutamaan hidup manusia itu sendiri, seperti kejujuran, ketulusan dan kasih sayang.

Lebih jauh, guru kehidupan Mahatma Gandhi bahkan mengajarkan manusia akan nilai keugaharian alias kecukupan. Jangan khawatir untuk tak bisa hidup secara layak dan pantas karena earth provides enough to satisfy every mans need, but not every mans greed. Alam semesta mampu mencukupi kebutuhan kita. Namun, jagad raya sekali pun tak akan sanggup memuaskan keserakahan manusia.

Hanya diri kita sendiri yang mampu membendung kerakusan yang bersembunyi di balik hasrat asali manusia, dengan mengatakan, Sudahlah! Enough is enough.



TERBARU

×