kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / wakeupcall

Menyoal kelemahan PER untuk menentukan valuasi saham

oleh Budi Frensidy - Pengamat Pasar Modal dan Staf Pengajar FEB-UI


Senin, 28 November 2016 / 19:00 WIB
Menyoal kelemahan PER untuk menentukan valuasi saham

Reporter: Budi Frensidy | Editor: hendrika.yunaprita

Berdasarkan price earnings ratio (PER) terakhir, KONTAN setiap hari menyajikan 10 saham LQ-45 termurah dan termahal. Untuk minggu lalu, misalnya, data yang dirangkum KONTAN menunjukkan 10 saham termurah mempunyai PER antara 6,1 hingga 13,2, dengan PER rata-rata sebesar 10,4. Sementara PER rata-rata 10 saham termahal adalah 125,5 dan berada antara 30,2 sampai 450.

Dari situ terlihat PER aktual saham-saham LQ-45 sangat bervariasi, antara 6,1 hingga 450. Padahal saham-saham yang masuk indeks LQ-45 sudah melalui penyaringan ketat. Mengapa hal ini bisa terjadi? Mengapa saham-saham termurah tidak lantas diburu investor dan saham termahal juga masih ada yang membeli?

Dalam valuasi saham, kita mengenal model periode tunggal dan periode multipel, model nilai absolut dan nilai relatif, dan model berdasarkan arus kas (cash-flow based) versus berbasis akuntansi atau akrual (accrual-based), yang menggunakan laba bersih per saham alias earning per share (EPS) atau nilai buku. Sedangkan arus kas dapat berUpa dividen, arus kas operasi, arus kas bebas untuk perusahaan, dan arus kas bebas untuk ekuitas.

Berdasarkan pengelompokan di atas, bisa kita simpulkan PER adalah model periode tunggal untuk mencari nilai relatif menggunakan kelipatan harga (price multiple) berdasarkan akrual (mengandalkan EPS).

Aplikasi keputusan investasi menggunakan PER adalah dengan membandingkan PER wajar sebuah saham dengan PER aktual saham itu di pasar. Prinsip idealnya, belilah saham yang PER wajarnya lebih tinggi daripada PER aktual saham tersebut di pasar. Lalu, juallah saham jika PER wajarnya ternyata lebih rendah daripada PER aktualnya.

PER disukai karena kita mudah menghitung dan mengartikannya. Selain praktis, PER juga dapat dianalogikan dengan periode modal kembali (payback) yang sangat populer sebagai kriteria investasi dalam aset riil. Dengan asumsi rasio pembayaran (payout) dividen adalah 100% dari laba bersih, investor yang membeli saham dengan PER 10 akan memperoleh modalnya kembali dalam 10 tahun.

Tapi, di balik keunggulannya, PER mengandung lima kelemahan. Pertama, angka laba bersih yang digunakan adalah produk akuntansi yang sarat dengan estimasi, asumsi, metode, dan kebijakan yang dipilih manajemen perusahaan. Kedua, PER adalah valuasi dengan menggunakan periode tunggal.

Untuk memahami ketiga kelemahan lainnya, kita perlu mengenal terlebih dahulu valuasi saham secara absolut paling sederhana dengan menggunakan arus kas yang sudah tersedia, tidak perlu dihitung terlebih dahulu seperti arus kas lainnya, yaitu model pendiskontoan dividen. Berdasarkan model valuasi ini, nilai atau harga wajar sebuah saham adalah nilai sekarang dari dividen yang dihasilkannya di masa datang. Berikut contohnya.

Berapakah nilai sebuah saham yang memberikan dividen konstan Rp 300 setiap tahun? Asumsikan tingkat imbal hasil yang diharapkan investor untuk saham ini, berdasarkan CAPM atau model lainnya, adalah 15%. Maka persamaan yang bisa digunakan adalah nilai saham sama dengan dividen dibagi tingkat return yang diharapkan.

Jadi perhitungannya Rp 300 / 15% = Rp 2.000. Jika dividen tahun ini belum dibagikan, nilai saham akan jadi Rp 2.000 ditambah nilai dividen tahun ini, atau menjadi Rp 2.300.

Dalam praktiknya, saham yang dividennya konstan adalah saham preferens, yang jumlahnya hanya empat dan hampir tidak ada transaksi setiap harinya, dan saham yang laba bersihnya sudah mentok. Investor tidak menyukai kedua macam saham ini karena investor mengejar capital gain yang bersumber dari pertumbuhan EPS dan biasanya diikuti dengan kenaikan dividen. Melanjutkan ilustrasi di atas, jika dividen yang dibayarkan itu mengalami pertumbuhan 10% per tahun, berapa nilai atau harga wajar saham tersebut?

Persamaan untuk itu, yang dikenal sebagai model pertumbuhan Gordon dengan g tingkat pertumbuhan dan D1 dividen tahun depan, adalah P = D1/(k -g). Dividen tahun depan Rp 300 (1 + 10%) = Rp 330, sehingga nilai saham ini menjadi Rp 330 /(15%-10%) = Rp 6.600 dan Rp 6.900 jika dividen tahun ini sebesar Rp 300 belum dibayarkan. Investor ternyata bersedia membayar tiga kali lipat harga awal atau mengeluarkan tambahan Rp 4.600 untuk membeli pertumbuhan.

Model Gordon

Kembali ke soal PER. Jika persamaan Gordon di atas kita bagi dengan EPS, kita akan mendapatkan P/EPS = (D1/EPS) /(k-g). Ruas kiri persamaan yaitu P / EPS tidak lain adalah PER wajar (justified) dan ruas kanan adalah ketiga faktor yang mempengaruhinya, yaitu D1/EPS atau dividend payout ratio, tingkat diskonto (k) yang mencerminkan risiko saham, dan tingkat pertumbuhan. Ini berarti, PER wajar berhubungan positif dengan rasio payout dan pertumbuhan, serta berhubungan terbalik dengan risiko (tingkat diskonto). Dari hubungan-hubungan ini, kita pun dapat menguraikan tiga kelemahan terakhir PER.

Ketiga, PER mengasumsikan tingkat pertumbuhan yang sama untuk semua emiten. Kenyataannya, tingkat pertumbuhan bisa berbeda. Karena faktor inilah, banyak investor masih bersedia membeli saham dengan PER tinggi.

Keempat, PER mengabaikan perbedaan risiko yang dihadapi emiten, baik risiko finansial akibat besarnya utang maUpun risiko usaha atau industri. Risiko-risiko ini dapat mengakibatkan penurunan laba bersih di periode mendatang, sehingga PER akan mengalami peningkatan dan harga saham menjadi tidak murah lagi. Kelima, PER juga tidak memperhitungkan perbedaan payout dividend. Adanya risiko besar dan sangat rendahnya payout menjelaskan mengapa saham termurah dengan PER rendah di BEI masih tidak dilirik investor.

Kesimpulannya, saham dengan PER aktual yang rendah sangat mungkin PER wajarnya juga sekitar angka itu, sehingga tidak dapat dikatakan murah. Untuk saham dengan PER tinggi, investor mungkin mengantisipasi tingginya pertumbuhan EPS di masa mendatang.

Meskipun demikian, saya tetap tidak berminat mengoleksi empat saham termahal yang PER-nya saat ini sudah di atas 100, tidak perduli saham itu big cap, LQ-45, diminati investor asing, bagian dari proyek pemerintah, atau alasan lainnya. Terlalu spekulatif. n

Tapi, di balik keunggulannya, PER mengandung lima kelemahan.



TERBARU

×