kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / refleksi

Pareto

oleh Ekuslie Goestiandi - Pengamat Manajemen dan Kepemimpinan


Senin, 28 November 2016 / 19:05 WIB
Pareto

Reporter: Ekuslie Goestiandi | Editor: hendrika.yunaprita

Konon, Abraham Lincoln, salah satu presiden negeri Paman Sam paling hebat sepanjang sejarah, pernah berujar, If I had four hours to chop down a tree, I'd spend the first two hours sharpening the axe.

Berbeda dengan banyak orang yang akan serta-merta mengayunkan kapak menebang pohon, sang Presiden yang menghapus sistem perbudakan itu, pertama-tama justru akan mengasah kapaknya dengan cermat. Karena, ia tahu persis, dengan kapak yang tajam, pohon dapat terbelah hanya dalam hitungan menit. Sementara, akan butuh waktu berjam-jam untuk menumbangkan pohon dengan modal kapak yang tumpul. Seberapa keras pun tenaga telah dikerahkan!

Kutipan di atas mengingatkan kita untuk berpikir sebelum bertindak, membuat rencana sebelum bekerja.

Lewat pemikiran yang matang, sebuah tindakan akan menjadi efektif. Sama halnya pula, melalui perencanaan yang baik, eksekusi juga jadi tajam.

Perencanaan yang matang akan mengeliminasi ruang trial and error (coba-coba salah), yang sesungguhnya mengandung pemborosan dan inefisiensi tak perlu.

Dengan latar belakang seperti inilah, muncul kebiasaan untuk melakukan perencanaan tahunan (annual planning), yang dilakukan oleh banyak organisasi pada akhir tahun. Harapannya, dengan berkas perencanaan kerja yang sudah ada di tangan, sebuah organisasi akan mampu menunjukkan kinerja terbaiknya di tahun yang akan datang. Bahkan, jauh mengungguli para pesaing di sekitarnya.

Namun, tanpa disadari, banyak di antara kita yang menjalani momentum perencanaan ini sekadar sebagai sebuah tradisi rutin menjelang tahun kerja yang baru.

Akibatnya, hasil perencanaannya pun tak mendatangkan daya-lecut yang mampu mendongkrak kinerja organisasi secara signifikan, bahkan lebih jauh... mendatangkan perbedaan nyata.

Inilah bahaya dari sebuah kegiatan perencanaan yang dilakukan sebagai ritual tahunan semata, bukannya sebuah kesempatan untuk menciptakan prestasi yang sungguh-sungguh berbeda, bahkan luar biasa.

Tidak heran, dalam bukunya yang bertajuk The 4 Disciplines of Execution : Achieving Your Wildly Important Goals (2012), Chris McChesney, Sean Covey dan Jim Huling, mengajak kita untuk merumuskan rencana sasaran kerja (goal) secara benar.

Tak perlu menetapkan sasaran kerja dalam jumlah yang banyak. Studi mereka justru menunjukkan bahwa semakin banyak sasaran yang hendak diraih, semakin tak fokus pula proses eksekusinya.

Yang lebih penting dari urusan jumlah adalah perkara kualitas sasaran itu sendiri. Mereka menamai sasaran yang bermutu tersebut sebagai wildly important goals, yakni sasaran yang super maha penting bagi organisasi dalam memenangkan persaingan.

Keberhasilan mencapai wildly important goals akan membuat segala sesuatu menjadi berbeda; menjadikan organisasi stand-out dari para pesaingnya. Sebaliknya, kegagalan dalam meraih sasaran seperti ini, akan membuat pencapaian-pencapaian yang lainnya dapat kehilangan makna.

Dua sasaran penting

Sebenarnya, proses penetapan wildly important goals mengikuti azas alamiah yang selama ini dikenal dengan Prinsip Pareto, atau disebut juga prinsip 80/20.

Prinsip ini dipicu oleh pengamatan seorang ekonom Italia, Vilfredo Pareto, pada tahun 1906, yang menunjukkan bahwa 80% dari pendapatan ekonomi di Italia ternyata dimiliki oleh 20% dari jumlah populasi negara tersebut.

Oleh pemikir manajemen Joseph M. Juran, hasil pengamatan tersebut dikembangkan lebih jauh sebagai sebuah prinsip, yang tak hanya diterapkan untuk urusan ekonomi, namun juga di ranah kehidupan lainnya, termasuk juga urusan bisnis dan organisasi.

Semisal, 80% dari pendapatan perusahaan datang dari 20% dari jumlah tenaga penjualan, ataupun 20% dari jumlah produk menyumbang 80% dari keuntungan perusahaan.

Seorang teman memberikan ilustrasi menarik tentang aplikasi prinsip Pareto dalam kekalahan raksasa Goliath, yang ditundukkan oleh sosok mungil bernama David.

Alkisah, dari sepuluh amunisi (peluru) yang dihunjamkan ke badan sang raksasa, hanya dua peluru yang benar-benar membuatnya tumbang. Delapan peluru yang menghantam sekujur tubuh, samasekali tak menggoyahkan badan yang kekar, apalagi merobohkannya.

Dua peluru peregang nyawa tersebut adalah peluru-peluru yang melesat ke dalam mata Goliath.

Sama seperti ketika melakukan kegiatan perencanaan, jangan sampai kita sibuk membuat delapan rencana sasaran, yang jika semuanya dapat tercapai tak mendatangkan makna yang nyata. Dan, justru abai terhadap dua rencana sasaran, yang bila terlaksana baik, akan membuat kita sungguh-sungguh berbeda.



TERBARU

×