kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / wakeupcall

Saham Diskon yang Masih Kurang Diminati

oleh Budi Frensidy - Pengamat Pasar Keuangan dan Staf Pengajar FEB-UI


Senin, 09 Januari 2017 / 21:39 WIB
Saham Diskon yang Masih Kurang Diminati

Reporter: Budi Frensidy | Editor: hendrika.yunaprita

Di balik keunggulan dan kepraktisan sebagai metode valuasi relatif menggunakan kelipatan harga, price earnings ratio (PER) ternyata mengandung beberapa kelemahan. Pertama, valuasi dengan PER hanya berdasarkan laporan keuangan periode tunggal.

Kedua, komponen earnings dalam PER diambil dari laporan keuangan berbasis akrual yang sarat dengan estimasi, metode, dan kebijakan akuntansi. Bandingkan dengan arus kas, yang tidak bisa berbohong, yang digunakan dalam valuasi berbasis kas.

Kelemahan lainnya, metode valuasi PER mengasumsikan tingkat pertumbuhan, tingkat risiko, dan payout dividend yang sama untuk semua emiten. Kenyataannya, ketiganya dapat berbeda antara satu saham dengan saham lainnya.

Intinya, ada PER wajar untuk setiap saham. Ada saham yang PER wajarnya tinggi dan lainnya rendah, sementara sebagian besar di kisaran angka 12-18. Saham-saham dengan PER aktual yang rendah, mungkin saja PER wajarnya juga rendah, sehingga tidak dapat disebut murah juga. Pada ekstrem lain, saham-saham dalam daftar PER tinggi, mungkin sudah sewajarnya dan sepantasnya sebesar itu.

Di urutan kedua setelah PER, dalam metode kelipatan harga, kita mengenal price to book value (PBV) yang sering digunakan untuk menilai valuasi saham dalam industri keuangan. Saham dengan PBV tinggi dinilai mahal dan PBV rendah sebagai murah.

Investor bersedia membeli saham dengan PBV tinggi karena optimistis dengan prospek dan pertumbuhan perusahaan di masa depan. Sebaliknya, investor pesimistis dan meragukan profitabilitas dan kelangsungan usaha emiten dengan PBV rendah.

Dilihat dari dua rasio utama dalam valuasi di atas, beberapa saham kurang disukai investor. Tiga di antaranya berasal dari grUp konglomerasi yang sama, yaitu Bank Panin (PNBN), Paninvest (PNIN) dan Panin Financial (PNLF).

Di subindustri atau sektor perbankan, PNBN yang memiliki ekuitas Rp 33,3 triliun, masuk kelompok bank terbesar dengan ekuitas minimal Rp 30 triliun, di bawah Bank Mandiri, BRI, BCA, BNI, Bank Danamon dan Bank Niaga. Rata-rata PER ketujuh bank besar tadi akhir minggu lalu adalah 11,93 dengan PBV rata-rata 1,45. Sementara rata-rata PER dan PBV seluruh emiten perbankan adalah 21,25 dan 1,44.

Bandingkan dengan PNBN yang mempunyai PER 7,63 dan PBV 0,52. Dibandingkan tujuh bank terbesar, dari segi PER maUpun PBV, PNBN adalah yang terendah. Tapi PNBN tidak sendiri. Dilihat dari PER, BDMN juga hanya dihargai dengan PER 9,91. Berdasarkan PBV, ada dua saham bank lain yang juga dihindari investor karena PBV-nya hanya 0,6 kali dan 0,92 kali, yaitu BNGA dan BDMN.

Jika saja PBV PNBN sebesar 1 kali, harganya akan berada di Rp 1.390 dan kapitalisasi pasarnya menjadi Rp 33,3 triliun, naik 92% dari harga dan kapitalisasinya saat ini yang hanya Rp 725 dan Rp 17,3 triliun.

Sebagai analis fundamental, saya percaya dalam jangka panjang harga saham akan konvergen ke nilainya. Tapi, dalam jangka pendek, harga dapat menjauh dari nilainya karena pesimisme dan optimisme berlebihan investor.

Susahnya, saya tak tahu jangka panjang pastinya sampai kapan saham ini mencapai harga sesuai PBV, karena sudah sejak lima tahun lalu PBV bank ini selalu di bawah satu. Anehnya, saham adiknya yang baru lahir Januari 2014, yaitu Bank Panin Syariah (PNBS) disukai investor dengan PER 67 dan PBV 1,13.

Saham PNIN, yang masih bersaudara dengan PNBN, juga memiliki PER dan PBV rendah. PER saham ini 2,76 dan PBV 0,11 kali, padahal rata-rata PER subindustri ini adalah 18,68 dan PER 2,05. PER PNIN dalam 5 tahun terakhir nyatanya selalu di bawah 5 kali. Sangat jarang terjadi emiten yang labanya terus naik mempunyai PER dan PBV yang terus turun alias semakin tidak dihargai pasar. Kas yang dimiliki perusahaan ini, yakni Rp 3,39 triliun, ternyata lebih besar daripada kapitalisasi pasarnya yang hanya Rp 2,5 triliun per akhir kuartal III-2016.

Ada yang memandang ini tidak aneh karena PNIN adalah holding company. Tapi, secara fundamental saya tetap harus mengatakan ini sebagai sebuah bargain buy. Saham yang modal kerja bersih di atas harganya saja sudah layak beli, apalagi yang kas per sahamnya lebih besar. Hanya ada satu-dua saham lain di bursa kita yang kasnya lebih besar daripada kapitalisasinya. Tetapi saham-saham itu kebetulan tidak mendulang laba di beberapa tahun terakhir.

Masih ada satu saham grUp Panin yang kurang disukai investor, yaitu PNLF. Saham ini hanya dihargai dengan PER 4,09 dan PBV 0,28, terendah kedua setelah Lippo Securities (LPPS) yang memiliki PER 2,9 dan PBV 0,24.

Kesimpulannya, PNBN, PNIN, dan PNLF tidak disukai investor sehingga tidak dihargai dengan wajar. Penyebabnya, ketiganya pelit dividen alias payout dividend sangat rendah, atau malah tidak ada, sehingga pasar menghukumnya. PNIN bagi dividen sekitar 3-4 tahun sekali dengan yield dividen sekitar 0%0,6%. PNBN juga setali tiga uang. Entah kapan emiten ini terakhir kali membayarkan dividen. Saham PNLF seingat saya malah tidak pernah membayarkan dividen.

Kalau sudah begini, analisis fundamental hanya memberikan harapan dan bukan realitas.



TERBARU

×