kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / refleksi

Jangka panjang dan pendek

oleh Ekuslie Goestiandi - Pengamat Manajemen dan Kepemimpinan


Senin, 09 Januari 2017 / 21:45 WIB
Jangka panjang dan pendek

Reporter: Ekuslie Goestiandi | Editor: hendrika.yunaprita

Belakangan ini, perdebatan tentang orientasi jangka panjang vs jangka pendek (long-termism vs short-termism) seringkali mencuat ke permukaan. Banyak pengamat dan pelaku organisasi merasa bahwa para pemegang saham pada masa kini tak cukup sabar untuk menanti hasil investasinya. Mereka cenderung menuntut return alias imbal hasil yang tinggi dan secepat mungkin. Dahulu kala, usaha membangun bisnis lazim dianalogikan dengan ikhtiar membangun rumah, yang memerlukan waktu secukupnya, proses konstruksi yang cermat, dan ketekunan jangka panjang. Namun, atas nama kompetisi, upaya-upaya yang membutuhkan kesabaran tersebut, saat ini dianggap tak relevan lagi.

Jika melihat data yang ada, kekhawatiran terhadap orientasi jangka panjang (long-termism) sesungguhnya cukup faktual. Sebuah studi menunjukkan, 80% dari perusahaan Fortune-500 dan S&P-500 yang eksis sebelum tahun 1980, ternyata saat ini sudah tidak ada lagi. Lebih jauh, diperkirakan pula bahwa 17% lainnya juga sudah akan meninggalkan panggung bisnis dalam lima tahun ke depan.

Untuk mengonfirmasi hasil riset tersebut, Vijay Govindarajan (guru besar dari Dartmouth Colleges Tuck School of Business) melakukan riset lanjutan. Govindarajan bahkan memperlebar lingkup perusahaan yang diteliti, dengan menjangkau 29.688 perusahaan yang tercatat di Bursa Efek Amerika Serikat dalam kurun waktu 19602009. Perusahaan-perusahaan tersebut dibagi ke dalam kelompok 10 tahunan, dengan mengacu kepada waktu pencatatan di bursa. Selanjutnya, pengujian dilakukan untuk melihat, sejauh mana perusahaan-perusahaan tersebut masih bertahan dalam kurun waktu 5 tahun berikutnya. Hasilnya memang menunjukkan bahwa umur perusahaan dari masa ke masa semakin menurun.

Perusahaan-perusahaan yang tercatat di bursa sebelum 1970 menunjukkan peluang bertahan hidup (chance of survival) untuk 5 tahun berikutnya sebesar 92%. Sementara perusahaan-perusahaan yang tercatat di bursa sejak 20002009, hanya menunjukkan rasio chance of survival untuk 5 tahun selanjutnya sebesar 63%. Sebuah angka penurunan yang cukup signifikan.

Menjadi pertanyaan bersama, mengapa tingkat mortalitas (kematian) perusahaan pada usia dini meningkat tajam? Untuk mencari jawaban di atas, dilakukan analisis terhadap pola pembelanjaan aset perusahaan, yang dalam hal ini dibagi menjadi dua jenis, yakni (1) aset fisik semisal pabrik, peralatan dan perangkat fisik lainnya, dan (2) aset organisasional seperti SDM, patent, research and development, dan intellectual property.

Ternyata, Govindarajan menemukan bahwa dibandingkan perusahaan-perusahaan yang eksis sebelumnya, perusahaan-perusahaan di atas (setelah) tahun 2000, secara rata-rata mengeluarkan biaya belanja aset organisasional sebesar 2 kali lebih besar, dan sebaliknya mengeluarkan biaya belanja aset fisik sebesar kali lebih kecil. Perusahaan-perusahaan baru cenderung memiliki model bisnis yang unik, seperti layanan digital, yang bisa diperkenalkan dan didistribusikan ke pasar secara cepat. Mereka dengan segera bisa menjangkau pasar tanpa harus bersusah payah membangun pabrik, gudang dan jaringan distribusi secara fisik.

Mudah ditiru

Sekilas terlihat sebagai sebuah keuntungan, namun pada hakekatnya laksana pedang bermata ganda, yang juga mengandung risiko besar. Salah satu risikonya adalah produk dan layanan perusahaan bisa seketika juga ditiru oleh para pesaing, bahkan dengan kualitas yang jauh lebih baik. Sebagai contoh, beberapa waktu yang lalu orang mengenal dan menggunakan aplikasi organisasi bernama Evernote. Tak lama berselang, muncul layanan sejenis seperti Microsoft OneNote, Apples Note, Google Keep, dan sebagainya dengan tawaran fitur dan fungsi yang praktis sama. Sama halnya pula, Skype, FaceTime, Viber dan Google Hangouts, yang semuanya bertempur di area yang sama, yakni video-chat.

Model bisnis baru, utamanya yang berorientasi digital dan platform virtual, telah membuat akses bisnis terbuka lebar dan proses bisnis berjalan cepat. Grafik pertumbuhan bisnis bisa melesat tajam dalam waktu yang singkat. Namun, grafik penurunan bisnis juga dapat menukik dalam secepat kilat. Dalam hitungan hari, sebuah produk/layanan bisa sukses dan meledak luar biasa. Namun, tak butuh waktu lama pula, produk/layanan tersebut pun bisa ditiru, dan bahkan dikembangkan lebih jauh oleh para pesaing.

Aset organisasional semisal teknologi menyediakan keunggulan berupa kecepatan, namun aset fisik memungkinkan kita memiliki daya tahan. Amazon.com adalah contoh perusahaan yang bisa menggabungkan kedua aset di atas bersama-sama. Selain mengandalkan platform teknologi digital untuk urusan promosi dan penjualan secara masif, Amazon.com juga memiliki jaringan gudang secara fisik yang luas dan terkelola seksama. Hasilnya, mereka bisa bergerak dengan cepat, dinamis dan masif, namun pada saat yang bersamaan juga tak mudah serta merta ditiru oleh para pesaingnya dengan segera.

Jadi, bukan saatnya untuk mempertentangkan orientasi jangka pendek dan jangka panjang. Untuk bertumbuh secara berkelanjutan (sustainable), perusahaan memang perlu memiliki orientasi jangka panjang. Namun, tak ada gunanya pula mempunyai orientasi jangka panjang jika umur perusahaannya sendiri pendek. Keduanya sama-sama penting.



TERBARU

×