kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / refleksi

Paradoks Mimpi Besar

oleh Ekuslie Goestiandi - Pengamat Manajemen dan Kepemimpinan


Rabu, 18 Januari 2017 / 16:27 WIB
Paradoks Mimpi Besar

Reporter: Ekuslie Goestiandi | Editor: hendrika.yunaprita

Setiap kali memasuki awal tahun yang baru, banyak orang merumuskan resolusinya masing-masing. Resolusi yang dimaksud umumnya berupa pencapaian yang ingin diraih di tahun mendatang, seringkali dengan target yang serba wah.

Yang masih karyawan biasa, ingin segera menjadi manajer; yang gajinya pas-pasan, ingin mengubah koceknya menjadi tebal; yang masih jomblo, ingin segera menikah. Intinya, ingin berubah ke arah yang lebih baik, dan kalau bisa dengan cara melompat ala kodok, yang dikenal juga istilah frog-leap.

Ternyata, urusan resolusi yang wah dan kencang ini bukan hanya terjadi di level individu, namun juga di aras organisasi. Para pegiat manajemen menyebutnya sebagai stretch goal. Banyak perusahaan besar, seperti Apple, 3M atau pun Boeing, yang dengan gagah berani mengatakan bahwa kesuksesan mereka selalu diawali oleh mimpi-mimpi besar alias stretch-goals.

Bagi mereka, stretch-goals adalah pompa adrenalin terbesar yang membuat mereka mampu mengubah dunia. Pandangan ini sejalan dengan petuah Jim Collins dan Jerry Porras dalam buku best-seller mereka di tahun 1990, Built to Last, yang menjadikan big, hairy and audacious goals sebagai salah satu ciri yang dimiliki perusahaan pemenang.

Namun, alih-alih mengantar kepada kemajuan, stretch-goals justru seringkali mengakibatkan sebuah organisasi tak ke mana-mana. Bahkan, mungkin membuat perusahaan terperosok ke lembah kegagalan yang lebih dalam.

Ketika Marissa Mayer diangkat sebagai CEO Yahoo pada Juli 2012, pendapatan tahunan Yahoo telah turun dari US$ 7,2 miliar menjadi US$ 4,9 miliar selama empat tahun terakhir. Karyawan juga dalam keadaan yang tak bersemangat dan kultur perusahaan secara keseluruhan pun sudah tak sehat.

Ringkas kata, Yahoo sedang menyusuri lorong kerugian yang tampak berkepanjangan. Mayer menjawab persoalan-persoalan di atas dengan memproklamasikan stretch goal, yakni membawa perusahaan ikonik tersebut kembali ke kejayaannya.

Dengan ambisius, ia menetapkan sasaran utama yang sangat amat sulit, yakni meraih pertumbuhan tahunan sebesar double-digit (di atas 10%) selama lima tahun ke depan. Tak lupa pula, ia pun menambahkan delapan target tambahan yang tak kalah menantangnya.

Pada tahun 2016, dari delapan target yang dicanangkannya, ada enam yang realisasinya jauh dari harapan. Demikian pula, target utama berupa pertumbuhan tahunan di atas 10% pun tak terwujud. Pendapatan Yahoo bergeming datar di angka US$ 4,9 miliar. Lebih buruk lagi, pada 2015, Yahoo dilaporkan merugi sebesar US$ 4,4 miliar.

Pada Juli 2016, diberitakan bahwa Verizon setuju untuk mengambil alih kepemilikan perusahaan tersebut (walaupun hingga tulisan ini dimuat, belum dicapai kata akhir dan resmi untuk pembelian tersebut). Hasil tersebut jelas merupakan pencapaian yang buruk dari sebuah rencana besar yang telah dirumuskan tegas oleh Mayer.

Kinerja & sumber daya

Sim B. Sitkin dkk, dalam artikelnya di Harvard Business Review (JanuaryFebruary, 2017) menyebut kegagalan Mayer di atas sebagai the stretch-goal paradox.

Alih-alih mendatangkan lompatan keberhasilan ke tempat yang tinggi, stretch-goal justru mengantar organisasi kepada jurang kegagalan yang begitu dalam. Paradoks bukan?

Lebih lanjut, Sitkin dkk juga mendeteksi dua faktor yang membuat organisasi tak berhasil meraih stretch-goal-nya. Sesungguhnya kedua hal tersebut tampak begitu jelas, namun seringkali diabaikan oleh para pelaku organisasi.

Pertama, faktor kinerja organisasi yang terkini. Perusahaan yang baru saja meraih kemenangan dan prestasi signifikan akan lebih siap untuk menanggapi stretch-goal.

Karyawan-karyawannya akan menunjukkan optimisme tinggi, terampil melihat peluang, gigih mencari informasi, dan menemukan solusi. Sebaliknya, perusahaan yang sedang mengalami kinerja buruk, umumnya tak siap menghadapi strecth-goal.

Karyawan-karyawannya cenderung melihat sasaran yang menantang itu sebagai ancaman, gampang khawatir, bersikap defensif, serta sulit berpikir jernih dan sistematis.

Kedua, faktor ketersediaan sumber daya yang cukup. Jika ketersediaan sumber daya (manusia, uang, pengetahuan, peralatan, dsb.) melebihi kebutuhan organisasi saat ini, maka surplus sumber daya tersebut dapat digunakan untuk menciptakan ide baru serta melakukan eksperimentasi inovatif.

Perusahaan-perusahaan dengan sumber daya yang terpenuhi baik akan lebih siap menghadapi stretch-goal. Bukan hanya karena mereka memiliki cadangan uang, namun terutama cadangan emosi.

Cadangan emosi ini tentunya akan meningkatkan kesiapan dan ketahanan (resilience) mental mereka dalam menghadapi sesuatu yang sulit, menantang dan penuh risiko, yang merupakan ciri utama dari stretch-goal.

Akhirul kalam, tulisan ini tak bermaksud untuk mengajak pembaca menghindari stretch-goal. Tak ada produk teknologi canggih seperti iPhone atau pun pesawat ruang angkasa yang mengantar manusia ke bulan jika tak ada stretch-goal yang hidup di benak pemimpi-pemimpi besar.

Namun, patut dicatat pula bahwa kesuksesan dan kejayaan tak melulu datang dari lompatan kodok yang dramatis. Seringkali, justru datang dari langkah-langkah kecil, yang diayunkan dan dijalani dengan tekun.



TERBARU

×