kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / refleksi

Harakiri

oleh Ekuslie Goestiandi - Pengamat Manajemen dan Kepemimpinan


Selasa, 07 Februari 2017 / 19:36 WIB
Harakiri

Reporter: Ekuslie Goestiandi | Editor: hendrika.yunaprita

Peristiwa yang menimpa Citilink, 28 Desember 2016, telah menjadi catatan buruk kinerja maskapai penerbangan nasional di pengujung tahun. Tekad Purna Agniamartanto, kapten pilot penerbangan Citilink QG800 jurusan SurabayaJakarta, datang terlambat dan setelahnya berbicara tak jelas kepada para penumpang pesawat lewat pengeras suara. Diduga pilot tersebut dalam keadaan tak sehat, yang membuatnya berjalan agak sempoyongan melintasi pintu pemeriksaan bandara, dan kemudian mengoceh tak semestinya di dalam kokpit pesawat.

Harakiri (Hara = perut, Kiru = menusuk). Harakiri adalah tindakan menghukum diri sendiri dengan cara membelah perut. Orang Jepang sendiri jarang menggunakan istilah Harakiri dan lebih senang memakai kata Seppuku, yang juga memiliki arti yang sama.

Pada masa rezim pemerintahan Tokugawa, harakiri sering digunakan sebagai hukuman bagi para samurai (pendekar) yang telah melakukan kesalahan atau pun kejahatan. Tindakan harakiri dianggap terhormat karena untuk melakukannya seseorang harus memiliki keberanian yang sangat luar biasa. Walaupun begitu menyiksa, ia tidak boleh menunjukkan ekspresi ketakutan atau pun kesakitan karena hal tesebut dianggap memalukan bagi seorang samurai yang terhormat sekaligus pemberani.

Banyak pandangan di luar bangsa Jepang yang menganggap harakiri sekadar tindakan bunuh diri. Istilah yang terkesan konyol dan naif. Namun, bagi orang Jepang sendiri (khususnya pada masa keshogunan Tokugawa sebelum restorasi Meiji), kematian dengan cara harakiri adalah tindakan yang mulia dan terhormat. Harakiri dilakukan sebagai upaya (terakhir) menegakkan kehormatan dan menebus dosa. Tak heran, dalam ritual harakiri, pelakunya mengenakan baju putih yang melambangkan kehormatan, kebersihan, dan kesucian.

Saat ini, tradisi harakiri memang sudah berlalu di Jepang, namun sikap moral penegakan kehormatan dan penebusan dosa masih terwariskan ke dalam budaya kontemporer negeri matahari terbit tersebut.

Tanggung jawab moral

Tulisan ini tak bermaksud untuk menyoroti perwujudan fisik harakiri berupa bunuh diri, sebuah tindakan yang tentu bertentangan dengan prinsip kehidupan dan kemanusiaan. Kita dapat memetik pembelajaran, bukan dari ritual bunuh dirinya, namun konteks dan makna dilakukannya harakiri. Harakiri adalah bentuk pertanggungjawaban moral yang paling maksimal dari seseorang (yakni hingga melenyapkan nyawa dan kehidupannya sendiri), yang dilakukan untuk menegakkan kembali harga diri dan kehormatan yang sudah tersobek. Sekaligus ekspresi penyesalan yang paling berani dari seorang manusia, untuk menebus dosa yang telah dilakukannya.

Menarik untuk disimak sebuah penggalan tulisan ikhwal kematian dalam buku Hagakure (The Book of the Samurai), Kita semua mau hidup. Namun, terus ingin hidup sementara tujuan kita tak tercapai adalah tindakan pengecut. Tak perlu malu untuk perkara ini. Ini adalah bushido atawa jalan samurai. Jika jantung seseorang sudah ditetapkan untuk setiap pagi dan malam, ia akan tetap hidup walaupun jasadnya mati. Ia telah mendapatkan kebebasan dalam jalannya. Keseluruhan hidupnya tak akan dipersalahkan, dan ia akan meraih apa yang diyakininya.

Laksana samurai, seorang pemimpin semestinya juga memiliki tanggung jawab moral secara sukarela. Secara sukarela menegakkan kembali harga diri pribadi dan organisasinya, juga menebus dosa yang dilakukan diri pribadi dan kawanannya. Kata guru saya, Memimpin itu sesungguhnya berkorban. Bukan mengorbankan.



TERBARU

×