kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / refleksi

Pemimpin Bijaksana

oleh Ekuslie Goestiandi - Pengamat Manajemen dan Kepemimpinan


Jumat, 24 Februari 2017 / 22:53 WIB
Pemimpin Bijaksana

Reporter: Ekuslie Goestiandi | Editor: hendrika.yunaprita

Saya mendapatkan cerita kebajikan ini dari seorang rekan guru sekolah dasar. Cerita ini terlalu sayang untuk dibuang atau pun disimpan dalam kepala sendiri, dan oleh karenanya, saya tuangkan kembali dalam tulisan ini.

Alkisah, ada seorang ayah yang mempunyai tiga anak kesayangan. Usia yang semakin renta membuatnya menyadari bahwa kematian juga semakin dekat. Ia pun memanggil ketiga anaknya untuk berkumpul di ruang keluarga yang besar di rumahnya. Segera, semua harta pun terbagi merata di antara ketiga anaknya dan hanya menyisakan rumah besar yang saat ini dihuninya. Tak ingin membelah dan membagi rumahnya ke dalam tiga bagian secara merata, sang ayah berharap rumahnya akan terwariskan secara tepat kepada salah satu di antara ketiga anaknya.

Supaya adil dan tak terjadi pertengkaran di antara anak-anaknya, ia pun mengadakan sayembara untuk menentukan sang alih- waris yang sah. Ketiga anaknya diberikan uang dalam jumlah yang sama, dan mereka boleh menghabiskannya untuk membeli sesuatu yang bisa memenuhi ruangan yang luas di rumah tersebut.

Anak pertama, seorang lulusan fakultas ekonomi yang andal, langsung berlari keluar rumah dan segera membeli gunungan kertas bekas. Menurut perhitungannya, gunungan kertas bekas itu, harganya murah, ringan dan bisa mengembang, sehingga akan dapat menutupi segenap ruangan. Namun ternyata, gunungan kertas yang dibelinya tidaklah cukup untuk memenuhi ruangan.

Sementara, anak kedua, seorang sarjana matematika yang brilian, datang dengan membawa tumpukan styrofoam. Menurut analisa stereometri, styrofoam yang ringan tersebut akan dengan mudah dijejalkan dan segera mengisi keseluruhan ruangan. Setelah diisi, ternyata usahanya gagal. Banyak ruang kosong yang menyembul di antara tumpukan styrofoam yang satu dan yang lainnya.

Kemudian, datanglah anak ketiga, seorang ibu rumahtangga bersahaja, yang datang hanya dengan membawa sebatang lilin. Ia pun segera memadamkan lampu di ruangan, dan memantik korek api untuk menyalakan lilinnya. Sekejap, cahaya lilin pun memenuhi ruangan tersebut, memancar hingga ke setiap sudut-sudut ruangan. Nyaris, tak ada celah sedikit pun yang tak tersinari oleh cahaya lilin. Dengan modal yang paling sedikit, anak ketiga menghadirkan manfaat yang terbesar dari penugasan yang diberikan oleh orangtuanya.

Tak ayal, ia pun dipilih sang ayah menjadi pemenang sayembara dan berhak mendapatkan warisan rumah tersebut. Kata sang ayah kepada anak pertama dan kedua, Kalian menyelesaikan persoalan yang ada semata-mata menggunakan perhitungan dan kecerdasan, sementara adik kalian menuntaskan tantangan yang diberikan dengan menggunakan hikmat dan kebijaksanaan. Sungguh menarik kesimpulan sang ayah!

Hikmat

Paul Baltes, seorang psikolog Jerman yang sangat berpengaruh, melakukan studi elaborasi tentang apa yang disebut sebagai kebijaksanaan (wisdom). Baltes melukiskan kebijaksanaan sebagai sinergi antara pikiran (mind) dan karakter (character); orkestrasi yang sempurna antara pengetahuan (knowledge) dan nilai keutamaan hidup (virtueenlightening).

Sebelum menutup ceritanya, tak lupa juga, sang teman menyisipkan pesan klasik tentang lilin (yang menjadi pilihan anak ketiga). Lilin, yang demi menerangi lingkungan sekitarnya, bahkan merelakan (mengorbankan) dirinya untuk habis terbakar. Dan, hanya mereka yang sudi berkorban dengan tulus tanpa pamrih, yang akan berhasil mencapai puncak kesadaran kosmik; suatu puncak kesadaran yang mengantar seseorang kepada kualitas kebijaksanaan penuh hikmat. Manusia dalam kondisi kesadaran seperti ini adalah manusia yang sekaligus tercerahkan dan mencerahkan dunia sekelilingnya.

Tanggal 15 Februari 2017, kita akan memilih pucuk pimpinan di daerah masing-masing. Tak diragukan lagi, banyak calon yang memiliki postur yang gagah, pikiran yang cerdas, serta prestasi diri yang mengagumkan. Namun, seperti pilihan sang ayah di atas, ternyata sila keempat Pancasila, juga sudah mengingatkan kita agar rakyat dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan (dalam permusyawaratan perwakilan). Bukan sekadar dipimpin oleh kegagahan, kecerdasan atau pun kecakapan semata.



TERBARU

×