kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / refleksi

Post Power Syndrome

oleh Ekuslie Goestiandi - Pengamat Manajemen dan Kepemimpinan


Jumat, 03 Maret 2017 / 17:01 WIB
Post Power Syndrome

Reporter: Ekuslie Goestiandi | Editor: hendrika.yunaprita

Ya, saya yakin sepenuhnya, pembaca pasti pernah mendengar frasa yang menjadi judul tulisan di atas. Namun baiklah, perkenankan saya mengulas sedikit pengertian tentangnya agar semua pembaca memiliki pemahaman yang sama. Ada tiga kata dalam frasa di atas, masing-masing adalah: post yang berarti pasca atawa setelah, power yang bermakna kekuasaan, dan syndrome yang artinya adalah gejala. Sebagai gejala, syndrome seringkali diasosiasikan sebagai gejala yang bersifat negatif. Dengan demikian, post power syndrome merupakan gejala-gejala (umumnya negatif) yang seringkali muncul pada seseorang setelah melewati masa jabatan atau kekuasaannya. Beberapa gejala post power syndrome yang lazim kita lihat adalah mudah tersinggung alias sensitif, senang berbicara tentang kehebatan diri di masa lalu, dan gampang kecewa dengan kondisi masa kini. Singkat cerita, orang yang terkena gejala post power terjebak dalam kungkungan masa lalu dan susah untuk move-on.

Setiap manusia pada dasarnya rentan mengalami post power syndrome karena adanya sifat kelembaman (inertia) dalam diri kita semua. Tak heran, beberapa pakar psikologi menjadikan situasi post power syndrome sebagai salah satu fase perkembangan kritis manusia, yang harus dilewati dengan baik. Bila berhasil dilalui dengan baik, seseorang akan bertransformasi menjadi manusia yang matang, bijaksana dan dihargai lingkungan sekitar.

Sebaliknya, jika gagal dilewati dengan baik, seseorang akan mengalami stagnasi (kemandegan) perkembangan kematangan diri, yang membuatnya tak beranjak kemana-mana. Lebih parah lagi, mungkin akan mengalami regresi (kemunduran) perkembangan diri, yang mewujud dalam sifat kekanak-kanakan, seperti cengeng, gampang kesal atau pun emosional. Kalau sudah demikian, mana mungkin akan dihormati oleh orang-orang di sekelilingnya?

Walaupun merupakan fase perkembangan kritis yang bersifat alamiah, beberapa kalangan mempunyai risiko yang besar untuk mengidap post power syndrome secara intens. Salah satunya adalah kelompok orang-orang yang secara mental sangat menggantungkan eksistensi dirinya kepada hal-hal di luar dirinya, seperti jabatan, pangkat, harta, kekuasaan, dan segenap pernak-perniknya. Kepercayaan diri dan ketangguhan mentalnya dibangun di atas landasan-landasan ekstrinsik atawa di luar dirinya. Orang-orang seperti ini akan tampil gagah berani jika di kantong saku tersimpan kartu nama dirinya dengan jabatan yang tinggi. Demikian juga, mereka akan menunjukkan kepercayaan dirinya secara ekspresif jika sedang mengendarai mobil sedan nan mewah. Dalam hal ini, pencitraan diri eksternal seakan-akan menyatu ke dalam realitas diri internal. Seketika faktor ekstrinsik tersebut terambil dari dirinya, seketika itu pula ketangguhan mentalnya roboh terkulai.

Anggap amanah

Selain orientasi mental yang bersifat ekstrinsik, orientasi berpikir seseorang juga bisa mengantarnya kepada post power syndrome. Persisnya, orientasi berpikir yang tak pernah mengenal kata selesai. Ibarat perjalanan, pikiran mereka hanya berisi kata terus dan terus, maju dan maju, hingga waktu menakdirkan mereka untuk membentur tembok dan terpental balik.

Mahatma Gandhi dan Nelson Mandela adalah sosok pemimpin mengagumkan, yang saat mendapatkan amanah kekuasaan, menjalankan peran kepemimpinannya dengan sepenuh hati. Dan, ketika tiba waktunya buat untuk berpisah dengan tampuk kekuasaan, mereka pun tak ngotot untuk maju terus dan terus lagi. Mereka sadar waktunya sudah usai dan selanjutnya menjalani lakon baru sebagai guru bangsa.

Beberapa hari yang lalu, saya juga berjumpa dengan seorang mantan pejabat tinggi sebuah institusi; sosok yang berpengaruh dan memiliki wewenang organisasi yang besar. Semenjak dua tahun yang lalu, beliau pensiun dan kemudian menjalani hidup sebagai orang biasa. Karena begitu segar dan ceria, saya pun bertanya apa kiatnya bisa berhasil melewati fase pensiun yang sangat potensial untuk menjebaknya ke dalam post power syndrome. Jawabnya sederhana, Hidup dan segala kepemilikan itu sekadar amanah.

Demi memuaskan rasa ingin tahu, saya pun segera membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia untuk menemukan makna kataamanah. Di situ tertulis bahwa amanah adalah sesuatu yang dititipkan atawa dipercayakan kepada seseorang. Selayaknya sebuah titipan, kita pasti mahfum bahwa ada saatnya dititipkan, ada pula saatnya diambil kembali oleh pihak (pemilik) yang lebih berhak.

Saat dititipkan, mari kita jaga dan rawat dengan sebaik-baiknya. Demikian pula, saat diambil kembali, kita pun tak perlu marah dan merengek seperti lagaknya seorang pemilik yang sah.



TERBARU

×