kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / refleksi

Mentalitas pendiri

oleh Ekuslie Goestiandi - Pengamat Manajemen dan Kepemimpinan


Senin, 20 Maret 2017 / 17:06 WIB
Mentalitas pendiri

Reporter: Ekuslie Goestiandi | Editor: hendrika.yunaprita

Kita semua mahfum bahwa sebuah perusahaan umumnya lahir dari buah karya seorang individu atawa keluarga. Saat perusahaan masih berusia belia dan berukuran kecil, semua tampak berjalan baik, lancar dan melaju pesat. Akan tetapi, sering dengan perjalanan waktu, skala perusahaan pun menjadi semakin besar, kompleks dan sarat dengan persoalan. Jika tak dikelola dan dilewati dengan baik, bukannya tak mungkin, perusahaan yang dibangun dengan susah payah akan berakhir dengan nestapa.

Makanya, tak heran jika banyak yang berseloroh dengan postulat generasi pertama yang membangun, generasi kedua yang membesarkan, dan generasi ketiga yang menghancurkan.

Sesungguhnya persoalan krisis, penurunan kinerja atau bahkan juga kejatuhan sebuah perusahaan (keluarga) tak melulu terpaut dengan urusan individu sang pemimpin pewaris tahta.

Pada kenyataannya, dinamika organisasi yang muncul pada setiap tahapan pertumbuhan juga berbeda-beda, yang mengimplikasikan derajat risiko dan potensi krisis yang berlainan pula. Dan, sudah menjadi hukum alam bahwa semakin besar pertumbuhan sebuah bisnis, semakin tinggi pula kompleksitas organisasi yang akan dihadirkannya. Bila kompleksitas tersebut tak terkelola baik, akan menjadi pembunuh diam-diam (silent killer) terhadap pertumbuhan itu sendiri. Inilah yang disebut sebagai paradoks pertumbuhan atawa paradox of growth.

Ada tiga fase krisis pertumbuhan yang lazim terjadi pada sebuah organisasi, dan sejatinya dapat diperkirakan dan diantisipasi. Fase krisis pertama, disebut juga overload (kewalahan), terjadi pada perusahaan yang baru dibentuk dan bertumbuh pesat. Akibat ingin membesarkan dirinya dengan cepat, seringkali terjadi kegaduhan organisasi secara internal, yang mengakibatkan mereka lalai memanfaatkan momentum eksternal yang tersedia.

Sementara, fase krisis kedua, disebut pula stall-out (melamban), yakni pelemahan/pelambanan mendadak yang dialami oleh banyak perusahaan sukses. Pertumbuhan perusahaan yang pesat telah melahirkan birokrasi organisasi yang begitu kompleks. Akibatnya misi dan tujuan organisasi menjadi semakin kabur, sehingga membuat organisasi menjadi gagal fokus dan kehilangan energi. Pada masa stall-out, perusahaan seringkali mengalami kebingungan, karena mesin pertumbuhan organisasi mendadak tak berjalan seperti biasanya, sementara kompetitor-kompetitor belia tampak bermunculan dan unjuk persaingan.

Terakhir, adalah fase krisis free fall (terjun bebas), merupakan ancaman krisis yang paling menakutkan. Dalam fase ini, pertumbuhan perusahaan sama sekali mandek dan model bisnis (yang telah mengantarkannya kepada kesuksesan selama ini) tiba-tiba tak berfungsi lagi. Tim manajemen perusahaan menjadi mati gaya, tak sanggup mengidentifikasi akar persoalan, apalagi menemukan solusinya. Kalau sudah demikian, perusahaan seolah berpacu dengan waktu untuk bisa melewati masa kritis tersebut dan menyelamatkan nyawanya.

Walaupun tampak menakutkan, jika dicermati baik, fase-fase krisis di atas pada hakekatnya dapat diprediksi. Dengan demikian, juga dapat diantisipasi. Silent killer bagi pertumbuhan organisasi tersebut bahkan bukan hanya dapat diantisipasi, namun juga bisa dimanfaatkan sebagai alasan konstruktif untuk melakukan agenda perubahan dalam perusahaan.

Studi menunjukkan bahwa tak banyak agenda perubahan (change initiative) sebuah organisasi yang dapat berjalan baik tanpa didahului oleh kondisi kritis yang memaksa.

Tiga elemen utama

Dalam bukunya bertajuk The Founders Mentality (2016), penulis buku best-seller Profit from the Core (2001), Chris Zook & James Allen menelisik faktor mendasar yang membuat sebuah organisasi mampu bertahan melewati krisis, sekaligus bertumbuh secara berkesinambungan. Mereka menyebut faktor mendasar tersebut sebagai founders mentality, yakni mentalitas yang dimiliki oleh para pendiri ketika mereka mulai mendirikan, memimpin dan mengelola perusahaan.

Ada tiga elemen utama dari founders mentality tersebut, yakni (1) insurgent mission (misi yang kuat menggelegak), yang ditandai dengan pemahaman terhadap misi organisasi yang kuat, kemampuan diferensiasi yang jelas, serta orientasi investasi yang visioner dan jangka panjang; (2) front-line obsession, berupa kemampuan melakukan inovasi dan pembelajaran, pemberdayaan terhadap para front-liner atawa ujung-tombak perusahaan, serta kepedulian total terhadap kebutuhan konsumen; (3) owners mindset, yakni perhitungan cermat dalam urusan biaya dan pendapatan, cekatan dalam mengambil keputusan, dan menghindari birokrasi yang tak menciptakan nilai tambah.

Bagi Zook & Allen, mentalitas pendiri tersebut bisa disuntikkan dan disebarkan ke segenap elemen organisasi. Suatu saat, sang pendiri boleh saja meninggalkan organisasi, namun mentalitas yang diwariskannya akan menjadi fondasi terkuat untuk membangun kultur organisasi yang tangguh. Kultur yang sanggup melewati krisis, sekaligus juga bertumbuh secara sustainable.



TERBARU

×