kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / refleksi

Ibu yang memberi

oleh Ekuslie Goestiandi - Pengamat Manajemen dan Kepemimpinan


Senin, 20 Maret 2017 / 17:09 WIB
Ibu yang memberi

Reporter: Ekuslie Goestiandi | Editor: hendrika.yunaprita

Baru-baru ini saya berdiskusi dengan seorang pimpinan perusahaan yang sangat besar. Topiknya tentang keberlangsungan usaha alias business sustainability. Banyak pengalaman yang dibagikan oleh sang senior, terutama tentang praktik-praktik bisnis yang dilakukannya selama ini, sehingga perusahaan bertahan dan bertumbuh langgeng.

Di antara berbagai pengalaman, teori dan falsafah bisnis yang diceritakannya, ada satu kalimat yang sungguh menggelitik saya. Katanya, Dalam berbisnis, kita pertama-tama harus berpikir untuk mengutamakan, membantu dan mengembangkan orang lain. Bukannya fokus memikirkan diri sendiri!

Menarik bukan? Saya sendiri takjub mendengar filosofi itu. Bahkan dalam hati saya sempat bertanya, apakah sosok yang satu ini sedang mengelola sebuah perusahaan bisnis ataukah yayasan sosial? Bukankah sebuah usaha bisnis pertama-tama harus memikirkan keuntungan dan kemaslahatan bagi dirinya sendiri, supaya prestasi bisnisnya kinclong dan disukai oleh shareholders. Berbeda dengan yayasan sosial, yang sedari dibentuk sudah membawa nawaitu membantu dan melakukan karya altruistik bagi masyarakat di sekitarnya.

Tak sekadar menyampaikan filosofi, sang CEO di atas pun mengambil beberapa contoh yang menjustifikasi pandangannya. Jika kita baca sejarah pendiriannya, Facebook dan Google ternyata pada awalnya didirikan bukan untuk tujuan apa-apa, selain sekadar untuk mempermudah pekerjaan orang lain.

Sama halnya juga, semula Gojek didirikan oleh Nadiem Makarim, semata-mata untuk mempertemukan kepentingan para konsumen dan pengendara ojek. Konsumen seringkali sulit mencari kendaraan ojek, sementara itu masih banyak pengemudi ojek yang ongkang kaki ngetem di pangkalan. Lewat aplikasi, kedua pihak dipertemukan untuk mendatangkan kemaslahatan bersama. Pada awalnya, para pendiri perusahaan-perusahaan tersebut tak memikirkan dan merencanakan angka penjualan, keuntungan atau pun nilai iklan yang akan diraihnya. Namun, nawaitu mulia itulah yang telah mengantar mereka menjadi perusahaan besar seperti sekarang, demikian kesimpulan sang CEO.

Mega planning

Ternyata pemikiran di atas selaras dengan apa yang disampaikan oleh seorang pakar perencanaan strategis (strategic planning), yakni Roger Kaufman. Pakar yang berkarya lama di Florida State University tersebut memperkenalkan konsep perencanaan yang disebutnya sebagai mega planning.

Menurutnya, banyak organisasi yang melakukan perencanaan organisasi secara tak tepat. Kebanyakan organisasi selalu mengawali dan mengakhiri pemikiran bisnisnya dengan hal-hal yang bermuara kepada kepentingan organisasi itu sendiri, seperti angka keuntungan, pangsa pasar, nilai penjualan, dan sebagainya. Akibatnya, organisasi-organisasi tersebut gagal mengidentifikasi peluang untuk memberikan sumbangsih yang lebih besar kepada lingkup di luar organisasi, seperti komunitas, masyarakat, bangsa, bahkan dunia dan kehidupan semesta itu sendiri.

Konsep mega-planning mendorong kita untuk berpikir sebaliknya, dan mengawali perencanaan organisasi dengan pertanyaan kelas mega alias akbar, semisal dunia seperti apa yang ingin kita wariskan kepada generasi anak cucu kita? Perspektif bisnis, pertama-tama, haruslah dilihat dari sasaran dan tujuan yang lebih besar, yang lebih luas, serta jauh melampaui kepentingan dan keinginan sempit diri sendiri.

Kaufman juga menyebut mega-planning ini sebagai hukum ibu. Ibu, yang dengan kesederhanaan sikap dan pikiran hidupnya, justru memiliki cita-cita dan impian seluas samudera tentang kemaslahatan hidup anaknya.

Jika seorang ibu ditanya, dunia seperti apa yang ia inginkan bagi anak-anaknya kelak, dia tak akan sekadar berbicara tentang hal-hal sempit, seperti reputasi sekolah, angka rapor atau pun besaran uang saku bagi anaknya. Sebaliknya, ia akan memimpikan hal-hal yang jauh lebih tinggi dan luas, seperti kesehatan, kesejahteraan dan kebahagiaan mereka.

Lebih jauh, kita mungkin bertanya mengapa sosok ibu yang digunakan sebagai nama kiasan hukum tersebut, bukannya ayah? Karena, seperti bunyi pepatah bijak: Kasih ibu, hanya memberi dan tak harap kembali. Namun demikian, justru karena tak harap kembali, ibu menjadi sosok yang paling digdaya dan kuat bagi segenap anak manusia. Buktinya? Bahkan orang paling perkasa yang sulit menangis sekali pun, pastilah pernah meneteskan air mata di pangkuan ibunya.

Hukum ibu adalah hukum memberi, yang penuh kasih dan peduli, pertama-tama dan terutama kepada orang-orang lain di luar dirinya. Namun, dengan memberi, justru ia banyak menerima kembali. Benarlah kata petuah, the more you give, the more you will receive.



TERBARU

×