kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / refleksi

Sandiwara Organisasi

oleh Ekuslie Goestiandi - Pengamat Manajemen dan Kepemimpinan


Selasa, 25 April 2017 / 17:29 WIB
Sandiwara Organisasi

Reporter: Ekuslie Goestiandi | Editor: hendrika.yunaprita

Hampir semua orang Indonesia, lintas-generasi, mengenal lagu klasik Panggung Sandiwara. Penyanyi Achmad Albar berhasil mengartikulasikan lirik lagu tersebut dengan lugas, namun tanpa kehilangan sentuhan puitisnya.

Lagu tersebut pada dasarnya mempertanyakan, sekaligus juga menerima kenyataan, bahwa manusia (dalam hidupnya) dipenuhi banyak sandiwara. Peran-peran yang dimainkan oleh setiap orang, disadari atau tidak, telah mengantarnya kepada perilaku-perilaku sandiwara alias penuh kepura-puraan. Singkat kata, kesejatian dan kejujuran sikap, tindak-tanduk, dan tingkah-laku manusia menjadi barang yang langka.

Pada kenyataannya, dunia organisasi dan bisnis juga tak luput dari fenomena panggung sandiwara ini. Jack Welch, mantan CEO General Electric yang sangat legendaris, pernah menceritakan ilustrasi berikut. Katanya, sebuah organisasi (besar) itu ibarat pohon raksasa yang digelantungi oleh begitu banyak monyet. Dari pucuk pohon, yang tampak adalah wajah-wajah monyet yang manis, cute dan penuh senyum merona. Sebaliknya, dari bawah, yang terlihat kasat mata adalah, maaf, pantat-pantat monyet yang jorok, vulgar, dan dipenuhi kotoran.

Memang, ini analogi yang sarkastik. Tapi, yang jelas Jack Welch tidak sedang bercanda dengan ceritanya. Bukankah dari ketinggian tampuk kekuasaannya, seorang pimpinan puncak acap kali disodori informasi, laporan dan kisah-kisah indah nan menyenangkan oleh para manajernya, laksana wajah monyet yang menawan dan sumringah? Dan, bukankah dari lantai dasar organisasi, bawahan sering menyaksikan praktik kepemimpinan dan office-politicking para atasannya yang tak elok, bak pantat monyet yang jorok, kotor dan tak pantas?

Melalui serangkaian studi yang dilakukannya, Hal Gregersen, Executive Director dari MIT Leadership Center, mengamini apa yang disampaikan oleh Jack Welch. Dalam tulisannya bertajuk Bursting The CEO Bubble (HBR, March April 2017), Grefersen mengatakan bahwa salah-satu tugas terbesar seorang CEO alias pimpinan puncak perusahaan adalah menetapkan arah bagi organisasinya.

Agar dapat menetapkan atau mengubah arah-strategis (strategic direction) perusahaan dengan tepat, tentunya dibutuhkan informasi yang akurat dan pandangan yang objektif pula. Persoalannya, kedudukan dan jabatan seorang CEO seringkali menghalangi mereka untuk mendapatkan informasi yang benar, dan memungkinkan mereka untuk melihat peta keadaan dan persoalan secara lengkap. Termasuk di dalamnya informasi yang baik ataupun tidak, menyenangkan ataupun tidak, enak didengar ataupun tidak.

Salah satu cara yang jitu: diam

Praktis tak ada yang mau dan berani menyampaikan informasi yang tak mengenakkan kepada para CEO, apalagi mengkritisi sikap dan pendapatnya secara objektif. Para karyawan dan manajer cenderung berpura-pura, ogah dan tidak berani berbeda pandangan dengan pimpinannya. Hingga titik ekstrim, mereka akan bersikap ABS alias asal bapak senang.

Semakin menyedihkan lagi, hasil wawancara Gregersen dengan 200-an eksekutif menunjukkan bahwa tak banyak pimpinan yang menyadari persoalan ini. Banyak yang merasa bahwa persetujuan dan kesepahaman yang disampaikan oleh bawahannya selama ini adalah perilaku yang jujur dan objektif adanya. Walaupun sesungguhnya, tidak!

Beberapa eksekutif mengambil resiko untuk menyadari kondisi ini, dan mengambil langkah berani untuk mengatasinya. Persisnya, berani menghadapi ketidaknyamanan pribadi, terkadang bahkan rasa sakit.

Walt Bettinger dari perusahaan Charles Scwab dan Marc Benioff dari Salesforce adalah dua contoh petinggi perusahaan yang menemukan cara untuk mengatasi problem tersebut. Eksekutif-eksekutif seperti mereka bersedia untuk menghadapi ketidaknyamanan, bahkan rasa sakit, demi mendapatkan informasi dan masukan yang jujur dari segenap lingkungannya, terutama para karyawan. Mereka secara rutin menempatkan dirinya dalam situasi dan kondisi yang membuat mereka merasakan ketidaknyamanan, bahkan juga kekeliruan. Mereka melatih diri untuk menerima situasi perbedaan pendapat, yang bisa saja berujung kepada kekeliruan pendapatnya sendiri.

Tak kalah pentingnya, salah satu cara jitu untuk mendapatkan informasi yang jujur sekaligus ide yang brilian dari karyawan adalah dengan bersikap diam (being quiet). Ini adalah salah-satu ujian perilaku yang paling sulit bagi seorang pimpinan, yang umumnya diharapkan untuk banyak bicara, terampil memberikan inspirasi, serta terlatih menyampaikan arahan.

Padahal, hanya dengan diam, seorang pimpinan bisa berpikir jernih, melontarkan pertanyaan dengan tepat, mendapatkan masukan yang jujur dan lengkap dari orang-orang di sekitarnya, sehingga bisa mengambil keputusan dan menetapkan arah yang benar pula.

Kata Gregersen, ironisnya, untuk melakukan apa yang dituntut dari posisi puncak nan mulia, pada saat tertentu, seseorang juga harus melepaskan diri dari kemuliaan posisinya tersebut.



TERBARU

×