kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / refleksi

Jangan Terpaku

oleh Ekuslie Goestiandi - Pengamat Manajemen dan Kepemimpinan


Senin, 05 Juni 2017 / 18:11 WIB
Jangan Terpaku

Reporter: Ekuslie Goestiandi | Editor: hendrika.yunaprita

Malam hari, 14 April 2912, kapal Titanic menghantam gunung es di Atlantik utara. Dengan perlahan namun pasti, kapal itu tenggelam ke bawah permukaan laut dalam kurun waktu 2 jam 40 menit. Di antara 2.200 awak kapal dan penumpang, hanya 705 orang yang bertahan hidup dengan mengapung di atas bantuan 16 sekoci penyelamat. Sisanya, 1.495 orang, meninggal dunia. Tak sulit buat para pembaca untuk membayangkan kondisi di atas, karena banyak dari kita yang pernah menyaksikan film yang mengilustrasikan tenggelamnya kapal pesiar super mewah tersebut.

Namun, pernahkah kita bayangkan bahwa jumlah korban meninggal akibat tenggelam bisa saja tak sebanyak itu, bila nakhoda dan awal kapal sempat berpikir bahwa gunung es yang ditabrak bukan hanya sekadar sumber bencana, namun juga bisa menjadi solusi penyelamatan. Gunung es tersebut menjulang tinggi di atas permukaan laut dan lebarnya membentang sepanjang 400 feet.

Seandainya saja..., sekali lagi seandainya, sekoci-sekoci penyelamatan tersebut digunakan untuk menyeberangkan segenap penumpang ke daratan gunung es yang rata, bisa jadi akan lebih banyak nyawa yang dapat ditolong. Atau, bukankah kapal mewah tersebut pada waktu awal penabrakan, juga sejenak masih bisa diarahkan untuk berjalan mendekat ke gunung es dan memberi kesempatan orang-orang di dalamnya untuk memanjat ke daratan gunung?

Kita tak pernah tahu, apakah ide tersebut akan terlaksana baik, jika memang benar-benar dilakukan. Bagi banyak orang, gagasan seperti ini sekalipun sangat menarik akan dianggap naif. Namun, sesungguhnya jenis operasi penyelamatan seperti itu bukannya tak pernah terjadi. Sekitar 60 tahun sebelumnya, 127 dari 176 penumpang yang bermigrasi dari Irlandia menuju Kanada, menyelamatkan dirinya di Teluk St. Lawrence dengan memanjat sambil menyeberangi bongkahan es yang terapung. Pertanyaannya, jika memang ide tersebut adalah bukan sebuah hal yang naif dan mustahil, mengapa banyak orang tak sanggup melihatnya?

Sekitar tahun 1930-an, Karl Duncker, seorang psikolog Jerman, melakukan eksperimen sederhana untuk menjelaskan fenomena titik buta alias blind spot di atas. Duncker memberikan kepada beberapa peserta eksperimennya : sebuah lilin, sekotak paku payung dan pemantik (korek) api, sembari meminta mereka menemukan cara untuk menempelkan lilin ke dinding papan, hingga saat lilin tersebut menyala, tetesannya tak akan mengotori lantai di bawahnya.

Inovasi di pinggiran

Banyak peserta eksperimen yang mengalami kesulitan untuk menemukan jawabannya, yang sesungguhnya begitu sederhana. Cukup mengosongkan kotak paku payung, lekatkan batang lilin ke dalam kotak dengan menggunakan tetesan lilin itu sendiri, dan tempelkan ke dinding papan dengan menggunakan paku payung yang disediakan. Kotak tersebutlah yang akan berfungsi sebagai rak untuk menempelkan lilin ke tembok, sekaligus juga untuk menadahi tetesan yang meleleh. Namun, karena kotak tersebut pada awalnya diperkenalkan kepada para peserta sebagai wadah untuk paku payung, mereka pun tak bisa melihatnya dengan perspektif dan fungsi yang berbeda.

Para ahli menyebut gejala titik buta di atas sebagai functional-fixedness atawa keterpakuan fungsional. Orang cenderung terpaku untuk melihat sesuatu sesuai dengan fungsi atau peran utamanya.

Dalam kasus kapal Titanic di atas, orang terpaku untuk melihat peran gunung es sebagai sumber bencana, dan oleh karenanya harus dihindari dan dijauhi. Orang tak terlatih untuk melihat gunung es sebagai potensi solusi masalah, yang juga perlu untuk didekati dan dimanfaatkan.

Sama halnya juga, kita terpaku untuk melihat sebuah kotak sebagai tempat untuk menyimpan sesuatu, padahal juga bisa dimanfaatkan sebagai rak yang menyanggah benda di atasnya.

Pikiran kita sering kali menyortir (secara otomatis dan tak disadari) manfaat ataupun fungsi dari sesuatu, yang secara persepsi dianggap bukan merupakan kegunaan utama. Memang, ini sebuah respons pikiran yang efisien dalam perkara hidup sehari-hari, namun jelas merupakan musuh besar untuk menghadirkan ide-ide inovatif. Ibarat sebuah lingkaran, keterpakuan membuat kita fokus kepada titik pusat lingkaran semata, dan mengabaikan garis keliling yang mengitarinya.

Secara otomatis, kita diarahkan untuk menatap ke tengah (sentral), dan lalai untuk menengok ke sekelilingnya (periferal). Padahal, seperti kata jenius inovasi dari Intel, Andy Grove, when spring comes, snow melts first at the periphery; because thats where its most exposed.

Pada kenyataannya, inovasi sering bersembunyi di daerah pinggiran, di tempat yang tak disangka-sangka, dan juga tak diharapkan. Namun, justru karena ada kejutan tak terduga, maka hasil penemuannya dikatakan inovatif.



TERBARU

×