kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / refleksi

Kesabaran Berinovasi

oleh Ekuslie Goestiandi - Pengamat Manajemen dan Kepemimpinan


Jumat, 16 Juni 2017 / 22:17 WIB

Reporter: Ekuslie Goestiandi | Editor: hendrika.yunaprita

Inovasi adalah salah satu istilah yang paling sering muncul dalam diskusi dan kamus bisnis. Istilah ini menjadi buzzword alias mantra sakti, yang seolah-olah bisa menjawab semua keperluan dan persoalan bisnis. Jika bertemu dengan perusahaan yang sukses dan besar, hampir dapat dipastikan, salah-satu kesimpulannya adalah karena mereka melakukan inovasi.

Sebaliknya, jika ada organisasi yang terpuruk nyungsep, niscaya salah satu kesimpulan yang diambil adalah karena mereka alpa berinovasi. Bahkan, untuk menambah kesaktian wacana tersebut, seringkali dibuat jargon yang bombastis, sekaligus menakutkan. Kalimat seperti: inovasi atau mati ataupun tanpa inovasi, bisnis seketika berhenti, hanyalah sekadar contoh.

Namun, apakah inovasi merupakan praktik yang begitu mutlak tanpa batas, yang harus dilakukan setiap saat dan di setiap tempat? Apakah inovasi adalah suatu inisiatif mulia, yang semakin sering diadakan, semakin baik adanya; sekaligus juga semakin cepat dilakukan, semakin besar pula manfaatnya? Menarik untuk disimak pengalaman terkait inovasi yang terjadi di ajang kompetisi mobil pacu paling terkenal, yakni Formula One (F1).

Pada tahun 2009, penyelenggara event F1 mengumumkan bahwa setiap tim peserta boleh berkompetisi dengan menggunakan teknologi hybrid, yakni teknologi yang memungkinkan sebuah mobil memiliki dua jenis sumber daya (bahan bakar konvensional dan tenaga baterai). Hingga masa itu, belum pernah ada tim yang memacu kendaraan berteknologi hybrid dalam lomba sekelas F1.

Jelas ini sebuah tantangan yang menarik, walaupun mendatangkan ketidakmenentuan (uncertainty) yang tinggi. Namun, di antara rasa gairah dan galau, toh banyak tim yang melakukan rekayasa ulang teknologi otomotifnya, agar bisa memetik manfaat yang sebesar-besarnya dari teknologi hybrid. Dan, tentunya itu membutuhkan dana investasi inovasi yang luar biasa besarnya.

Namun, ada satu tim yang tak melakukan inovasi teknologi tersebut, yang dimiliki oleh Ross Brawn, seorang insinyur dan ahli strategi balap F1 asal Inggris. Tim balap tersebut dalam keadaan limbung pada saat dibeli oleh Brawn. Oleh karenanya, mereka memang tak memiliki banyak uang yang bisa dibelanjakan. Alih-alih melakukan investasi inovasi untuk membangun teknologi hybrid, tim kepunyaan Brawn justru fokus untuk membangun mobil balap standar yang betul-betul solid.

Apa yang terjadi, pembaca? Dengan seorang pengemudi bernama Jenson Button, yang pada kompetisi tahun sebelumnya finis di urutan ke-18, tim tersebut justru berhasil melewati tim-tim yang menggunakan teknologi hybrid yang super-inovatif, dan menjadi juara F1 pada waktu itu.

Syarat stabilitas

Mungkin banyak yang berpikir bahwa peristiwa di atas hanyalah sebuah keberuntungan. Adalah Paolo Aversa, profesor dari City University of London, yang membuktikan bahwa kejadian tersebut bukanlah kebetulan, namun sebaliknya dapat dijelaskan secara ilmiah. Bersama teman-temannya, Aversa mendokumentasi setiap inovasi yang dilakukan oleh lebih dari 300 mobil balap F-1 sepanjang kurun waktu lebih dari 30 tahun. Dari hasil studi dan analisa terhadap hasil balapan, kesimpulannya cukup mengagetkan. Inovasi yang terlalu sering justru akan mendatangkan kinerja yang semakin buruk, demikian kata Aversa dkk.

Studi ini menunjukkan bahwa salah satu hal penting yang harus dicermati sebelum melakukan inovasi adalah waktu (timing). Melakukan inovasi (apalagi begitu intensif) di tengah kondisi turbulensi memiliki derajat risiko kegagalan yang besar. Diperlukan syarat stabilitas minimal untuk membangun praktik inovasi yang sungguh-sungguh mendatangkan manfaat nyata.

Kembali kepada contoh balapan F1 di atas, saat teknologi hybrid mulai stabil (setelah sebelumnya ada uji coba pendahuluan oleh tim-tim lain), Brawn pun melakukan investasi inovasi mesin pada tim miliknya. Dan, tebak apa yang terjadi? Tim tersebut, kelak di-rebrand dengan nama baru, Mercedes, tetap memenangkan kompetisi. Brawn memilih untuk sedikit bersabar dalam melakukan inovasi, yakni sampai teknologi hybrid tersebut relatif lebih dipahami.

Mungkin sebagian kita bertanya, apakah studi di lingkup F1 ini juga dapat diaplikasikan dalam konteks bisnis? Ternyata, Profesor Aversa bahkan sudah menerapkan hasil studinya di berbagai organisasi, dari perusahaan minuman, jasa keuangan, dan tentu saja, balapan F1.



TERBARU

×