kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / ibl

Akibat pembiaran ibukota

oleh Sammy Kristamuljana - Professor in Strategic Management


Senin, 28 Januari 2013 / 14:51 WIB
Akibat pembiaran ibukota

Reporter: Sammy Kristamuljana | Editor: tri


Babak pertama “Banjir Jakarta” usai sudah. Sampai saat tulisan ini dibuat, terdapat korban meninggal dunia 24 orang, kerugian ditaksir Rp 20 triliun, dan beberapa tempat masih tergenang air. Semua angka kerugian tersebut belum mencakup biaya trauma akibat banjir.

Apa yang dialami Jakarta jelas merupakan akibat dari “pembiaran”. Betapa menyedihkan, ibukota negara dengan jumlah penduduk kelima terbesar di dunia, berstatus provinsi, menjadi pusat bisnis dan pemerintahan, kota terbesar di Indonesia, dan diapit dua provinsi tetangga, ternyata tidak diperhatikan selama bertahun-tahun. Yang diberi amanat tidak memperhatikan, pemberi amanat juga abai.

Prinsip manajemen Jakarta sejauh ini nampaknya: “Anda boleh melakukan apa saja sejauh Anda sudah melakukan”. Ternyata prinsip yang lebih mementingkan niat daripada hasil ini kemudian muncul dalam bentuk perilaku: bila niat saja sudah dihargai, hasil bukan hal penting lagi. Prinsip ini mirip dengan kata-kata Henry Ford pada masa jaya Ford Motor Company: “Anda boleh mengingini warna apa saja sejauh itu hitam.” Dan sejarah menunjukkan bahwa Ford harus merelakan General Motors menjadi produsen mobil terbesar karena menyediakan mobil dengan warna bukan hanya hitam.

Pembiaran bisa terjadi karena kedudukan pihak yang dibutuhkan jauh lebih kuat dari yang membutuhkan. Boleh saja pihak yang membutuhkan itu lebih banyak, tetapi mereka terpecah berbagai kepentingan. Dalam dunia usaha kecenderungan ini ditunjukkan oleh dominasi pihak manajemen dibandingkan dengan pemegang saham karena tak ada pemegang saham mayoritas. Keinginan memegang hak mayoritas ada, tapi biasanya biayanya dirasa terlalu mahal.

Ketidakberdayaan berbagai pihak walau telah memegang keputusan presiden (keppres) Soeharto tentang tata ruang Bogor, Puncak, dan Cianjur, menjadi contoh nyata. Keppres ini kandas dalam ujian pertama ketika harus menertibkan vila-vila milik pejabat yang berdiri megah di Puncak. Semua pihak yang seharusnya menjalankan keppres itu nampaknya sama-sama maklum bahwa biaya menjadi sangat mahal apalagi kalau sampai menjadi beban pribadi.

Apakah Banjir Jakarta lalu bisa menjadi momentum seperti tema pidato Obama “Seize the Moment” pada saat pelantikan kedua kali sebagai Presiden Amerika Serikat, beberapa hari lalu? Sekilas peluang itu terlihat. Presiden SBY sendiri telah menyatakan komitmen segera menjalankan program-program guna mencegah terulangnya musibah Banjir Jakarta. Perasaan optimistis pun tumbuh bila melihat sikap tanggap darurat banjir Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta Jokowi-Ahok yang ditunjukkan lewat keseriusan bergulat menghadapi banjir seminggu terakhir.

Tetapi, yang benar-benar dibutuhkan untuk mencegah  banjir adalah “perubahan cara pandang”. Mitigasi Banjir Jakarta dengan pendekatan membentuk lembaga-lembaga “penanggulangan bencana” sudah tidak efektif lagi. Badan Penanggulangan Bencana Daerah, Dinas Pemadam Kebakaran, dan Penanggulangan Bencana tak mampu berbuat banyak pada saat Banjir Jakarta terjadi. Akibatnya, Gubernur DKI Jokowi membentuk sebuah lembaga baru: Satuan Tugas Darurat Banjir (Satgas DB) yang terdiri dari unsur-unsur aparat Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI, TNI, Polri, dan SAR.


Butuh pahlawan

Sebagai lembaga baru, selain semangat kerjanya yang layak diacungi jempol, Satgas DB memiliki banyak kekurangan mulai dari sumber-daya manusia, dana, dan informasi. Bila ditambahkan dengan tiga lembaga yang sudah ada, penanggulangan bencana Banjir Jakarta kali ini hanya berbeda dalam satu hal: bertambahnya satu lembaga lagi. “Mitigasi Bencana Kacau” tetap jadi menu utama sajian hasil pendekatan penanggulangan Banjir Jakarta.

Bila persoalan tidak bisa lagi dipecahkan dengan “menyanyikan lagu yang sama dengan lebih keras”, pilihan satu-satunya hanya perubahan cara pandang dari penanggulangan bencana ke “mengatasi penyebab bencana”. Dalam penerapan cara pandang yang baru ini, pertama-tama yang perlu diwaspadai adalah kecenderungan kembali menerapkan pendekatan lama.

Seperti dikatakan pemenang Hadiah Nobel Herbert Simon, perilaku manusia dibatasi oleh rasionalitasnya (sebagian besar berasal dari masa lalu dan sebagian kecil saja dari masa depan). Tidak mengherankan orang pada umumnya cenderung meremehkan ide baru yang berbeda dengan yang sudah diterima luas. Frank Knight, “guru” langsung tiga pemenang Hadiah Nobel, mengingatkan bahwa orang pada umumnya lebih memilih risiko yang jelas biayanya (misalnya membeli asuransi) daripada ketidakpastian yang belum terukur biayanya. Perubahan cara pandang termasuk golongan terakhir ini.

Implikasi dari penerapan cara pandang mengatasi penyebab bencana telah jelas. Selain biaya akan meleset ke angka lebih besar dari perhitungan, butuh waktu penerapan minimal sepuluh tahun. Belum lagi kompleksitasnya karena selain Pemprov DKI, akan melibatkan pula pemerintah pusat, Pemprov Banten, dan Pemprov Jawa Barat.

Bagaimanapun persoalan ini harus segera diputuskan. Sebab, momentum hanya ada selama beberapa hari ke depan sebelum Banjir Jakarta benar-benar surut dan perilaku “lupa kolektif” kembali merampas perhatian semua pemangku kepentingan.

Calon-calon yang kualifikasinya benar-benar memenuhi syarat menjadi anggota organisasi proyek mengatasi penyebab bencana Banjir Jakarta ini pasti tidak banyak, apalagi untuk ketuanya. Tetapi, kepada mereka yang terpilih hendaknya dijanjikan bahwa bila berhasil kelak, namanya layak diabadikan sebagai Pahlawan Nasional. Sebab, mereka berjasa membebaskan masyarakat dari penjajah mental yang bernama: ”Pembiaran”. Bukan hanya masyarakat DKI Jakarta, bangsa ini sangat butuh contoh Pahlawan Nasional yang kasat mata, teraba, dan hidup sehari-hari bersama kita senasib-sepenanggungan.    

E-mail: sammyk@pmbs.ac.id



TERBARU

×