kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / refleksi

Kebaikan Bersama

oleh Ekuslie Goestiandi - Pengamat Manajemen dan Kepemimpinan


Senin, 07 Agustus 2017 / 18:35 WIB
Kebaikan Bersama

Reporter: Ekuslie Goestiandi | Editor: hendrika.yunaprita

Dalam keseharian pergaulan, kita pasti pernah berjumpa dengan orang-orang yang keras kepala. Pikirannya berdimensi tunggal: hitam atau putih, sikapnya militan, dan perilakunya nyaris tanpa kompromi. Dengan konstruksi kepribadian seperti itu, lapangan kehidupan seolah-olah diisi oleh dua kelompok saja, yang saling berhadap-hadapan secara diametral: benar vs salah, surga vs neraka, dan malaikat vs setan.

Orang yang berbeda dengan dirinya, secara mutlak adalah lawan, dan oleh karena itu harus dimusnahkan, jika tak bisa ditaklukkan. Beberapa peristiwa kekerasan (termasuk juga pengeboman) yang terjadi di negeri kita belakangan ini, acapkali melibatkan sosok-sosok radikalistik seperti ini.

Dalam konteks bisnis, tak ada kata negosiasi (apalagi kompromi) dalam pikiran orang-orang seperti ini. Negosiasi adalah tanda kekalahan dan ketidakberdayaan. Tak ada juga konsepsi win-win alias menang bersama-sama, karena takdir kehidupan adalah win-lose. Jika ada yang menang, maka harus ada yang kalah pula. Bagi mereka, win-win adalah pola pikir dan sikap dari orang yang lemah mental, dan tak punya nyali untuk bertarung sampai mati. Tak heran, orang seperti ini akan mendatangkan banyak gesekan, saat harus bergaul secara lintas-pribadi dan antar-kelompok, yang menjadi tuntutan lazim sebuah organisasi.

Sekalipun kehidupan sehari-hari dikepung oleh orang-orang dengan latar belakang dan keyakinan yang berbeda-beda, toh tak mudah bagi orang-orang seperti ini menerima fakta keanekaragaman. Sama halnya, sekalipun menyadari kemanfaatan dan keindahan pluralitas, toh, perilaku fanatisme ini seolah tetap bergeming. Mengapa?

Karena, secara psikologis, sikap dan tindak-tanduk radikalistik seperti ini sudah berurat-akar di aras yang sangat mendasar dari kepribadian manusia, yakni sistem kepercayaan seseorang (belief system). Kepercayaan tersebut bisa mengacu kepada sebuah paham, ideologi dan bahkan juga agama. Menggugat perilaku (keras) seseorang pada hakekatnya adalah membongkar atau medekonstruksi sistem kepercayaannya.

Seorang teman pernah bercerita tentang kemutlakan relatif dari sebuah ajaran, ideologi ataupun agama. Mari kita bayangkan seseorang (si X) yang memeluk agama A, dan kemudian memutuskan untuk beralih ke agama B. Apa yang terjadi? Niscaya, perilaku dan sikap yang sama dari satu orang (yakni si X) , akan ditafsirkan secara berbeda oleh masing-masing kelompok. Oleh komunitas pemeluk agama A, tak pelak akan dinilai sebagai pribadi yang murtad.

Sebaliknya, oleh kelompok penganut agama B, justru akan disambut sebagai insan yang bertobat. Kepercayaan (agama) yang selama ini kita yakini secara mutlak, seketika menjadi begitu relatif jika disandingkan dengan kepercayaan lainnya. Mengakhiri ceritanya, sang teman pun bertanya reflektif apa itu kebenaran?

Kebaikan bersama

Konon, Konfusius dahulu memiliki satu murid kesayangan. Namanya, Yan Hui. Suatu hari, Yan Hui sedang berjalan, dan melihat satu toko kain yang dikerumuni banyak orang. Dia mendekat, dan ternyata pembeli dan penjual kain sedang berdebat. Pembeli berteriak, 3x8=23, kenapa kamu bilang 24?! Yan Hui mendekati pembeli kain dan berkata, Sobat, 3x8=24. Tak usah diperdebatkan lagi. Pembeli kain menjadi tak senang dan menantang, Aku tak minta pendapatmu. Kalaupun mau, mari kita minta pendapat Konfusius. Biarkan beliau yang memutuskan.

Mereka pun setuju untuk meminta petunjuk Konfusius, sambil bertaruh. Jika Konfusius bersepakat dengan Yan Hui, pembeli kain akan memotong kepalanya. Dan, jika mengamini jawaban pembeli kain, Yan Hui akan meletakkan jabatannya.

Mereka pun pergi menemui Konfusius. Setelah mengetahui duduk persoalannya, Konfusius pun berkata sambil tertawa, 3x8=23. Yan Hui, kamu kalah, dan letakkan jabatanmu sekarang juga. Yan Hui kaget, dan kesal kepada Gurunya, namun tak hendak mendebat. Namun, melintasi pergulatan yang panjang dan pemikiran yang dalam, akhirnya Yan Hui mengamini apa yang menjadi keputusan Konfusius.

Saat Konfusius memutuskan bahwa 3x8=23, beliau tidak sedang pikun ataupun gagal paham. Konfusius hanya berujar kepada sang murid, Jika saya bilang 3x8=23 adalah benar, kamu kalah dan kehilangan jabatanmu. Tapi, jika saya bilang yang benar adalah 3x8=24, si pembeli kain lah yang kalah dan itu berarti akan hilang 1 nyawa manusia. Menurut mu, mana yang lebih penting: satu jabatan atau satu nyawa manusia?

Kita boleh saja bertaruh, bahkan bertarung untuk memenangkan kebenaran menurut individu kita masing-masing. Namun, cerita di atas mengingatkan kita bahwa di atas kebenaran individu masing-masing, ada yang lebih penting dan mulia, yakni kebaikan dan kemaslahatan bersama.

Selamat Hari Raya Idul Fitri, 1 Syawal 1438 H. Saatnya untuk saling memaafkan dan menebar kebaikan bagi sebanyak-banyak orang dan makluk di sekitar kita.



TERBARU

×