kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / wakeupcall

Dinamika Penyebaran Informasi di Pasar Modal Indonesia

oleh Satrio Utomo - Pengamat Pasar Modal


Senin, 21 Agustus 2017 / 18:05 WIB
Dinamika Penyebaran Informasi di Pasar Modal Indonesia

Reporter: Satrio Utomo | Editor: hendrika.yunaprita

Harga saham bergerak sebagai akibat adanya informasi. Analisis teknikal yang mengklaim dirinya tidak perlu informasi selain dari harga itu sendiri, tetap saja memerlukan informasi. Minimal informasi harga pembukaan, harga tertinggi, harga terendah dan penutupan, agar bisa memprediksi pergerakan harga.

Tapi, mereka yang melakukan pure technical analysis untuk memprediksi pergerakan harga dan mengeksekusi transaksi di BEI jumlahnya sangat kecil. Sebagian besar menggunakan analisis fundamental, atau minimal, analisis yang dibuat berdasarkan berita, untuk melakukan transaksi saham. Informasi, terutama informasi material yang berhubungan dengan pergerakan harga saham, sangat penting bagi sebagian besar pelaku pasar di BEI.

Dinamika penyebaran informasi yang sifatnya material ini sangat menarik. Kurang dari 10 tahun lalu, ketika koran online masih belum jadi tren dan koran cetak masih jadi primadona, informasi pasar modal jadi sesuatu yang eksklusif.

Sepuluh tahun yang lalu, ketika saya masih sering bepergian ke Makassar, Manado atau Malang, saya masih menemukan kejadian di mana koran cetak nasional paling baru di hari pagi hari itu adalah koran cetak edisi kemarin! Okelah, kalau bicara soal Koran Kontan, rata-rata sudah bisa diperoleh sebelum perdagangan di BEI mulai. Tapi, di kota besar Jawa seperti Semarang atau Jogja, koran cetak kerap baru bisa didapat pada pukul 10 pagi, atau paling lambat jam 12 siang.

Di kota-kota yang relatif 'jauh dari peradaban, koran cetak nasional malah baru bisa diperoleh pada pukul 14 atau bahkan setelah pukul 16. Artinya, kalau kita bertransaksi di kota kecil, sedang kita perlu informasi lebih detail yang ada di koran cetak, kita hanya bisa mendapat berita basi. Benar-benar mengenaskan.

Teknologi kemudian terus berkembang. Teknologi koran digital, kemudian semakin membaik. Kesenjangan informasi antara pelaku pasar di daerah dan pelaku pasar di Jakarta, bisa semakin dikurangi.

Berkembangnya media sosial, membuat penyebaran informasi menjadi semakin cepat. Penyebaran informasi, awalnya memang hanya bersifat satu lawan satu, entah melalui e-mail, pesan singkat, atau melalui media yang sifatnya terbatas, seperti Facebook, Yahoo Groups, atau Kaskus. Kemunculan Blackberry Grup dan kemudian Whatsapp Grup, semakin membuat variasi moda penyampaian informasi semakin kompleks.

Lalu, orang mulai menggunakan aplikasi Telegram. Saya mulai mengenal aplikasi Telegram, sekitar 20142015 lalu, diperkenalkan oleh teman saya Hendra Martono alias Hok1. Dengan Telegram kita bisa berkirim chart atau file secara cepat. Sudah begitu, grup chat bisa menampung banyak anggota, bahkan bisa memiliki fasilitas channel yang bisa diikuti peserta dalam jumlah yang tidak terhingga.

Penggunaan Telegram sebagai alat komunikasi antarpelaku pasar modal, baik investor, broker, analis, kemudian menjamur. Banyak peminat pasar modal yang kemudian memanfaatkan aplikasi Telegram untuk bertukar informasi. Analis, para pakar, penulis buku, para selebritis pasar modal, semua memiliki grup atau channel Telegram.

Eh, sekarang Telegram mau dilarang. Menurut saya sih, itu hak Pemerintah. Cepat atau lambat, para penggemar Telegram ini (termasuk saya) akan mencari alternatif saluran informasi lain sebagai penggantinya. Apakah pelarangan Telegram ini merupakan kemunduran bagi penyebaran informasi di pasar modal Indonesia? Saya bilang sih iya. Tapi seperti biasa, orang akan move on.

Menurut saya, sih, daripada melarang Telegram, lebih urgent melarang penggunaan nama alias dalam berkomunikasi, khususnya komunikasi melalui media sosial. Penggunaan nama alias ini telah membuat memunculkan kebebasan yang tidak bertanggungjawab!

Buat kami di pasar modal, kebebasan yang tidak bertanggungjawab ini bukanlah barang baru. Di pasar modal, pergerakan harga saham kadang dipicu rumor. Namanya rumor, tentu saja sumbernya selalu tidak jelas. Kadang, ini hanya beredar di antara broker.

Tapi, seiring perkembangan saluran informasi pasar modal, rumor ini kemudian juga beredar di media sosial. Rumor ini kemudian semakin kacau ketika masuk ke media sosial yang tidak mementingkan penggunaan nama asli, seperti Yahoo Groups, Kaskus, atau Stockbit. Ketika berita buruk bermunculan dan orang yang panik melakukan aksi jual, ternyata malah ada pelaku yang mengakumulasi barang. Benar-benar enggak karuan.

Tambah lagi, OJK benar-benar tidak memiliki minat untuk masuk ke area ini. Berita palsu, rumor enggak karuan, tidak pernah jadi perhatian OJK.

Indonesia adalah negara demokrasi. Demokrasi yang diterapkan adalah Demokrasi Pancasila. Setiap orang memiliki kebebasan mengemukakan pendapat. Tapi, kebebasan dalam berpendapat itu adalah kebebasan yang bertanggungjawab.

Solusinya, sebaiknya dibikin saja aturan yang melarang penggunaan nama palsu. Jadi kebebasan yang sebebas-bebasnya bisa berubah jadi kebebasan yang bertanggungjawab. Membunuh Telegram, mungkin akan menghilangkan saluran pemecahbelah bangsa untuk melakukan kegiatannya. Tapi sayang, ketika pemecahbelah bangsa sedang berkembang, yang dibunuh kok salurannya, bukan manusia penyebar virus-virus pemecah belah bangsa tersebut.

Buat yang ada di pasar modal, solusi menghadapi kegaduhan informasi ini gampang. Jangan mau berhubungan dengan yang menggunakan nama palsu, hindari menggunakan media di mana orang bisa menggunakan nama palsu dan pakai saja analisis teknikal. Toh, analisis teknikal bisa dilakukan tanpa melihat berita. Dunia bisa lebih tenang. Happy trading, semoga barokah!



TERBARU

×