kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / refleksi

Melepas masa lalu

oleh Ekuslie Goestiandi - Pengamat Manajemen dan Kepemimpinan


Senin, 06 November 2017 / 14:39 WIB
Melepas masa lalu

Reporter: Ekuslie Goestiandi | Editor: mesti.sinaga

Pada bulan Mei 2017, taipan dan investor kawakan dunia, Warren Buffett melego 30% saham yang dimilikinya di perusahaan teknologi IBM.

Alasannya, “perusahaan (IBM) menghadapi beberapa pesaing bisnis yang tangguh!” Sebagai sosok yang dianggap “acuan” para investor, sekaligus juga pemegang saham terbesar IBM, tentunya keputusan Buffett akan menjadi salah-satu barometer persepsi publik.

Suka tidak suka, perasaan sebagian publik akan menjadi ciut dan grogi terhadap IBM, karena aksi-jual oleh “maha-guru investasi” dunia tersebut.

Namun, tidak demikian halnya dengan Virginia “Ginni” Rometty, sang CEO perusahaan IBM yang mulai menduduki tampuk tertinggi organisasi sejak awal 2012.

Saat diwawancarai oleh Adi Ignatius, Pemimpin Redaksi publikasi bisnis bergengsi Harvard Business Review, Ginni tak menunjukkan kegentarannya dengan aksi dan analisa Buffett.

Dengan percaya diri, ia mengatakan “Kemampuan berubah (the ability to change) ada di dalam DNA organisasi.” Artinya, ia sangat yakin bahwa IBM mampu untuk berubah dan menerbangkan dirinya menjadi salah satu perusahaan teknologi yang maju dan langgeng (durable).

Ginni merasa tahu persis kondisi dan kemampuan IBM, karena ia telah meniti karier selama 36 tahun di perusahaan tersebut. Ia adalah sosok yang berada di balik kesuksesan organisasi membangun divisi business-services, sekaligus juga memimpin proyek akuisisi dan integrasi PwC Consulting ke dalam IBM.

Status dan pengalaman sebagai “orang dalam” seakan menjadi pedang bermata-ganda bagi seorang pemimpin, termasuk Ginni. Sebagai “orang dalam”, ia mengetahui seluk-beluk perusahaan hingga ke ujung kaki organisasi.

Ia juga tak membutuhkan waktu untuk menyesuaikan diri dengan kultur perusahaan dan praktik manajemen yang ada, dan tinggal mengambil posisi untuk memimpin dan memobilisasi segenap armada di bawahnya.

Namun, kedudukan sebagai “orang dalam” juga menjadi beban bagi Ginni, terutama dihadapkan dengan tantangan untuk membawa kapal organisasi mengarungi samudra perubahan.

IBM sebenarnya mempunyai pengalaman melewati fase perubahan yang deras (bahkan turnaround) pada awal tahun 1990-an.

Bedanya, pada masa tersebut pemegang saham menunjuk nakhoda baru bernama Louis Gerstner, “orang luar” yang kemudian berhasil menyelamatkan perusahaan, dan bahkan menanamkan jejak transformasi yang kuat pada IBM hingga saat ini.


 

Sementara, Ginni adalah “orang dalam” yang pengalamannya justru dikhawatirkan akan menjadi “belenggu mental” dalam melangkahkan kaki ke arah dan lapangan bisnis yang baru.

Terhadap kekhawatiran ini, Ginni menjawab mantap, “It doesn’t matter if you’re an insider so long as you don’t try to protect the past.”

Pesannya jelas, tak perlu mempermasalahkan pengalaman seseorang sebagai “orang dalam”, sepanjang yang bersangkutan tak mencoba untuk “melindungi dan melestarikan” masa lampau.

Identitas diri

Ginni mencoba membuktikan omongannya. Pada saat ditunjuk menjadi CEO awal 2012, ia masih berusaha setia kepada sasaran dan arahan bisnis warisan CEO pendahulunya, Sam Palmisano, yang menjadi pimpinan puncak IBM selama satu dekade.

Pada tahun 2010 dia konon pernah bernazar untuk menggandakan nilai pendapatan pemegang saham dalam waktu lima tahun ke depan.

Hanya dalam waktu 2 tahun, Ginni “berbalik badan” dari kesetiaannya kepada sasaran dan strategi bisnis yang diwariskan oleh Palmisano.

Baginya, berupaya meraih sasaran warisan tersebut akan berakhir pada kelumpuhan organisasi IBM untuk mereinvensi-diri atawa menemukan kembali identitas-diri yang lebih sesuai dengan perkembangan zaman.

Di tangan Ginni, IBM fokus melakukan pengembangan bisnis yang berbasis pada teknologi terkini, semisal: cloud, data, dan juga artificial intelligence.

Platform artificial intelligence milik IBM, yakni Watson, adalah salah-satu portofolio pengembangan bisnis yang mendapat perhatian besar.

Jika berhasil dikomersialisasikan, Watson akan mendatangkan keuntungan yang besar bagi perusahaan, sekaligus juga kemanfaatan yang luar biasa bagi masyarakat di seluruh penjuru dunia.

Dengan “otaknya yang besar”, Watson praktis bisa melakukan apa saja, dari memberikan nasihat kepada seorang dokter tentang terapi kanker, hingga urusan peramalan cuaca.

Saat ini, IBM memang masih menunjukkan kinerja bisnis yang kinclong. Pada tahun 2016, nilai penjualannya adalah sebesar US$ 79,9 miliar, dengan keuntungan bersih US$ 13,0 miliar.

Walaupun demikian, patut dicatat bahwa nilai penjualan IBM telah turun sepanjang 20 kuartal secara berturut-turut.

Ginni berkilah bahwa penurunan ini diakibatkan terutama karena divestasi (penjualan) bisnis warisan lama serta penguatan nilai tukar dollar Amerika Serikat, bukan karena proses transformasi yang dijalankannya.

Perlu beberapa tahun ke depan untuk membuktikan apakah Ginni memang berhasil melepaskan masa lalunya, dan mentransformasi IBM menjadi organisasi yang durable atawa langgeng, seperti yang dicita-citakannya.



TERBARU

×