kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / ibl

Membangun aura sebuah brand

oleh Agus W. Soehadi - Professor in Marketing Prasetiya Mulya Business School


Senin, 11 Februari 2013 / 13:44 WIB
Membangun aura sebuah brand

Reporter: Agus W. Soehadi | Editor: tri

Aura adalah pancaran sinar sangat lembut yang berasal dari dalam diri seseorang. Pancaran sinar tersebut membuat sang pemilik aura memiliki pesona untuk menautkan emosi para pengikutnya.

Mereka akan begitu setia dan antusias mengikuti gerak gerik para idolanya, sang pemilik aura. Lebih lanjut, mereka merasa menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari sang idola, dan rela untuk membela dan mempromosikannya.

Aura yang kuat akan memiliki pengikut setia yang begitu besar. Sebagai contoh, Michael Jackson memiliki aura yang begitu kuat, hingga pesonanya dapat menyihir jutaan penggemarnya. Contoh lain adalah Slank yang memiliki pengikut setia, para slankers.

Atau, para pengguna Harley Davidson yang rela menempuh beribu-ribu kilometer untuk mendatangi acara selebrasi 100 tahun sepeda motor tersebut di Amerika Serikat. Pengguna Apple yang rela menato tubuhnya untuk menunjukkan kecintaannya ke brand tersebut bisa menjadi contoh lain.

Bahkan politisi, seperti  Joko Widodo alias Jokowi, memiliki fans yang cukup besar yang menamakan dirinya sebagai Jokowi fans club. Aura yang memancar dan berpendar bisa dimiliki oleh siapa saja, setiap orang atau brand mempunyai peluang untuk memiliki aura yang kuat.

Memang, butuh pendekatan yang “lebih” untuk menciptakan aura yang kuat bagi suatu brand. Langkah pertama yang perlu dilakukan adalah menentukan tipe aura yang akan digunakan. Ada beberapa tipe aura yang banyak dikaji oleh peneliti. Salah satunya adalah archetypes yang dikembangkan oleh Carl Jung.

Archetypes adalah aura diturunkan dari satu masyarakat ke masyarakat berikutnya. Sebagai contoh adalah innocence, hero, outlaw, caregiver, creator, explorer, lover atau sage dalam tiap masyarakat.

Masing-masing aura memiliki penggemar. Sebagai contoh dalam industri film atau teve, “Spiderman” yang memiliki aura hero; atau “American Idol” (aura magician), atau “Endless Love” (aura lover)  yang banyak disukai masyarakat di berbagai belahan dunia. Nah, perusahaan perlu menentukan aura yang disukai oleh target pasarnya.

Langkah berikut, memupuk dan menghidupkan aura tersebut. Tahap ini dapat diumpamakan dengan saat membangun hubungan emosi dengan seseorang.

Sebagai contoh, ketika Anda membangun hubungan emosi dengan seorang keponakan. Katakanlah, dia berumur sekitar 4—5 tahun, bertubuh gempal dan sangat lucu. Hal ini dapat dikatakan sebagai product features. Jika Anda mengetahui lebih banyak tentang karakternya, seperti pandai menghibur dan bercerita, tentunya hubungan yang terjalin akan lebih mendalam.

Anda merasa sangat bergembira ketika bermain bersamanya. Perhatian dan celoteh sang keponakan membuat Anda merasa sangat kangen ketika jauh darinya.

Aura yang dicerminkan oleh sang anak tersebut, membuat Anda merasa nyaman dan ingin lebih dekat lagi dengannya. Anda merasa terkoneksi dengan anak tersebut. Emosi ini merupakan perumpamaan ketika pelanggan merasa bahwa brand merupakan bagian dari dirinya.


Aura innocent

Keberhasilan dalam membangun hubungan tersebut tergantung kepada seberapa jauh si pemilik brand berhasil memvibrasi auranya. Vibrasi aura diperlukan agar soul dari brand tersebut semakin terpancarkan, hingga bisa dirasakan pelanggannya.

Vibrasi ini bagaikan menggosok berlian mentah menjadi sesuatu yang berkilau dan membanggakan bagi yang menggunakan. Untuk melakukan vibrasi yang baik, dibutuhkan “script” atau “story board,” yang menunjukkan keterkaitan elemen-elemen yang terlibat dalam memperkuat aura suatu brand.

Story board ini digunakan untuk mengendalikan vibrasi yang terjadi, agar interaksi antarelemen, sesuai dengan skenario yang diinginkan.

Salah satu contoh yang menarik adalah bagaimana Trans 7 memvibrasi program “Bukan Empat Mata” yang dibintangi Tukul. Program ini mencoba menggunakan aura innocent, yang disukai banyak pemirsa televisi di Indonesia.

Aura innocent digambarkan sebagai orang yang lugu, polos, dan idealis. Agar keluar aura innocent-nya perlu divibrasi melalui skenario represi.   Vibrasi (represi) yang persisten akan membuat aura soul innocent semakin menonjol.

Dalam kisah-kisah “Bawang merah, bawang putih,” “Cinderella,” “Putri Salju,” ataupun sinetron buatan Indonesia, selalu ada pihak yang terzalimi. Dalam kasus Bukan Empat Mata, Vega dan Pepi berperan antagonis untuk melakukan represi terhadap Tukul. Program itu pun menjadi salah satu unggulan Trans 7.

Contoh berikut adalah pemilihan presiden Indonesia di tahun 2004. Situasi represi yang dialami Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla, mulai dari masa pencalonan, merupakan vibrasi yang menghasilkan aura innocent yang solid. Hal yang sama dialami Jokowi dan Basuki Purnama alias Ahok dalam pemilihan Gubernur DKI Jakarta. Situasi represi, baik akibat kampanye pasangan incumbent, maupun impresi yang diciptakan oleh tim sukses Jokowi dengan analogi ”Gajah dan Semut.”

Jokowi selalu dikonotasikan sebagai semut. Citra Jokowi pun sebagai yang tertindas. Merujuk ke pola pemilih Indonesia selama 2004 hingga 2012, tampak bahwa pemilih menyukai aura innocent sebagai pilihan utama.

Pendekatan aura sangat membantu praktisi pemasaran membuat brand menjadi lebih hidup dan dekat dengan pelanggannya. Pendekatan ini mampu meningkatkan rating suatu acara teve, fans para selebriti, jumlah penonton film, elektabilitas politisi dan kekuatan brand.

Pilihan aura harus berdasar atas sesuatu yang disukai oleh sebagian besar publik, yang menjadi target perusahaan. Aura perlu divibrasi secara terus-menerus agar makin menonjol. Selamat mencoba pendekatan aura dalam membangun brand.        

Email: aws@pmbs.ac.id







TERBARU

×