kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / wakeupcall

Lo Kheng Hong dan Saham Properti

oleh Lukas Setia Atmaja - Financial Expert Prasetya Mulya Business School


Jumat, 17 November 2017 / 09:00 WIB
Lo Kheng Hong dan Saham Properti

Reporter: Lukas Setia Atmaja | Editor: hendrika.yunaprita

Syahdan, ada seorang investor saham bernama Lo Kheng Hong (LKH). Ia berasal dari keluarga yang tidak mampu. Pada tahun 1989, saat masih berusia 30 tahun, ia mulai berinvestasi saham sembari bekerja di bank. Tujuh tahun kemudian, ia berhenti bekerja dan fokus berinvestasi saham. Kini ia telah sukses dan dijuluki sebagai Warren Buffett of Indonesia. Mari kita belajar sejurus dua jurus dari "pendekar saham" yang rendah hati ini. Ciaaaaat!

Pembaca tentu masih ingat booming properti yang melanda Jakarta dan sekitarnya di periode 20092014 silam. Harga properti di daerah Alam Sutera, Serpong dan Bintaro, melambung tinggi.

Harga properti selama periode booming tersebut naik rata-rata 30% hingga 40% per tahun. Meskipun tidak membeli properti secara langsung, ternyata LKH juga ikut menikmati keuntungan dari kenaikan harga properti tersebut.

Kok, bisa? Caranya, LKH berinvestasi pada saham-saham perusahaan properti. Hasilnya, keuntungan yang ia peroleh dari pasar saham bahkan jauh melebihi keuntungan yang diperoleh investor yang membeli properti secara langsung.

LKH membeli saham PT Lippo Cikarang Tbk (LPCK) sekitar awal Juni 2011. Saat itu, harga perusahaan pengembang properti ini masih sebesar Rp 600 per saham. Berdasarkan laporan keuangan per akhir Maret 2011, nilai buku per saham LPCK saat itu adalah sebesar Rp 853 per saham, dengan laba bersih per saham atawa earnings per share sebesar Rp 43,75 per kuartal.

Jika dihitung setara dengan setahun, makan laba bersih per saham LPCK mencapai sekitar Rp 175 per saham, yakni dari Rp 43,75 per saham dikali dengan empat kuartal. Dengan harga beli sebesar Rp 600 per saham saat itu, rasio harga terhadap pendapatan ini atau price earnings ratio saham LPCK hanya sebesar 3,4 kali.

Sementara rasio nilai buku terhadap harga atau price to book value (PBV), yang merupakan harga pasar saham dibagi dengan nilai buku per saham, hanya sebesar 0,7 kali. Selain itu, LPCK memiliki land bank yang cukup besar.

LKH juga mempertimbangkan fakta bahwa harga pasar tanah milik perusahaan properti ini sudah naik banyak dibandingkan dengan nilai tanah yang tercatat di laporan keuangan. Karena PER saham saat itu masih lebih kecil dari 5 kali dan PBV lebih kecil dari 1 kali, LPCK memenuhi kriteria LKH sebagai saham salah harga alias kemurahan (underpriced). LKH pun tidak ragu membeli saham perusahaan properti ini.

Karena saham LPCK pada waktu itu tidak terlalu likuid, awalnya LKH membelinya secara perlahan-lahan di pasar reguler. Kemudian, datanglah kesempatan untuk membeli saham perusahaan anggota Grup Lippo tersebut dalam jumlah besar secara cepat. Ketika itu, pialang saham LKH menawarkan 25 juta saham LPCK milik salah seorang klien besarnya. Sebut saja namanya Mr. X. Nah, Mr. X ingin melepas saham ini karena kurang likuid.

Meski memang ingin membeli saham LPCK dalam jumlah banyak, LKH juga mempertimbangkan faktor likuiditas saham ini. Sehingga, saat itu LKH hanya bersedia membeli 15 juta saham LPCK. Sisanya akhirnya dijual oleh Mr.X ke pasar reguler. Belakangan LKH membeli lagi saham LPCK di pasar reguler sebanyak 1 juta lembar. Dengan demikian, secara total, ia memiliki 16 juta saham LPCK.

Seperti biasa, nasib baik menaungi perjalanan LKH mendulang cuan di pasar saham. Baru disimpan selama delapan bulan, ternyata harga saham LPCK naik tinggi. Penyebabnya, saat itu harga properti di Jakarta dan sekitarnya mulai melambung tinggi.

LKH lantas menjual semua saham LPCK yang ia pegang pada harga Rp 2.400 per saham. Dengan demikian, ia berhasil meraup keuntungan sebesar 300% cuma dalam waktu sekitar delapan bulan. Total keuntungan yang dinikmati LKH dari investasi 16 juta saham LPCK tersebut adalah sekitar Rp 29 miliar.

Setelah LKH menjual sahamnya, ternyata booming properti belum berakhir. Harga properti saat itu masih terus naik tinggi. Tentu saja, harga saham LPCK juga ikut terus melambung.

Pada Juni 2013, harga saham LPCK mencapai Rp 10.300 per saham. Bahkan, pada April 2015, harga saham LPCK sempat menyentuh Rp 12.125 per saham. Bayangkan saja keuntungan yang bisa diraup oleh LKH, seandainya ia tidak menjual saham yang ia pegang di harga Rp 2.400 per saham.

Namun LKH tidak menyesalinya. "Saya mensyukuri sudah memperoleh capital gain sebesar 300% dalam tempo hanya delapan bulan," kata LKH.

Ini merupakan sebuah sikap yang patut diteladani oleh para investor, yaitu selalu mensyukuri keuntungan yang diperoleh, bukan menyesali keuntungan yang tidak bisa diperoleh. Harga saham LPCK per 8 September 2017 lalu adalah sebesar Rp 4.650 per saham.

Semoga kisah LKH ini bisa menjadi inspirasi bagi Anda dalam berinvestasi.



TERBARU

×