kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / wakeupcall

Utak atik pendapatan per kapita

oleh Budi Frensidy - Pengamat Pasar Modal dan Pasar Uang


Senin, 18 Februari 2013 / 16:34 WIB
Utak atik pendapatan per kapita

Reporter: Budi Frensidy | Editor: djumyati

Ada yang mengeluhkan Ibukota Jakarta lebih kejam daripada ibu tiri. Tapi, saya lebih menyukai pernyataan, “Jika ingin terkenal di negeri ini, datanglah ke Jakarta.” Jokowi pun membuktikannya. Hampir setiap hari, kita melihatnya di surat kabar dan televisi nasional. Sebuah survei beberapa minggu lalu bahkan menempatkan Jokowi sebagai calon presiden paling favorit dengan meraih 2%. Dari hasil survei ini, saya pun berhipotesis partai apa pun akan masuk tiga besar pemenang pemilu legislatif 2014 dengan mudah jika partai itu men-capres-kan Jokowi.

Jakarta adalah pusat pemerintahan sekaligus pusat bisnis Indonesia. Di kota ini dua per tiga uang negara ini beredar dan setiap hari ada 1.000 mobil baru, sekitar 35% dari penjualan mobil nasional. Akibat berkumpulnya orang-orang terkaya Indonesia, income per capita Jakarta meningkat dari Rp 62,5 juta di 2007 menjadi Rp 101 juta tahun lalu. Income per capita sekitar US$ 11.000 ini sungguh membanggakan karena di atas rata-rata Malaysia, yang selalu memandang rendah TKI, dengan US$ 9.656.

Jika saja semua provinsi lain di negara ini mempunyai income per capita setinggi Jakarta, negara kita akan menempati urutan ke-62 menurut Bank Dunia, naik dari posisi 118 saat ini dengan US$ 3.500 dan mengungguli Malaysia yang berada di urutan ke-68.

Dengan income per capita sebesar ini, jika kita menganggap semua orang Jakarta bekerja, maka penghasilan rata-rata orang Jakarta adalah Rp 101 juta per tahun atau Rp 8,42 juta per bulan. Masalahnya, di kota atau negara mana pun juga, tidak mungkin seluruh penduduknya bekerja karena ada saja penduduk yang masih usia sekolah, para pensiunan, ibu rumah tangga yang mengurus anak-anaknya, penderita cacat, dan para pengangguran. Jika kita asumsikan satu orang yang bekerja menanggung kehidupan dua orang lainnya, seperti di keluarga saya, penghasilan rata-rata orang Jakarta menjadi tiga kali Rp 101 juta atau Rp 303 juta per tahun atau Rp 25,25 juta per bulan.

Jangan bersedih dulu jika saat ini Anda berpenghasilan di bawah angka ini. Sebagian besar pekerja di kota ini, dugaan saya sekitar 90%, juga berpenghasilan di bawah Rp 25,3 juta. Namun, 1% yang berpenghasilan terbesar telah menarik nilai rata-rata ke atas. Inilah kelemahan ukuran mean dalam statistik.

Untuk mengatasi kelemahan ini, statistik memberikan ukuran lain yaitu median atau nilai yang tepat berada di tengah-tengah sehingga 50% berada di atasnya dan 50% di bawahnya. Sayangnya, saya tidak mendapatkan median penghasilan pekerja di Jakarta. Tebakan saya, angkanya sekitar Rp 5 juta.

Jika median Rp 5 juta dengan mean Rp 25,3 juta adalah benar, ini mengindikasikan terjadinya ketimpangan pendapatan yang tinggi di masyarakat Jakarta. Namun, kondisi ini tidak hanya terjadi di Jakarta tetapi juga di banyak kota besar lain di dunia.

Ukuran timpangnya distribusi kekayaan yang sering digunakan adalah rasio gini dan Jakarta nyatanya masuk kelompok kota dengan tingkat ketimpangan sedang dengan rasio gini 0,36. Angka ini lebih rendah daripada rasio gini nasional yang 0,41. Padahal income per capita negara kita hanya Rp 30,8 juta. Dengan asumsi sama yaitu setiap orang yang bekerja menanggung kehidupan dua orang lainnya, penghasilan rata-rata pekerja Indonesia adalah Rp 92,4 juta per tahun atau Rp 7,7 juta per bulan.

Kesimpulannya, jika Anda berpenghasilan bulanan di bawah Rp 7,7 juta, Anda berada di bawah rata-rata nasional. Jika Anda memperoleh antara Rp 7,7 juta hingga Rp 25,3 juta, Anda termasuk di atas rata-rata nasional tetapi di bawah rata-rata Jakarta. Terakhir, Anda boleh bangga dan sepantasnya bersyukur jika Anda memperoleh pendapatan di atas rata-rata orang Jakarta yaitu Rp 25,3 juta per bulan. Anda masuk kelompok ekonomi atas.

Pendekatan lain, Anda juga dapat menghitung income per capita di keluarga Anda dengan membagi total penghasilan keluarga setahun dengan jumlah anggota keluarga. Jika hasilnya di bawah Rp 30,8 juta per orang per tahun, keluarga Anda masih di bawah rata-rata nasional. Anda berada di atas rata-rata nasional dan di bawah rata-rata Jakarta jika angkanya antara Rp 30,8 juta sampai Rp 101 juta.

Ada tiga tips dari saya untuk membantu Anda masuk kelas ekonomi atas yaitu berpenghasilan Rp 25,3 juta per bulan atau di atas Rp 101 juta per orang per tahun. Pertama, bekerjalah di sektor modern. Mereka yang berkarier di sektor jasa seperti perbankan, investasi, keuangan, akuntansi, teknologi informasi, teknologi komunikasi, pengacara, asuransi, pemasaran, pariwisata, medis, dan entertainment  mempunyai peluang besar untuk memasuki kelas itu.

Kedua, tinggal dan bekerjalah di kota besar terutama Jakarta. Semakin jauh dari Jakarta dan semakin kecil kota tempat Anda bekerja, semakin kecil kemungkinan Anda dapat bergabung dengan kelas berpenghasilan tinggi di atas.

Terakhir, perluas jejaring agar Anda dapat dekat dengan pengambil keputusan di pemerintahan, parlemen, BUMN, dan korporasi-korporasi swasta. Semakin besar akses Anda kepada penguasa dan pusat kekuatan ekonomi itu, semakin besar peluang Anda menjadi bagian dari kelas elit. Selamat berjuang dan semoga berhasil.



TERBARU

×