Reporter: Budi Frensidy | Editor: hendrika.yunaprita
Kecerdasan finansial seseorang kadang dapat dinilai dari keputusan keuangan atau bahkan dari perkataannya. Bukankah kalimat yang kurang logis menggambarkan pemikiran yang kurang pintar, yang akan bermuara kepada keputusan keuangan yang tidak cerdas?
Contoh dari penuturan kurang cerdas yang saya maksud misalnya perkataan "Mengapa kita mesti membeli barang secara tunai jika kita bisa memperolehnya dengan kredit?" Atau contoh perkataan lainnya, "Buat apa kita harus melunasi seluruh tagihan kartu kredit jika kita dapat membayar angsuran minimum yang besarnya hanya 10% dari total tagihan?"
Dapat dipastikan, mereka yang mengucapkan kalimat-kalimat di atas tergolong orang yang gagal untuk menyadari bahwa dalam bisnis itu tidak ada makan siang yang gratis. Orang-orang seperti inilah yang akan menjadi mangsa empuk untuk produk-produk keuangan dan investasi yang sangat inovatif beberapa tahun terakhir ini. Seperti misalnya tawaran credit shield, protection plan, dan tawaran produk keuangan lainnya.
Ucapan yang lebih naif lagi adalah, "Jadi orang kaya zaman now tidak enak karena dikejar-kejar pajak, ditambah lagi ada program tax amnesty. Untung kita tidak kaya sehingga tidak perlu membayar pajak tinggi-tinggi." Pernyataan spontan seperti ini sangat mungkin keluar setelah pemerintah beberapa bulan lalu mewajibkan bank dan perusahaan asuransi jiwa untuk melaporkan nasabahnya yang memiliki rekening atau uang pertanggungan minimal sebesar Rp 200 juta, sebelum akhirnya direvisi menjadi sebesar Rp 1 miliar.
Kalimat di atas sepintas lalu terlihat logis, di mana orang kaya biasanya mesti membayar macam-macam pajak. Mulai dari pajak atas penghasilan, kekayaan hingga pajak atas keuntungan investasinya. Sementara orang-orang yang tidak berpunya terbebas dari semua kewajiban perpajakan tersebut karena penghasilan dan kekayaannya berada dalam batas penghasilan tidak kena pajak, plus mereka tidak memiliki investasi lain, kecuali mungkin tabungan di bank yang jumlahnya juga tidak seberapa.
Orang-orang yang berpikiran polos seperti ini lupa kalau pajak umumnya dikenakan atas tambahan kemampuan ekonomi yang diperoleh seorang wajib pajak. Selain itu, besaran yang dikenakan pun hanya sekitar 5%–30%.
Artinya, masih ada sekitar 70%–95% dari pendapatan yang mereka terima dan bisa digunakan untuk memenuhi berbagai keperluan hidupnya. Orang-orang kaya ini, karenanya, masih dapat menikmati sebagian besar penghasilannya.
Sangat sering, meskipun mereka sudah dipajaki, mereka setiap harinya masih bisa turun-naik mobil mewah dengan pakaian perlente, makan di restoran mahal, serta kerap bepergian ke luar negeri. Bahkan bisa jadi mereka masih saja memiliki dana sisa yang nilainya cukup besar untuk diakumulasikan.
Empat kelompok
Orang-orang yang kekurangan harus berusaha sekuat tenaga untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Meski begitu, tetap saja kekayaannya tidak bertambah. Sementara orang-orang yang memiliki banyak uang tampak tidak pernah repot dengan segala kebutuhannya.
Ilustrasi sederhananya adalah, kelompok yang paling bawah setiap harinya akan bertanya, "Hari ini kita makan atau tidak?" Sementara untuk kelompok yang kondisi ekonominya sedikit lebih baik, pertanyaannya berubah menjadi, "Hari ini kita makan apa?"
Lalu untuk kelompok orang-orang yang tergolong cukup kaya, yang ada di benaknya adalah, "Hari ini kita makan di mana?" Terakhir, kelompok orang-orang yang paling kaya hanya memikirkan, "Hari ini kita akan makan dengan siapa?"
Jika kelompok menengah (kelompok kedua dan ketiga) cukup puas dengan peningkatan kekayaan dari tahun ke tahun, tidak demikian dengan kelompok atas (kelompok keempat). Bagi mereka, yang lebih penting adalah get richer faster, jadi bukan cuma sekadar get richer.
Maksudnya adalah, jika sebelumnya mereka memerlukan waktu delapan tahun untuk melipatgandakan kekayaannya, ke depan mereka mungkin akan memasang target waktu untuk melipatgandakan kekayaannya menjadi hanya enam tahun, kemudian empat tahun, dan seterusnya.
Karena orang-orang yang berada dalam kelompok keempat ini umumnya adalah pengusaha yang memiliki satu atau lebih perusahaan, mencapai target tersebut tidaklah sulit. Menurut Kiyosaki dalam bukunya Cashflow Quadrant, mereka yang memiliki bisnis (terletak dalam kuadran B) dapat meningkatkan kekayaannya dengan pesat, karena pengeluaran pribadinya dicatatkan sebagai pengeluaran perusahaan dan dibebankan ke perusahaan.
Sementara mereka yang berada pada kuadran pekerja (atau kuadran E), bekerja sendiri (kuadran S), dan investor (kuadran I), tidak mempunyai privilege ini. Untuk ketiga kuadran tersebut, semua pengeluaran hidup sepenuhnya akan mengurangi penghasilan bersihnya, yakni penghasilan setelah pajak.
Pemilik bisnis (business owner) mempunyai pola berbeda. Hampir semua belanja mereka, seperti biaya transportasi, pembelian dan perawatan kendaraan, perjalanan ke luar negeri, bahkan asuransi kerugian dan kesehatan, dapat dibebankan ke perusahaan. Ini tidak salah, mengingat mereka adalah pengurusnya.
Jadi, penghasilan bersih mereka menjadi benar-benar bersih, karena semua pengeluaran besar di atas sudah dibayarkan oleh perusahaan. Itulah sebabnya Kiyosaki sangat menganjurkan siapa pun untuk memiliki bisnis sendiri kalau mau cepat kaya.
Walaupun tampaknya merugikan perusahaan, tidak ada yang aneh atau terlalu mengkhawatirkan dengan praktik ini di perusahaan swasta, karena hampir semua perusahaan yang masih dikuasai pemilik melakukan hal tersebut. Namun, kebiasaan ini menjadi masalah serius jika terjadi di perusahaan terbuka.
Sebab, ketika hal seperti ini dilakukan di perusahaan publik, banyak pihak yang akan dirugikan, terutama investor publik. Untuk itu, wajar bila kita mendukung sepenuhnya upaya pemerintah untuk meningkatkan pelaksanaan good corporate governance (GCG) di perusahaan terbuka dan mengoptimalkan penerimaan pajak dari perusahaan konglomerasi yang ada di negeri ini.
Langkah pemerintah untuk meminimumkan pencatatan pengeluaran pribadi sebagai pengeluaran perusahaan ini tentunya tidak akan berjalan dengan mudah. Pemerintah punya mau, sementara pengusaha punya cara.