kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / refleksi

Kampanye putih

oleh Ekuslie Goestiandi - Pengamat Manajemen dan Kepemimpinan


Rabu, 14 Maret 2018 / 16:17 WIB
Kampanye putih

Reporter: Ekuslie Goestiandi | Editor: mesti.sinaga

Semua rakyat Indonesia sudah maklum bahwa 2018 adalah tahun politik. Kita akan menyaksikan 573 pasang calon kepala daerah berkontestasi di 171 daerah. Hiruk pikuknya sudah dimulai tahun lalu, dan menjadi semakin kencang di awal tahun.

Mulai 15 Februari 2018, agenda pilkada akan menginjak periode kampanye. Spanduk akan bertebaran di mana-mana, termasuk di layar gawai kita.

Yang jelas, pada hari-hari tertentu akan terjadi pengumpulan masa secara masif di stadion luas ataupun lapangan terbuka.

Pada momen itulah, para pasangan calon dan juru pidatonya akan tampil menjual gagasan dengan nada penuh janji.

Kita menyebutnya sebagai kampanye, ajang untuk mempromosikan “kecap”nya masing-masing, yang sudah pasti diakui sebagai nomor satu di dunia.

Pembaca semua, termasuk juga saya, pasti sudah maklum dengan urusan kampanye ini. Beberapa hari lalu, seorang teman aktivis partai memperkenalkan satu istilah baru kepada saya, yakni “kampanye putih”.

Katanya, ini paralel dengan istilah “kebohongan putih” (white-lies) ataupun hoax yang membangun (positive hoax) yang baru beredar belakangan ini.

Dengan rasa ingin tahu besar, saya mendengar penjelasan sang teman, yang kebetulan memang sudah terlibat dalam beberapa pilkada sebelumnya.

“Kampanye, per definisi, adalah kegiatan yang ditujukan untuk mempengaruhi dan meyakinkan khalayak banyak. Ujung dari kampanye adalah pada akhirnya orang sudi untuk memilih kita,” demikian petuah pembuka sang teman.

Dalam hati saya bersepakat, namun apa hubungannya dengan diskursus “kampanye putih”?

Seolah mengetahui isi benak saya, sang teman berujar kembali, “Walaupun ingin memenangkan kontestasi, kami berusaha melakukannya dengan cara yang “baik”. Kami tidak ingin terjebak dengan kampanye hitam, yang secara jahat menjelek-jelekkan mitra kontestasi.”

Dengan pelan dan tegas, ia menekankan kata “baik”, seolah hendak meyakinkan saya bahwa inilah esensi dari “kampanye putih’, yang membedakannya secara diametral dengan “kampanye hitam”.

“Prinsip dari kampanye putih adalah menjaga niat baik, sekalipun dalam pelaksanaannya terkadang dibutuhkan beberapa penyesuaian situasional,” katanya dengan nada setengah berpidato.

Ia segera melanjutkan, “Sebenarnya banyak politisi yang ikut berkontestasi dengan niat baik, yakni mengabdikan diri untuk kepentingan rakyat dan kesejahteraan masyarakat.


 

Menghalalkan cara

Hanya saja, supaya bisa mengabdikan diri, ia harus memegang tampuk kekuasaan. Nah, agar bisa berkuasa, kita harus menggunakan cara-cara kreatif untuk memenangkan kontestasi, termasuk cara berkampanye.”

Salah satu kampanye kreatif yang dicontohkan sang teman adalah dengan permainan wacana. Misalnya, dalam kampanye kita boleh saja menjanjikan untuk membangun “rumah’ kepada rakyat berpenghasilan rendah.

Biarkan saja banyak orang membayangkan kata “rumah” sebagai “rumah setapak yang langsung beralas tanah”, walaupun sesungguhnya yang ada di benak kita adalah “rumah susun yang menjulang ke langit”.

“Bukankah nomenklatur “rumah” mempunyai jangkauan pengertian yang luas, yang melingkupi semua jenis tempat tinggal dan berteduh? Termasuk juga rumah susun?” pungkas sang teman dengan senyum dikulum.

Sembari merenungkan celoteh sang teman, saya teringat dengan jargon Machiavellian, yang dikenal juga dengan prinsip “tujuan menghalalkan cara”.

Niccolo Machiavelli (1469–1527) adalah seorang diplomat, politisi, sekaligus filsuf Italia yang ternama. Ia sudah menulis beberapa buku, dan salah satu karyanya sangat mempengaruhi dunia, yakni Il Principe alias Sang Pangeran.

Buku tersebut sesungguhnya adalah surat Machiavelli kepada Lorenzo de’ Medici, penguasa Florence, Italia, saat itu, yang berisikan petunjuk dan cara untuk mempertahankan kekuasaan.

Dalam upaya meraih dan mempertahankan kekuasaan, diperbolehkan mengabaikan nilai moralitas dan kebenaran.

Seorang Machiavellian tulen bukan hanya mengabaikan nilai etika, bahkan secara sadar menerapkan praktik destruktif, demi merenggut kekuasaan.

Kampanye putih yang dicelotehkan sang teman boleh jadi tidak melakukan kejahatan dan destruksi langsung kepada orang lain, entah mitra kontestasi ataupun publik.

Namun, yang jelas, ia mengandung unsur ketidakjujuran dan ketidakbenaran. Kata guru saya, “Kalaupun ada kebaikan yang dibangun di atas ketidakbenaran, toh kebaikan itu tak akan langgeng adanya



TERBARU

×