kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / refleksi

Sensasi kehebatan

oleh Ekuslie Goestiandi - Pengamat Manajemen dan Kepemimpinan


Senin, 19 Maret 2018 / 16:11 WIB
Sensasi kehebatan

Reporter: Ekuslie Goestiandi | Editor: mesti.sinaga

Bill Gates pernah berujar bahwa kesuksesan adalah guru yang buruk! Jangan salah paham dulu, pembaca. Petuah di atas jangan diartikan bahwa seseorang tak boleh mengenyam kesuksesan.

Siapa pula yang tak ingin meraih dan merasakan kesuksesan? Bahkan, beberapa motivator dengan lantang mengatakan success is my right.

Persoalannya, kesuksesan seringkali berhimpitan dengan keangkuhan dan membuat orang merasa diri hebat. Kesuksesan, apalagi dimaknai sebagai “hak”, acapkali ditafsirkan sebagai sesuatu yang given, “dari sononya” sudah diperuntukkan bagi seseorang.

Ketika kesuksesan dimaknai sebagai “hak” dan disikapi dengan kesombongan, orang jadi kehilangan kerendahhatian untuk senantiasa belajar. Itulah argumen di balik petuah Gates, yakni success seduces (smart) people into thinking they can’t lose.

Perasaan kesombongan atas kesuksesan ini tak hanya bisa terjadi pada individu, namun juga di tingkat organisasi dan bisa mendatangkan dampak negatif yang dahsyat.

Jim Collins, dalam bukunya How The Mighty Fall (2009) bahkan menjadikan keangkuhan yang lahir dari kesuksesan ini (hubris born of success) sebagai tahapan paling awal dari kejatuhan perusahaan-perusahaan besar.

Karena merasa sukses, perusahaan merasa tak perlu belajar untuk meraih yang lebih baik dan baik lagi.

Lebih jauh, Collins juga mengatakan bahwa kesuksesan dapat mendatangkan sensasi “mabuk kehebatan”. Laksana orang mabuk, pandangan menjadi kabur dan kehilangan objektivitas.

Organisasi tak ikhlas menerima kenyataan yang berbeda dengan keinginannya. Jika ada pencapaian organisasi yang tak sesuai harapan, alih-alih mengevaluasi ke dalam (internal), yang dilakukan justru menuding pihak luar (eksternal) sebagai sumber masalah.

Jika ada informasi yang tak sesuai keinginan, bukannya dicerna dan dibedah secara objektif, malahan disimpan erat agar tak muncul ke permukaan.

Terkadang, informasi itu bahkan dimanipulasi sedemikian rupa hingga sesuai dengan keinginan. Sikap manipulatif dan politicking akan menjadi nuansa yang menonjol dalam keseharian organisasi seperti ini.


 

Butuh teman jujur

Saya teringat dengan ilustrasi yang pernah disampaikan oleh Jack Welch, mantan juragan General Electric yang legendaris.

Katanya, sebuah organisasi besar itu ibarat pohon raksasa yang digelantungi oleh banyak monyet. Dari pucuk pohon, yang tampak adalah wajah-wajah monyet yang manis dan penuh senyum.

Sebaliknya, dari dasar tanah, yang terlihat adalah (maaf) pantat-pantat monyet yang jorok dan tak tahu sopan-santun.

Analogi ini memang sarkastik, namun Welch pasti tak sedang bercanda dengan pesan ceritanya. Bukankah dari ketinggian tampuk kekuasaan, seorang pimpinan puncak acap disodori laporan dan kisah-kisah indah nan menyenangkan oleh para manajernya?

Bukankah dari lantai dasar organisasi, bawahan sering menonton praktik manipulasi dan office-politicking para atasan yang tak elok, bak pantat monyet vulgar dan tak punya etika?

Kalau demikian halnya iklim organisasi, Collins mengingatkan perusahaan untuk bersiap menghadapi kemerosotan yang dapat berujung buruk.

Collins menyebutnya sebagai capitulation to irrelevance or death, yakni menjadi perusahaan yang tak kompetitif atau bahkan lenyap dari muka bumi.

Guru saya juga pernah memberikan nasihat sederhana berikut ini: “Semestinya seorang pemimpin –yang memegang tampuk kekuasaan– memiliki Jimmy Cricket.”

Sosok yang di Indonesia disebut Jimmy Jangkrik adalah jangkrik mungil yang senantiasa mengiringi (boneka) Pinokio dengan wajahnya yang sumringah dan mulutnya yang agak bawel. Tokoh ini pada dasarnya dihadirkan oleh Peri Biru sebagai “pengawal dan pengingat” bagi Pinokio.

Menyadari kemungkinan alamiah sosok Pinokio yang bisa nakal dan bertindak tak benar, Jimmy Jangkrik muncul sebagai penjaga nilai-nilai kebenaran dan objektivitas.

Ia adalah sosok yang menuntun Pinokio melewati jalan hidup yang kadangkala sempit, sesak, dan penuh godaan. Bahkan, pada akhirnya Peri Biru tak ragu untuk menahbiskan Jimmy Jangkrik sebagai conscience atawa “hati-nurani” bagi Pinokio.

Seorang pemimpin membutuhkan teman yang tak hanya berkata manis, namun terutama yang berucap jujur; bukannya teman yang sekadar bisa menyenangkan hati, namun terutama yang siap untuk menyadarkan nurani.

Karena, sekali kita dijauhkan dari informasi yang benar, jujur dan objektif, bersiaplah untuk mendulang keputusan yang salah.



TERBARU

×