kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / refleksi

Give and take

oleh Ekuslie Goestiandi - Pengamat Manajemen dan Kepemimpinan


Senin, 02 April 2018 / 18:41 WIB
Give and take

Reporter: Ekuslie Goestiandi | Editor: mesti.sinaga

Hampir semua dari kita pernah mendengar jargon take and give atawa “mengambil dan memberi”. Tanpa disadari, istilah tersebut juga selama ini kita amini; diterima sebagai sebuah kebenaran alamiah.

Bukankah hidup memang seperti itu, khususnya lagi dalam konteks bisnis? Bukankah sebagai sebuah transaksi, bisnis menuntut kita untuk memikirkan terlebih dahulu “apa (manfaat) yang dapat kita ambil” sebelum menyetujui “apa (manfaat) yang dapat kita berikan”.

Makanya, dalam perundingan sebuah bisnis, salah satu wacana yang tertempel kuat di benak kita adalah pikiran tentang kemanfaatan bagi diri sendiri. Orang bule menyebutnya what’s in it for me?

Dengan pola pikir di atas, sepanjang tak menemukan manfaat bagi diri sendiri, tak ada alasan sama sekali bagi seseorang untuk memberi kepada orang lain.

Seorang rekan yang menggeluti dunia team building, memberikan satu pencerahan yang menarik kepada saya. Dari observasi yang dilakukannya, banyak aktivitas pembentukan tim (khususnya lagi urusan “sinergi”) tak berjalan dengan baik, karena banyak orang yang mengusung prinsip take and give.

Nah loh, menarik bukan?

Lebih jauh, sang rekan menerangkan bahwa setiap orang begitu mudah menyerukan pentingnya kerja-sama, sinergi atau perkara-perkara sejenisnya, namun pada saat yang bersamaan melangkahkan kakinya ke arah yang berlawanan. Artinya, langkahnya semakin menjauh dari sifat sinergis.

Dengan takzim, sang teman mengatakan bahwa agenda pengembangan kerjasama ataupun sinergi hanya akan berhasil, bila dibangun di atas landasan give and take.

“Kita harus bersedia memberi dulu, sebelum akhirnya menerima/mengambil sesuatu,” tuturnya serius.

Mungkin saja, pada waktu memberi, kita tak punya gambaran tentang apa yang akan kita terima nantinya. Namun, kesediaan memberi (secara tulus) akan menjadi landasan alamiah untuk menerima kembali. Secara tulus pula.

Dalam konteks bisnis yang mengandung sifat transaksional, pandangan di atas mungkin terdengar naif.

Namun, seorang pengusaha kawakan, Teddy Rachmat, pernah memberikan petuah demikian, “dalam membangun kemitraan (partnership), kita harus menganggap mitra lebih penting dari diri sendiri.”

Paradigma ini berusaha mendahulukan ego dan kepentingan orang lain, sekaligus juga menundukkan ego dan kepentingan diri sendiri. Jelas tak mudah!

Namun, paradigma ini juga yang menjadi pegangan Teddy Rachmat ketika membangun kemitraan dengan berbagai pihak.

Salah satu contoh terbaik adalah kemitraan yang dibangun dengan sahabat dekatnya, almarhum Benny Subianto.

Di atas prinsip yang sama, kedua karib tersebut membangun “kemitraan”, bahkan mulai dari tingkat yang personal saat keduanya menempuh kuliah di Institut Teknologi Bandung, tingkat profesional saat keduanya meniti karir di Astra International, dan juga di aras bisnis saat keduanya membangun dan membesarkan perusahaannya masing-masing.

Sejatinya, prinsip yang diusung kedua tokoh pengusaha ini selaras dengan semangat give and take, yakni mendahulukan dan memberi kepada orang lain terlebih dahulu, dan setelahnya masing-masing akan “diberikan kembali” oleh alam semesta.

Fokus memberi

Hal serupa sebenarnya juga berlaku dalam konteks kemitraan antara perusahaan.

Roger L. Martin, dalam M&A: The One Thing You Need to Get Right (HBR, June 2016) membedah persoalan Merjer dan Akuisisi yang pada kenyataannya banyak berujung pada kegagalan.

Bahkan, Martin menyebut M&A sebagai permainan orang naif (a mug’s a game), yang secara tipikal 70%–90% berakhir dengan kerugian yang besar.

Mengapa demikian? Bagi Martin, ada sudut pandang yang keliru, yang menyebabkan banyak M&A berujung pahit. Perusahaan cenderung melihat M&A sebagai cara untuk “mendapatkan manfaat dan nilai tambah” bagi dirinya sendiri, entah itu berupa akses ke pasar yang baru ataupun kesempatan untuk meningkatkan keuntungan dan kompetensi organisasi.

Dan, patut dicatat, karena banyak perusahaan berpikir seperti itu, maka “manfaat dan nilai tambah” yang diperebutkan tersebut akan “hilang” pada saat perang penawaran harga atawa tender.

Sebagai alternatif, Martin, yang juga mantan dekan Rotman School of Management, University of Toronto, menawarkan cara pandang yang sebaliknya. Alih-alih berusaha untuk “mendapatkan manfaat dan nilai tambah”, kita justru harus berusaha “memberikan manfaat dan nilai tambah” bagi perusahaan yang hendak diakuisisi.

Dengan logika antitesis seperti itu, inisiatif M&A yang dilakukan tak akan didorong oleh nafsu untuk “merebut dan mencaplok” perusahaan yang akan diakuisisi, namun justru untuk “merawat dan membesarkan” bersama-sama.

Adam Grant, profesor dari Wharton School, University of Pennsylvania, dalam bukunya: Give and Take, Why Helping Others Drive Our Success (2013), mengatakan bahwa dalam konteks relasi antarpribadi, individu yang lebih memfokuskan dirinya untuk “memberi” kepada orang lain (giving), pada akhirnya akan menuai hasil yang lebih baik dan berlimpah, daripada mereka yang fokus kepada kepentingan dirinya sendiri (taking).



TERBARU

×