kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / siasatbisnis

Turunnya saham go pro

oleh Jennie M. Xue - Kolumnis internasional serial entrepreneur dan pengajar, bisnis, berbasis di California


Selasa, 24 April 2018 / 14:03 WIB
Turunnya saham go pro

Reporter: Jennie M. Xue | Editor: mesti.sinaga

Nilai valuasi saham GoPro turun dari US$ 3 miliar ketika penawaran saham perdana alias initial public offering (IPO) di tahun 2014 menjadi hanya seperempatnya, yaitu US$ 840 juta dengan harga terkini US$ 5,61 per saham. Bagaimana ceritanya, harga saham GoPro yang sangat digemari para pengguna video jatuh menukik?

Ternyata, mempunyai jutaan penggemar fanatik tidak cukup sebagai modal mempertahankan posisi penguasa pangsa pasar kamera video portabel ini. Kesalahan dalam menjalankan strategi, ketinggalan teknologi dan pemotongan biaya operasional menjadi penyebab kejatuhan.

GoPro didirikan oleh Nick Woodman pada tahun 2002. Woodman adalah penggemar surfing yang ingin mengabadikan hobinya ketika sedang beraksi. Jadilah kamera video "Going Professional" yang disingkat sebagai "GoPro" tercipta.

Kamera video ini dapat ditempelkan di atas kepala, pundak, dada atau di mana saja diperlukan. Sehingga aktivitas seseorang dapat direkam dengan jelas ala profesional. Di masa jayanya, GoPro sangat populer.

Modal pertama GoPro sebesar US$ 230.000 dipinjamkan oleh orangtua pencipta. Di tahun 2004, ketika produk versi pertama diluncurkan, GoPro menggunakan film 35 milimeter.

Satu dekade berikut, Go Pro menggunakan fixed-lens HD kamera video dengan wide 170-degree lens. Ketika digabungkan dua atau lebih unit, maka hasilnya menyerupai video 360 degree.

Penjualan GoPro mencapai era cult following di tahun 2013, sehingga timbul rencana untuk listing di bursa saham alias go public. Di tahun 2014, GoPro menunjuk Tony Bates, seorang mantan Microsoft sebagai chief executive officer (CEO) yang melapor langsung kepada Nick Woodman, untuk mewujudkan ide IPO ini.

Puncak mencapai USD 89 per saham di bulan Oktober 2014. Namun ini juga merupakan tahun menukik saham tersebut ke bawah tanpa ada rem.

Di tahun 2014, pertumbuhan mencapai 41% dan biaya operasional sekitar US$ 440 juta. Setahun berikutnya, biaya ini melonjak pesat mencapai US$ 618 juta. Salah satu pemicu kenaikan biaya ini karena perusahaan publik perlu tampil aktif untuk meningkatkan nilai.

GoPro yang telah memiliki penggemar fanatik ini mulai memasang iklan di acara SuperBowl yang luar biasa mahal. Ini sangat meningkatkan biaya operasional, hingga 50%.

Di tahun 2016, biaya operasional membengkak lagi menjadi US$ 835. Tidak lagi mampu menahan kerugian, layoff sebanyak 300 pegawaipun terjadi. Di tahun 2017, layoff bertambah lagi sebanyak 250 orang.

Di tahun 2016, pertumbuhan tidak lagi plus, tapi minus 27%. Tony Bates mengundurkan diri di akhir tahun 2016. Dan pada awal tahun 2018 ini, pendiri Nick Woodman telah siap menjual GoPro dengan bantuan JPMorgan.

Selain kesalahan strategi bisnis dan biaya operasional tinggi, GoPro juga tidak lagi bersaing dengan teknologi kamera video terbaru, yaitu 360 Camera. Bahkan iPhone dan Android dapat menggunakan fitur kamera 360 derajat ini dengan aplikasi kamera.

Teknologi 360 ini membuat GoPro sangat ketinggalan zaman. Apalagi berbagai aksesori iPhone dan Android yang menggantikan fungsi GoPro dengan sangat mudah dan praktis.

Ponsel iPhone dan Android jelas memungkinkan mengirim video secara langsung dengan bandwidth dan kecepatan generasi keempat alias 4G. Fitur ini tidak dimiliki GoPro, yang sebenarnya telah ketinggalan selama sepuluh tahun.

Tampaknya kesalahan terbesar terjadi ketika dana IPO menggiurkan manajemen mendirikan perusahaan media. Langkah tersebut diawali dengan memasang iklan di Superbowl.

Padahal, dana tersebut dapat digunakan untuk riset dan pengembangan teknologi GoPro. Tujuannya agar lebih mengikuti perkembangan zaman.

Strategi menjadi media company ini sangat bertolak belakang dengan core competency GoPro, yaitu inventor teknologi kamera video, bukan pencipta konten. Konten adalah kompetensi para pengguna. GoPro rupanya lupa hal tersebut.

Kita dapat memetik pelajaran dari GoPro. Setiap bisnis dan individu punya core competency tersendiri.

Anda dan saya punya kelebihan masing-masing. Tetaplah berada di jalur ini, apapun yang terjadi. Karena apa yang mudah buat kita, belum tentu mudah bagi mereka.

Namun ini bukan berarti statis. Berkembanglah terus dengan upgrade diri secara kontinyu. Di perusahaan, ada divisi penelitian dan pengembangan alias research and development (R&D). Bagi diri pribadi, kita bisa upgrade diri continue di era internet ini dengan banyak membaca dan belajar dari kesalahan diri dan orang lain.

GoPro masih tetap ada harapan untuk bangkit lagi. Stay positive.



TERBARU

×