kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / refleksi

Engagement dan caring

oleh Ekuslie Goestiandi - Pengamat Manajemen dan Kepemimpinan


Senin, 14 Mei 2018 / 14:30 WIB
Engagement dan caring

Reporter: Ekuslie Goestiandi | Editor: mesti.sinaga

Beberapa tahun terakhir, employee engagement jadi jargon yang rutin terdengar di kalangan praktisi organisasi.

Bahkan, beberapa perusahaan sudah melakukan pengukuran engagement secara rutin, karena merasakan pentingnya faktor tersebut dalam efektivitas pengelolaan organisasi.

Secara harafiah, terjemahan kata engagement dalam bahasa Indonesia adalah “pertunangan”, yakni sebuah komitmen awal menuju ikatan pernikahan secara resmi.

Akan tetapi, untuk menghindari kekeliruan interpretasi, pada kenyataannya employee engagement tidak serta merta diterjemahkan sebagai “pertunangan karyawan”.

Hingga saat ini, banyak yang tetap menggunakan istilah di dalam bahasa Inggrisnya, yaitu employee-engagement.

Dari perspektif engagement, pada dasarnya ada tiga jenis karyawan di dalam sebuah organisasi.

Yang pertama adalah karyawan yang engaged, yaitu mereka yang bekerja dengan semangat tinggi dan merasakan ikatan kuat dengan perusahaannya. Mereka inilah yang menjadi sumber pendorong inovasi dan kemajuan organisasi.

Kedua adalah karyawan yang not-engaged, yakni mereka yang pada dasarnya sudah “keluar” dari perusahaan. Mereka menjalankan rutinitas pekerjaan harian semata-mata sebagai kewajiban belaka, tidak lebih.

Mereka menghabiskan waktunya di tempat kerja, tanpa mencurahkan energi dan semangat kerja sebagaimana mestinya.

Terakhir adalah karyawan yang actively-disengaged, yaitu mereka yang sudah tidak puas dan bahagia lagi di tempat kerja.

Mereka sibuk mengumbar ketidakpuasan, dan bahkan ikut mempengaruhi dan merusak moral teman-teman kerja di sekitarnya.

Untuk mempermudah pemahaman kita, mari bayangkan perusahaan sebagai sebuah perahu dengan para penumpang di dalamnya.

Karyawan engaged laksana para penumpang yang dengan giat dan semangat mengayuh dayung, agar perahunya bergerak dengan cepat dan mantap.

Sementara, karyawan yang not-engaged ibarat para penumpang yang duduk manis, ngobrol dengan teman di sebelah sambil menyaksikan pemandangan sekitar.

Dan, karyawan yang actively-disengaged seperti para penumpang yang kesal dan tak suka hati, yang sembari diam-diam membocorkan perahu untuk menenggelamkannya.

Dahulukan bawahan

Studi yang dilakukan www.EmployeeEngagement.com pada tahun 2013 menunjukkan bahwa secara global, hanya sekitar 30% karyawan yang engaged terhadap perusahaannya, sementara ada 52% karyawan yang not-engaged serta 18% yang actively-disenggaged. Angka yang tak terlalu menggembirakan.

Padahal, dibandingkan karyawan yang disengaged, karyawan yang engaged ratusan persen jauh lebih produktif, inovatif dan bersikap positif terhadap perusahaan

Studi yang sama juga menunjukkan bahwa kepercayaan kepada jajaran pemimpin (trust in management) perusahaan merupakan kunci peningkatan engagement.

Dan, ada tiga kualitas kepemimpinan yang diyakini dapat meningkatkan engagement karyawan, yakni : (1) kompeten, (2) berintegritas dan (3) peduli (caring) kepada karyawan lain. Rasanya tak sulit untuk memahami bahwa pemimpin yang efektif harus memiliki kedua faktor pertama, yakni : kompetensi dan integritas.

Sudah banyak perusahaan yang menjadikan kedua elemen tersebut sebagai kriteria dasar (threshold) seorang pemimpin ataupun manajer.

Yang menarik perhatian adalah elemen ketiga, yakni : caring alias kepedulian. Seorang teman bahkan bertanya masygul, apakah tak berlebihan menuntut seorang pemimpin organisasi untuk peduli (caring) secara personal kepada segenap jajaran organisasinya?

Bukankah tanggung jawab seorang pemimpin organisasi adalah untuk memastikan bahwa target dan KPI (key performance indicator) tercapai, bukannya mengurusi kebutuhan dan kepentingan pribadi karyawannya?

Namun, saya teringat dengan kisah tentang organisasi Korps Marinir AS; salah satu institusi (militer) yang dianggap paling solid, kompeten dan engaged.

Simon Sinek, penulis kelahiran Inggris yang saat ini bermukim di Amerika, pernah berdiskusi dengan seorang jenderal Korps Marinir AS tentang pembentuk tim yang solid dan engaged.

Sang jenderal menjawab singkat, bahwa officers eat last atawa “Para perwira makan paling belakangan”.

Ini bukanlah sekadar petuah heroik dari mulut seorang pimpinan, karena Sinek sendiri menyaksikan para marinir muda makan terlebih dahulu, sementara yang lebih senior makan setelahnya di barisan kursi belakang.

Apa yang terjadi di ruang makan sesungguhnya merupakan cerminan dari apa yang terjadi di lahan tugas sehari-hari, termasuk di medan perang.

Seorang pemimpin yang hebat “mendahulukan” kenyamanan, keselamatan dan kemaslahatan orang-orang yang dipimpinnya, daripada kepentingan dirinya sendiri.

Pengalaman ini menginspirasi Sinek memberi judul salah-satu buku karyanya, yakni Leaders Eat Last, Why Some Teams Pull Together and Others Don’t, yang diterbitkan awal 2014.

Saya jadi berpikir, mengapa banyak karyawan yang tidak terlalu engaged kepada organisasinya? Jangan-jangan, karena para pemimpinnya rebutan untuk makan duluan. Di barisan paling depan pula.

?



TERBARU

×