kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / refleksi

Berproses untuk bertumbuh

oleh Ekuslie Goestiandi - Pengamat Manajemen dan Kepemimpinan


Selasa, 22 Mei 2018 / 14:14 WIB
Berproses untuk bertumbuh

Reporter: Ekuslie Goestiandi | Editor: mesti.sinaga

Pada awal abad ke-20 Alfred Binet, penemu tes IQ (Intelligence Quotient), menulis, “Beberapa filsuf modern dengan tegas mengatakan bahwa kecerdasan individu adalah sesuatu yang bersifat menetap; yang tidak dapat dikembangkan.

Kita harus melakukan protes dan mengambil sikap terhadap pesimisme yang brutal ini. Lewat praktik, pelatihan, dan terutama metode (pembelajaran) yang tepat, seseorang dapat meningkatkan perhatian, ingatan, dan juga kecerdasannya secara nyata.”

Seiring dengan gugatan Binet, Benjamin Barber, seorang sosiolog terkemuka, pernah berkata, “I don’t divide the world into the weak and the strong, or the successes and the failures... I divide the world into learners and non-learners.”

Barber tidak membagi manusia menjadi kelompok yang lemah dan kuat, atau yang berhasil dan gagal. Ia justru membagi manusia menjadi kaum pembelajar dan bukan-pembelajar.

Ia percaya proses pembelajaranlah yang akan membuat hidup seseorang bertumbuh kembang secara optimal.

Para pembelajar percaya bahwa mereka bisa mengembangkan kemampuannya secara dinamis untuk meraih kehebatan hidup, sementara kelompok bukan-pembelajar meyakini bahwa kemampuannya bersifat statis dan oleh karenanya tak perlu ditumbuhkan lebih jauh.

Setali tiga uang, Carol Dweck (dalam bukunya yang fenomenal, Mindset: The New Psychology of Success (2006) memperkenalkan konsep growth mindset (pola pikir tumbuh) dan fixed mindset (pola pikir mandek).

Kelompok fixed mindset semata-mata mengandalkan talenta yang dimilikinya, dan berfokus kepada “hasil” sebagai ukuran pencapaian hidup.

Sementara itu, kaum growth mindset tidak membatasi dirinya pada talenta yang dimiliki, dan lebih mengandalkan keberanian bertindak demi upaya bertumbuh.

Para pemilik growth mindset lebih peduli terhadap usaha dan proses pencapaian, bukannya hasil. Bagi mereka, hasil hanyalah sebuah indikator, bukan target akhir yang hendak diburu.

Orientasi kepada proses mungkin terdengar janggal bagi kita, yang selama ini cenderung dijejali pendapat bahwa pribadi sukses adalah sosok dengan segudang “hasil” yang menakjubkan.

Padahal, jika kehidupan dimaknai sebagai sebuah perjalanan, kesuksesan semestinya diartikan sebagai sebuah proses.

Persisnya, proses pencapaian yang tak akan berkesudahan sepanjang hayat dikandung badan. Sepanjang manusia terbuka untuk bertumbuh kembang, potensi kesuksesan akan terbentang di hadapan.

Sebaliknya, jika kesuksesan dilihat sebagai hasil, maka tak jarang bisa mendatangkan jebakan.

Dalam buku Seduced by Success (2007), mantan COO Microsoft Robert J. Herbold menjelaskan bagaimana kesuksesan yang pernah diraih seseorang atau organisasi ibarat pedang bermata dua.

Mata pedang yang satu mendatangkan kebanggaan yang bisa membangun fondasi bagi masa depan, sementara mata pedang lainnya mendatangkan jebakan berupa sikap berpuas diri, bahkan kesombongan.

Menurut Herbold, pribadi atau pemimpin yang terperangkap kesuksesan cenderung mengabaikan kabar buruk, menyalahkan faktor luar jika ada permasalahan, dan suka membesar-besarkan prestasinya sendiri.

Ringkasnya, ia terkena waham kebesaran atau delusion of grandeur. Bila ini yang terjadi, keberlanjutan perusahaan terancam karena ia tak tanggap akan perubahan.


 

Jejak masa lalu

Nama-nama besar (termasuk dalam jagad bisnis) menunjukkan bahwa mereka tak pernah terpukau dengan pencapaian pada masa lalu.

Mereka terus bertarung di medan-medan pertempuran baru demi mencetak prestasi, sekalipun sudah bisa hidup enak.

Contohnya, Richard Branson, 67 tahun, mogul eksentrik asal Inggris, misalnya, menyebut bahwa ia bisa berleha-leha dan minum-minum sepuasnya sampai mati di Karibia.

Namun, pendiri Virgin Records menolak gaya hidup yang mungkin menggiurkan bagi banyak orang ini. Ia justru menyebutkan bahwa ia dalam posisi unik yang memberinya kesempatan untuk memberikan kontribusi dalam banyak hal.

Maka, ia pun terlibat dalam pembenahan perkeretaapian di Inggris dan bahkan menggagas penerbangan komersial ke angkasa luar.

Tokoh-tokoh besar menyadari bahwa kesuksesan adalah sebuah proses tiada henti. Pencapaian masa lalu, seberapapun besarnya itu, tak lebih dari sekedar sebuah jejak. Jejak yang harus segera ditinggalkan, agar tak menyurutkan langkah berikutnya.

Carl Rogers (1902-1987), genius psikologi Amerika yang ternama, pernah bertutur “The good life is process, not a state of being. It is a direction, not a destination.” Hidup memang laksana misteri perjalanan, yang tak pernah kita ketahui “kapan akan berakhir dan ke mana akan berujung”.

Sepanjang roh kehidupan ditiupkan ke dalam jiwa kita, sepanjang itu pula jalan kehidupan akan membentang. Sepanjang kita menyiapkan diri untuk ber”proses”, seluas cakrawala pula layar “pertumbuhan” akan terkembang. ?



TERBARU

×