kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / wakeupcall

Memungut Pisau Jatuh

oleh Lukas Setia Atmaja - Financial Expert-Prasetiya Mulya Business School


Rabu, 04 Juli 2018 / 10:05 WIB
Memungut Pisau Jatuh

Reporter: Lukas Setia Atmaja | Editor: hendrika.yunaprita

Turunnya harga saham di bursa Amerika Serikat, yang diikuti bursa saham di negara lain, termasuk Indonesia, sejak 1 Februari 2018, menimbulkan sebuah pertanyaan besar. Apakah bursa saham global akan memasuki periode bearish? Ataukah penurunan harga saham ini sekedar sebuah koreksi normal, mengingat indeks harga saham di Amerika Serikat sudah naik cukup tinggi sejak awal 2009. Maklum, dalam kurun waktu 9 tahun terakhir ini, indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) telah naik dari 8.000 menjadi 24.000.

Turunnya harga sebuah saham secara tajam dalam kurun waktu tertentu adalah fenomena yang sering terjadi. Fenomena ini sering disebut falling knife alias pisau jatuh. Bagi investor saham, pisau jatuh memberikan peluang untuk mengoleksi saham incaran dengan harga lebih murah.

Namun, namanya juga menangkap pisau jatuh, tentu tindakan ini memiliki risiko yang cukup besar. Jika terlalu cepat mengambil pisau, akan tergores jika pisau tersebut ternyata masih jatuh. Tetapi jika terlambat memungut pisau jatuh, pisaunya terlanjur memantul ke atas.

Idealnya, investor bisa menunggu sampai pisau tersebut menyentuh lantai baru kemudian mengambil pisau tersebut agar tidak terluka. Namun, tidak mudah untuk mengetahui kapan pisau jatuh tersebut telah tergeletak di lantai.

Saat harga suatu saham turun, misalnya turun sebanyak 5% hingga 10%, investor mulai tergoda untuk mengoleksi saham ini. Ternyata mereka bukannya sedang memungut pisau yang sudah menyentuh tanah, namun menangkap pisau yang sedang dalam proses jatuh.

Bukan tidak mungkin jika pisau bisa jatuh sangat dalam. Ingat nasib saham PT Bumi Resources Tbk (BUMI) di 2008 silam? Di Juni, harga saham BUMI mencetak rekor Rp 8.650 per saham. Sebulan kemudian, harga turun menjadi Rp 6.500 dan investor mulai bersemangat mengoleksi saham ini.

Di September, harga terus turun menjadi Rp 4.000, alias diskon lebih dari 50%. Investor berbondong-bondong membeli saham BUMI, dengan harapan harga sudah mencapai titik terendah. Mereka salah. Januari 2009, harga saham BUMI tinggal Rp 460, alias terdiskon 95%! Hingga saat ini harga saham BUMI tidak pernah mencapai titik Rp 4.000 lagi.

Lebih mengerikan lagi jika saham yang dibeli berakhir dengan kebangkrutan. Meskipun jarang, bukan berarti hal ini tak mungkin terjadi. Saat krisis moneter 1998, harga sebagian saham perusahaan di Bursa Efek Jakarta lebih murah dari harga selembar kertas fotokopi. Sebagian dari mereka berakhir dengan kebangkrutan dan nilai saham menjadi nol.

Maka, tak heran jika ada ungkapan terkenal di kalangan investor, Dont catch the falling knife. Ironisnya, menangkap pisau yang sedang jatuh deras menjadi kesalahan yang sering dibuat investor. Memang sulit membedakan saham bagus (value stock) yang sedang salah harga dengan saham yang sedang bermasalah. Namun, setidaknya ada beberapa pertimbangan sebelum kita memutuskan membeli saham yang sedang jatuh harganya.

Kita harus berulang kali bertanya, mengapa harga saham turun begitu tajam? Apakah karena fundamental perusahaan menurun? Apakah terjadi skandal di perusahaan? Apakah kinerja kompetitor meningkat pesat? Apakah industri sedang menghadapi perubahan yang berdampak negatif terhadap kinerja perusahaan?

Jika ada salah satu dari faktor ini yang mendorong jatuhnya harga saham, kita sebaiknya berpikir tiga kali sebelum membeli saham tersebut. Lakukan riset secara fundamental sebelum membuat keputusan mengambil pisau jatuh.

Saham BUMI memberi pelajaran mahal bagi para investor. Saham BUMI melonjak tinggi karena sentimen dan spekulasi bahwa harga minyak dunia akan terus meroket. Ketika harga minyak dunia turun drastis, dan konsekuensinya harga saham BUMI juga ikut terkoreksi, investor merasa bahwa harga saham BUMI jadi lebih murah alias terdiskon.

Moralnya, investor tidak sadar bahwa industri dan faktor ekonomi makro sudah berubah. Peter Lynch, fund manager legendaris, mengingatkan, You should not buy a stock because its cheap, but because you know a lot about it.

Jika tidak ada faktor tersebut, kita harus melihat apakah kita sedang berada di bursa yang sedang bearish? Jika ya, kita harus berhati-hati, karena kita tidak tahu berapa lama atau seberapa berat kondisi bearish ini.

Menurut riset Goldman Sachs, dengan data saham di Amerika Serikat sejak 1945, jika indeks turun hanya sebesar 13%, dibutuhkan waktu sekitar empat bulan untuk pulih. Namun jika indeks jatuh hingga 30%, dibutuhkan waktu 22 bulan untuk pulih. Saat krisis keuangan 2008, banyak investor domestik yang kurang sabar dan masuk saat IHSG berada di level 2.000. Ternyata IHSG masih turun hingga level 1.100.

Pada kondisi bursa normal, ada kemungkinan penurunan harga disebabkan oleh koreksi harga karena saham sudah kemahalan. Dalam hal ini, kita memiliki saham dengan fundamental kuat, industri yang bagus dan bursa yang kondusif, tetapi saham yang sedang turun harganya karena overpriced.

Saham yang harganya sedang jatuh memang amat menggoda untuk dibeli. Namun di dalamnya terkandung risiko yang cukup besar. Seperti kotbah Peter Lynch, Just because a stock goes down doesnt mean it cant go lower.



TERBARU

×