kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / wakeupcall

Menjadi Investor yang Bukan Inpestor

oleh Satrio Utomo - Pengamat Pasar Modal


Selasa, 03 Juli 2018 / 12:05 WIB
Menjadi Investor yang Bukan Inpestor

Reporter: Satrio Utomo | Editor: hendrika.yunaprita

Bullish market manakah yang paling bagus dalam 20 tahun terakhir? Apakah bullish market ketika IHSG mencapai level 6.000-an seperti sekarang ini? Jawaban saya: tentu saja bukan!

Yang terjadi tahun ini, IHSG hanya mencapai level psikologis 6.000. Itu saja! Kalau kita runut agak ke belakang, bullish market kali ini memang membawa IHSG naik lebih dari 50% dari titik awal di kisaran 4.000–4.100, akhir kuartal 2015. Kenaikan sebesar itu biasanya hanya bisa membuat (sebagian besar) investor untung, bukan (sebagian besar) investor kaya mendadak.

Bullish market yang terbaik menurut saya adalah bullish market yang berlangsung selama 2002 hingga 2008, yang mampu membuat orang kaya mendadak. Dalam bullish market yang berlangsung pada periode tersebut, IHSG yang pada awal siklus berada pada kisaran 300325, sudah berada di kisaran 2.700–2.800 di awal tahun 2008.

Artinya: IHSG sudah berlipat tujuh kali, memberikan return sebesar 700% lebih dalam periode tersebut. Kenaikan yang sangat luar biasa. Banyak orang kaya mendadak.

Keluarga Bakrie jadi salah satu keluarga terkaya di Indonesia ketika itu. Bukan karena mereka pandai berinvestasi di pasar modal, tapi karena mereka adalah pemilik dari saham-saham yang menjadi penggerak kenaikan pasar ketika itu. Harga saham Grup Bakrie, seperti BUMI, ENRG, DEWA, BKSL dan UNSP, naik berlipat dari harga awal.

Tidak hanya Keluarga Bakrie yang mereguk keuntungan. Banyak orang lain yang ikut jadi inpestor (bukan investor) di saham Bakrie, juga kecipratan. Mereka jadi miliarder baru.

Sedikit mengingatkan, ketika melakukan investasi, seorang investor biasanya melakukan berdasarkan valuasi atau analisis fundamental. Artinya, seorang investor hanya mau berinvestasi pada emiten dengan fundamental bagus.

Masalahnya, ketika bullish market yang berkepanjangan terjadi, seperti di 2002 hingga 2008, semua ide investasi terasa benar. Yang salah hanya orang yang tidak membeli saham. Ketika itu, ide investasi seperti apapun akan berasa untung.

Beli saham dengan fundamental bagus, jelas harganya naik. Beli saham dengan PER rendah, pasti harganya naik. Beli saham dengan PBV rendah, pasti harganya naik. Beli saham dengan PEG rendah, pasti harganya naik. Beli saham enggak jelas malah lebih untung dari beli saham blue chip, karena harganya bisa naik lebih tinggi.

Bukan manusia kalau tidak serakah. Para pemodal, yang tadinya masih menjadi seorang investor, karena menggunakan logika investasi yang benar, berubah menjadi serakah, menjadi inpestor. Ketika melihat saham di portofolionya sedikit, dia berusaha meminjam ke orang lain (biasanya meminjam ke perusahaan sekuritas melalui fasilitas margin) untuk menambah kekuatan portofolionya.

Bullish market telah membuat seorang investor yang tadinya berinvestasi dengan hati-hati, sesuai dengan rencana yang dimilikinya, menjadi seorang inpestor yang serakah dan berusaha memakan saham apapun yang lewat di depannya.

Setelah puncak IHSG di Januari 2008, muncullah crash bearish market. Sebagai ilustrasi dari kondisi market ketika itu, ada sebuah cerita yang pernah saya dengar. Entah benar atau hanya sekedar fiksi (tapi sepertinya benar).

Ada seseorang, yang di 2003 membeli saham-saham Bakrie dengan uang Rp 2 miliar. Untuk bisa membeli semua saham Bakrie dalam jumlah besar, dia menggunakan fasilitas margin dari perusahaan sekuritas.

Singkat cerita, investasi sebesar Rp 2 miliar itu, menjadi 'inpestasi' bernilai ratusan miliar di awal 2008. Malah beberapa cerita menyebut inpestasinya mencapai triliunan, karena dilakukan di beberapa sekuritas.

Bulan Oktober, setelah crash yang membawa IHSG dari 2.700 ke 1.100, juga membawa harga saham BUMI dari Rp 7.000-an jadi Rp 400-an, inpestasi yang dimiliki orang tadi menjadi minus beberapa miliar. Bayangkan saja: Anda punya duit Rp 2 miliar, jadi Rp 1 triliun, kemudian jadi minus Rp 2 miliar.

Tidak bisa membedakan antara investasi dengan inpestasi, membedakan antara investor dengan inpestor, adalah cerita lama yang selalu berulang. Apalagi ketika market sedang bullish seperti sekarang.

Orang yang merasa dirinya sedang berinvestasi, kemudian berusaha mengembangkan teorinya karena merasa dirinya benar. Ketika bullish market, orang yang untung adalah orang yang benar. Karena dirinya benar (dan duitnya banyak), orang-orang ini menjadi sangat sukar untuk diingatkan.

Padahal, di pasar modal, kita harus menyadari beberapa fakta. Pertama, bullish market tidak berlangsung selamanya. Harga yang bergerak naik akan bergerak turun. Ini siklus wajar.

Kedua, kisah sukses dari orang yang berinvestasi selalu muncul bersama-sama dengan bullish market itu sendiri. Kisah Sukses dari orang yang berinvestasi ini, akan menjadi semakin banyak, sejalan dengan panjangnya periode bullish market itu. Terlebih lagi, kisah sukses dari orang yang berinvestasi, akan menjadi semakin enggak masuk akal terutama pada saat puncak dari bullish market.

Ketiga, ketika bullish market diikuti bearish market, orang-orang baik akan menjadi korban. Anda tahu orang baik? Orang baik itu adalah orang yang punya pekerjaan jelas, karir yang bagus, keluarga yang bahagia, dan seterusnya. Mereka itu biasanya habis dalam kondisi terburuk dari bear market. Orang yang karirnya mengkilap, investasi di saham, Sekarang, dia dipenjara. Bearish market akan selalu memakan korban, yaitu orang yang tidak waspada.

Apa sekarang sudah mau bearish market? Saya tidak menakut-nakuti Anda. Akan tetapi, saya memang sedang melihat beberapa kondisi di mana bullish market sudah terlihat mulai jenuh.

Kisah sukses bertebaran, orang sudah mulai sombong, orang sudah mulai membuat teori-teori yang enggak masuk akal, harga saham juga sudah enggak masuk akal, harga workshop sudah mulai ada yang enggak make sense, dan hal-hal lain. Bullish market terlihat sudah mulai jenuh.

Dalam kondisi market seperti ini, pemodal sebaiknya memang harus bisa berinvestasi dengan benar. Investasi yang benar itu, berarti hanya membeli saham-saham yang memiliki fundamental baik dan dalam kondisi harga yang dikatakan cukup murah. Kalau saham yang kita anggap baik ternyata tidak murah lagi, ya sudah, tunggu sampai harganya sedikit murah.

Toh, timing juga dilakukan oleh para fund manager global dalam berinvestasi. Kalau harga ternyata dirasakan terlalu mahal, pembelian bisa ditunda dulu. Terus, jadi investor juga jangan terlalu khawatir kalau harga saham kemudian bergerak turun. Kalau Anda enggak rela harga bergerak turun, kalau Anda merasa enggak mau rugi, ya jadilah trader.

Tapi, alangkah baiknya jika Anda juga bisa memperkirakan ke mana harga bisa bergerak turun, sehingga Anda bisa tahu: kapan saat yang tepat untuk kembali melakukan akumulasi. Tidak ada harga yang selamanya bergerak naik, tidak ada harga yang selamanya bergerak turun.

Kalau IHSG sekarang sudah tinggi, lantas apa ke depan harga akan bergerak turun? Kalau turun itu berarti IHSG akan kembali ke level 4.000, atau bahkan ke bawah 5.000, jawaban saya jelas: TIDAK! Dalam kondisi sekarang, IHSG sudah tidak bisa turun terlalu dalam.

Mengapa saya bisa yakin seperti itu? Karena dana asing jangka pendek di pasar reguler, salah satu indikasi saya mengenai aktivitas dari pemodal asing, sudah bisa dikata nol. Dana asing di pasar reguler untuk jangka pendek itu, bahkan sudah minus. Karena itu, meskipun IHSG terkoreksi, jelas tidak bisa banyak. Asing mau jualan apa kalau mereka juga sudah tidak punya barang?

Terakhir, saya sih enggak terlalu khawatir melihat koreksi yang terjadi di Bursa New York. Market Amerika belakangan memang begitu kalau ada penggantian Chairman The Fed. Ketika Janet Yellen menggantikan Bernanke, indeks Dow Jones Industrial juga terkoreksi cukup dalam (sekitar 6% lebih)

DJIA mau crash seperti apa pun, IHSG enggak bakal terkoreksi dalam. Ini karena market lokal saat ini sepenuhnya dalam penguasaan investor lokal.



TERBARU

×