kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / wakeupcall

IHSG Level 700 dan 6.000

oleh Satrio Utomo - Pengamat Pasar Modal


Senin, 02 Juli 2018 / 20:09 WIB
IHSG Level 700 dan 6.000

Reporter: Satrio Utomo | Editor: hendrika.yunaprita

Belakangan, IHSG terlihat lengser dari titik tertinggi. Setelah sempat mencapai titik tertinggi di 6.693,47 Februari lalu, Jumat (16/3) lalu IHSG sempat mencapai titik terendah di 6.236,24 sebelum akhirnya tutup di level 6.304,95. Koreksi lebih dari 5% dalam satu bulan, jelas merupakan sesuatu yang banget.

Pertanyaan yang kemudian terlintas di pikiran saya, apa persamaan dan perbedaan IHSG di level 700 dan 6.000? Begini, saya memulai karir di pasar modal pada 1998. Di periode 1998-2002, IHSG memang hanya berputar-putar di kisaran 250-720. Kalau turun ke 250-300, kalau naik ke 700-720. Muter-muter di situ saja.

Sekarang, IHSG sudah di atas level psikologis 6.000. Saya tertarik dengan persamaan saat IHSG di 700. Persamaan yang seharusnya bisa diubah agar pasar modal bisa lebih baik.

Saya bahas dulu perbedaannya. Perbedaan pertama ada pada ketertarikan masyarakat terhadap pasar modal. Ketertarikan masyarakat pada pasar modal saat ini jelas jauh lebih besar. Sebagian besar jelas merupakan jasa program Yuk Nabung Saham. Diseminasi informasi mengenai pasar modal sudah sedemikian bagus. Lihat saja kelas Pasar Modal yang diadakan di Gedung Bursa Efek Indonesia. Sudah seminggu 2-3 kali, kelasnya terlihat hampir selalu penuh.

Perbedaan kedua, kecepatan internet saat ini jauh lebih tinggi dibanding di 19982002 dulu. Internet yang cepat mambuat arus informasi lebih cepat, sehingga semuanya jadi lebih mudah. Semua sekuritas saat ini sudah menyediakan fasilitas online trading.

Ketiga, perbedaan yang mendasar juga terdapat pada fasilitas pembiayaan yang diberikan sekuritas. Dulu, sekuritas terlihat cenderung kurang berhati-hati memberikan fasilitas pembiayaan pada nasabah. Maklum, yang mau investasi di saham hanya sedikit.

Berbagai krisis telah membuat pemberian fasilitas pembiayaan kini diatur jauh lebih ketat. Sekuritas menjadi lebih berhati-hati. Minim dan ketatnya pemberian fasilitas margin ini membuat volatilitas pergerakan harga jadi lebih sempit. Tidak ada harga yang longsor, jatuh sedemikian tajam, karena terjadinya forced selling saham makin kecil.

Buat trader seperti saya, ini merupakan kemunduran. Seorang trader mendapat penghasilan lebih ketika volatilitas pergerakan harga meningkat. Akan tetapi, yang penting investor aman, harga saham juga tidak bisa turun terlalu dalam. Itu beda market zaman old, dengan market zaman now.

Sekarang, kita masuk ke Persamaannya. Pertama, pelaku pasar masih belum juga paham (atau mungkin belum peduli), perbedaan antara investasi saham dengan trading saham. Investasi itu membeli saham dengan fundamental bagus yang diharapkan bisa memiliki nilai tinggi di masa akan datang. Kalau beli saham dengan fundamental jelek, itu bukan investasi, itu nekad namanya.

Karena salah paham ini, investor yang tadinya rajin nabung saham bisa menjadi stock market haters. Sebab yang dibeli saham dengan fundamental tidak jelas. Ada juga yang mengaku trader, tapi ketika tren harga saham turun, posisi kemudian ditahan, bukan cut loss. Alhasil dia jadi nyangkuters.

Kedua, wartawan masih tetap memandang sebelah mata data konsensus analis. Penggerak harga saham itu ada dua, pelaku pasar yang rasional (misal fund manager) dan pelaku pasar yang emosional (lebih sering merupakan market maker atau orang yang saham suatu emiten dalam jumlah sangat besar).

Harga saham market maker bakal bergerak sesuai agenda market maker-nya. Tapi saham-saham yang penggeraknya adalah pelaku pasar rasional atau fund manager, mereka ini bereaksi terhadap data konsensus analis, terutama di saham-saham blue chip atau big caps.

Konsensus analis adalah rata-rata data yang dikumpulkan dari beberapa analis fundamental yang menganalisis saham tersebut. Biasanya angka yang dilihat adalah earning per share (EPS), laba bersih dan penjualan.

Dalam memberitakan, wartawan kerap hanya melihat pertumbuhan. Kalau EPS tumbuh, maka beritanya positif. Ini tidak salah. Masalahnya, fund manager akan membandingkan dengan konsensus. Jika EPS yang dipublikasikan emiten lebih kecil dari prediksi fund manager, maka dia akan jual. Alasannya, fund manager menurunkan valuasi saham tersebut.

Jadi kalau EPS tumbuh di bawah perkiraan, wartawan akan bikin berita bagus karena EPS tumbuh, tapi fund manager bisa saja jual karena EPS di bawah harapan dia. Ini terjadi pada ASII dan UNTR.

EPS kedua saham ini di bawah konsensus. Wartawan bikin berita positif, tapi harga saham kedua emiten ini berjatuhan. Enggak heran kalau pemodal berasa dikerjain. Sisi buruknya, investor kemudian bilang pasar modal kita tidak bisa dipercaya.

Persamaan ketiga, pemodal kita masih mudah lupa. Pemodal sering lupa ada beberapa saham yang memang: kalau berita bagus dia turun, kalau berita jelek dia naik. Pemodal juga sering lupa: ini saham dulu sering ngerjain investor. Jasmerah (jangan lupa sejarah) tidak ada di pasar modal. Akhirnya pemodal sering sakit ketika market berubah arah.

IHSG memang sedang sedikit baper. Harga saham sudah terkoreksi lumayan tajam. Tapi apakah ini akhir dari segalanya? Menurut saya, kecil kemungkinan IHSG mau terus turun sampai di bawah 6.000. Yang jelas saya berharap, pendidikan bagi trader dan investor di masa depan bisa lebih baik.

Happy trading! Semoga menjadi berkah.



TERBARU

×