kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.347.000 0,15%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%
KOLOM /

Akuntansi mental


Senin, 13 Mei 2019 / 11:37 WIB
Akuntansi mental


Reporter: Harian Kontan | Editor: Tri Adi

Apa pengaruh akuntansi ke pasar saham? Ada yang berpendapat data akuntansi dipakai penganut analisis fundamental untuk mengambil keputusan investasi. Sebagian analisa fundamental melibatkan data-data akuntansi untuk menemukan perusahaan yang baik, punya peluang pertumbuhan dan menemukan harga wajar. Secara pendekatan psikologi, pola pikir akuntansi ternyata juga mempengaruhi pola pikir pelaku pasar dalam mengambil keputusan transaksi.

Mental accounting atau akuntansi mental adalah sebuah fenomena seseorang membagi uang dalam beberapa akun atau rekening terpisah berdasarkan tujuan dan sumber uang tersebut. Contoh, si A berencana membeli mobil tahun ini dan rumah lima tahun yang akan datang. Si A sudah membuat tabungan terpisah untuk kedua tujuan tersebut.

Ia secara rutin menyisihkan pendapatan per bulan dalam dua rekening berbeda. Ternyata uang untuk membeli mobil masih kurang Rp 50 juta, sedang rekening untuk membeli rumah sudah ada dana Rp 200 juta.

Bunga kredit membeli mobil sekitar 15% per tahun sedang bunga tabungan 8% per tahun. Tuan A akhirnya memutuskan membeli mobil secara kredit untuk menutupi kekurangan dana dan tidak mengganggu tabungan yang disiapkan untuk membeli rumah.

Sekilas keputusan ini terlihat disiplin. Tetapi keputusan ini sebenarnya tidak rasional, karena terdapat selisih suku bunga kredit dan tabungan sebesar 7%. Harusnya tuan A menggunakan sebagian dana pembelian rumah untuk menutup kekurangan dana pembelian mobil. Lalu, pendapatan bulan-bulan berikutnya yang harusnya dipakai membayar cicilan mobil disimpan ke rekening pembelian rumah.

Mental accounting juga terjadi ketika seseorang membagi rekening berdasarkan sumber pendapatan. Ada yang menempatkan dalam akun yang berbeda, ada juga membuatnya secara virtual, ada juga yang dalam catatannya. Sumber uang ternyata mempengaruhi bagaimana nantinya uang digunakan.

Uang yang dihasilkan dari gaji karena bekerja selama sebulan berbeda perlakukannya dengan uang yang didapatkan dari hadiah, bonus atau warisan. Orang cenderung lebih mudah menggunakan dan menghabiskan uang hasil bonus, hadiah dan warisan, dibandingkan uang hasil bekerja selama sebulan, biarpun nilainya sama.

Thaler (1980) pertama kali menggagas fenomena akuntansi mental ini, di mana seseorang membuat pemikiran yang menyerupai cara sebuah organisasi atau perusahaan dalam membuat sebuah sistem akuntansi untuk mengelola keputusan keuangan yang akan dilakukan. Perlakuan akuntansi perusahaan tersebut ternyata mempengaruhi para individu dalam membuat keputusan keuangan. Ada banyak akun, baik secara riil ataupun virtual yang terbentuk di pemikiran seseorang saat mengelola uang. Uang yang nilainya sama-sama Rp 10 juta rupiah seharusnya tidak mendapat perlakuan berbeda.

Mental acconting ternyata juga terjadi dalam aktivitas transaksi saham, baik trading maupun investasi. Sejumlah pelaku pasar pernah berdiskusi dengan penulis tentang posisi transaksi saham yang sedang rugi. Pelaku pasar tadi menanyakan waktu dan level harga yang tepat untuk melakukan pembelian saham yang merugi untuk menyelamatkan posisi rugi tersebut dengan melakukan pembelian di level bawah (averaging down).

Dengan melakukan averaging down, rata-rata harga beli akan turun dan kalau harga saham naik lebih mudah untuk keluar dari posisi saham tersebut dengan break event point. Fokus yang dilakukan investor adalah mencari cara menyelamatkan posisi yang rugi tadi, di mana seolah-olah ada akun tersendiri untuk posisi saham tersebut.

Seharusnya pelaku pasar tidak perlu fokus pada setiap posisi sahamnya, tetapi lebih melihat keseluruhan portofolio. Bila berpikir setiap posisi saham adalah akun yang terpisah dan harus keluar pasar atau dijual dalam posisi untung, maka yang akan terjadi adalah kerugian besar.

Pelaku pasar tidak berani melakukan cut loss dan berpikir menyelamatkan posisi rugi tersebut dengan melakukan averaging down. Bagaimana kalau saham tersebut terus turun atau diam tidak bergerak. Menahan posisi rugi dan melakukan pembelian di bawah membuat risiko menjadi lebih besar.

Tidak masalah bila ada beberapa posisi terpaksa keluar dari pasar atau dijual dalam posisi rugi. Fokus harus diarahkan bagaimana supaya posisi portofolio secara keseluruhan tidak mengalami kerugian, bahkan kalau bisa mengalami keuntungan atau pertumbuhan.

Penulis juga pernah ditanya pelaku pasar yang ingin melakukan buy back saham yang telah dijual rugi sebelumnya. Alasannya ingin mengembalikan kerugian yang dialami di saham tersebut. Ada akun kerugian yang tertinggal di posisi saham tersebut dan harus dikembalikan dengan meraih keuntungan di saham tersebut.

Penulis lantas bertanya ke pelaku pasar tersebut, apakah kerugian di saham A harus ditutup dengan keuntungan dari saham yang sama? Kenapa tidak membeli saham B yang punya peluang naik lebih tinggi? Jadi pelaku pasar tersebut telah terjebak dalam akuntansi mental, di mana terbentuk akun-akun virtual di pemikirannya tentang posisi sebuah saham.

Bila pelaku pasar berpikir lebih jernih dan mampu mengesampingkan fenomena akuntansi mental ini, tentu keputusan investasinya akan lebih baik dan punya potensi keuntungan lebih besar.♦

Yohanis Hans Kwee
Praktisi Pasar Modal, Dosen FEB Trisakti dan MET Atmajaya

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP) Negosiasi & Mediasi Penagihan yang Efektif Guna Menangani Kredit / Piutang Macet

[X]
×