kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.347.000 0,15%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%
KOLOM /

Armageddon atau amanah?


Senin, 11 Februari 2019 / 17:46 WIB
Armageddon atau amanah?


Reporter: Tabloid Kontan | Editor: Mesti Sinaga

KONTAN.CO.ID -  Menjelang hajatan Pemilu 17 April 2019, khususnya pemilihan presiden, sangat menarik melihat perilaku kampanye para politisi.

Para tim sukses masing-masing paslon berlomba berteriak untuk memenangkan hati rakyat. Belakangan, kita bahkan sempat mendengar seruan, “Momen pilpres laksana Armageddon, pertempuran besar sekelas Baratayuda”.

Jadi, harus disiapkan sedemikian cermat, supaya dapat dimenangkan sedemikian rupa pula. Kelompok yang dulunya pernah menjadi lingkaran dekat penguasa lama, juga berteriak tak kalah kencangnya.

Semboyan “Enak zamanku toh?”, yang merujuk kepada era penguasa yang pernah bertahta lama di republik ini, menjadi tagline yang sering disemburkan kembali ke telinga publik.

Tak pelak, jargon-jargon heroik semisal “penggantian, perlawanan, pembaharuan” lazim muncul dalam orasi kelompok yang saya sebut sebagai kelompok pro-perjuangan.

Sebaliknya, ada pula yang berkampanye dengan nada yang lebih teduh. Ada yang, misalnya, berujar, “Pemilu semestinya menjadi festival demokrasi yang mendatangkan kegembiraan bagi rakyat”.

Tokoh politik lain berkomentar, “Biarkanlah rakyat yang nanti memutuskan sendiri, siapa yang pantas menjadi pemimpin mereka”.

Berbagai argumentasi filosofis nan bijak digunakan oleh kelompok yang saya namai sebagai kelompok pro-amanah.

Seorang teman politikus bahkan pernah bertutur takzim kepada saya, “Menjadi pemimpin adalah sebuah takdir Ilahi. Orang bule menyebutnya destiny!”.

Dalam khazanah ilmu kepemimpinan, kita sering dihadapkan dengan pertanyaan klasik berikut. “Apakah seorang pemimpin hebat itu dilahirkan (born) atau diciptakan (made)?”

Hingga saat ini, pertanyaan tersebut menjadi diskursus yang tiada henti diperdebatkan. Jika seorang pemimpin hebat itu dilahirkan, maka garis keturunan dan bakat alami menjadi faktor penting yang menentukan kehebatan sang pemimpin.

Sebaliknya, jika seorang pemimpin akbar diciptakan, maka pengaruh lingkungan dan pola pendidikan memberikan kontribusi besar bagi keberhasilannya.

Pola pikir atas pertanyaan tersebut sangat menentukan cara kita menyikapi urusan kepemimpinan ini.

Kelompok yang menganut paham pemimpin sebagai sosok yang dilahirkan (born) akan merasa lebih nyaman untuk memilih pemimpin mereka berdasarkan darah keningratan ataupun sejarah kekeluargaan.

Sementara, kelompok yang mengusung paham pemimpin sebagai sosok yang diciptakan atau dibentuk (made), akan merasa lebih pas untuk menentukan pemimpinnya berlandaskan kualifikasi pendidikan dan pola asuh lingkungan sekitar.

Serupa dengan pertanyaan di atas, kemasygulan yang sama pun muncul di benak saya tatkala memikirkan kontradiksi kampanye antara kelompok pro perjuangan dan pro amanah.  

Apakah kepemimpinan sejati adalah sebuah hasil perjuangan, ataukah sekadar takdir Ilahi? Apakah kepemimpinan sejati itu harus diperebutkan ataukah sekadar dianugerahkan?

Memikirkan hal ini, seketika saya teringat dengan prinsip paradoks, yang berupaya mempertemukan dua hal yang kelihatannya berbeda.

Prinsip paradoks mengajak kita berpikir dalam kerangka this and that, bukannya either this or that. Dengan demikian, sangat mungkin kepemimpinan sejati adalah sekaligus hasil perjuangan dan anugerah amanah.

Harus Ikhlas

Sekadar contoh, sosok-sosok seperti Nelson Mandela, Dalai Lama dan Mahatma Gandhi sudah menunjukkan ciri paradoksal di dalam kepemimpinan mereka.

Ada ciri perjuangan sekaligus amanah. Mereka berjuang menjadi pemimpin bangsanya, namun sekaligus juga diakui rakyatnya sebagai sosok yang diberi amanah Ilahi untuk menuntun mereka.

Mereka berjuang dengan cara menjunjung tinggi etika kemanusiaan dan demi kemaslahatan rakyat, sehingga kepemimpinan mereka menjadi amanah adanya.

Demikian pula, rakyat percaya bahwa amanah diturunkan secara layak kepada mereka, karena tak ada sifat lapar kekuasaan dan haus kekerasan dalam ikhtiar perjuangannya.

Moralitas kemanusiaan dan kemaslahatan rakyat banyaklah yang mempertemukan sifat perjuangan dan amanah dari sebuah ikhtiar kepemimpinan.

Dan, kepemimpinan yang diperjuangkan secara amanah adalah sebuah titipan, bukannya hak dari sang pemimpin tersebut.

Oleh karenanya, saya merasa heran, di tengah hiruk pikuk kampanye, ada yang berteriak lantang, “Saya ingin menjadi pemimpin, karena itu adalah amanah!”, namun di lain pihak ngotot berjuang untuk merebut kepemimpinan.

Ngotot adalah ciri dari perjuangan memburu kekuasaan, dan acap mengandung pemaksaan dan kekerasan. Padahal, kepemimpinan sejati tidak keukeuh berburu kedudukan, dan utamanya memuliakan semangat kemanusiaan.

Jika kepemimpinan sejati adalah sebuah amanah, semestinya itu ikhlas adanya.           ◆

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP) Negosiasi & Mediasi Penagihan yang Efektif Guna Menangani Kredit / Piutang Macet

[X]
×