Reporter: Harian Kontan | Editor: Tri Adi
Behavioral finance mulai diperbincangkan sesaat setelah Daniel Kahneman menulis artikel tentang teori prospek pada tahun 1979, yang menjadikannya psikolog pertama dan satu-satunya peraih nobel ekonomi (2002). Dua tahun setelah itu, pakar keuangan terkemuka dari Yale University, Robert Shiller, juga menulis artikel yang tidak kalah hebatnya, karena berani menentang hipotesis pasar efisien, aliran utama ilmu keuangan sejak dekade 70-an, dalam artikel dan buku-bukunya yang memberikan dia Nobel ekonomi tahun 2013.
Terakhir, Richard Thaler, seorang tokoh behavioral finance lainnya, kembali memperoleh Nobel ekonomi pada tahun 2017. Thaler menguraikan bagaimana keputusan ekonomi dipengaruhi oleh tiga aspek psikologi manusia, yaitu keterbatasan kognitif, yang memperbaiki teori bounded rationality, pengendalian diri, dan preferensi sosial.
Kali ini, saya ingin mengupas mengenai kontribusi kedua Thaler, yaitu bias emosional pengendalian diri.
Menurut behavioral finance, investor ritel kerap melakukan kesalahan dalam keputusan keuangannya. Bias-bias behavioral ini dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu kognitif dan emosional. Bias kognitif bersumber dari penalaran yang salah, sehingga informasi yang lebih baik dan nasihat dapat menghilangkannya. CFA Institute membagi bias kognitif jadi dua kelompok lagi, yaitu bias belief perseverance (terlalu berpegang teguh pada pandangan sendiri) dan bias information processing (ketidakmampuan mengolah informasi).
Sementara itu, bias emosional berasal dari intuisi dan dorongan hati daripada kalkulasi sadar, sehingga sulit untuk diperbaiki. Seperti bias emosional lainnya, bias self control ini juga tidak mudah untuk diatasi.
Bias self control membuat banyak orang sulit mencapai tujuan jangka panjang karena memprioritaskan kesenangan dan kepuasan yang lebih kini. Bias emosional ini menyebabkan sebagian besar pekerja tidak mempunyai dana pensiun yang cukup, karena tidak bersedia menurunkan gaya hidupnya ketika masih usia produktif.
Jangankan untuk jangka panjang, untuk tujuan jangka menengah seperti menyiapkan biaya kuliah anak, dana studi magister untuk diri sendiri, atau membeli mobil baru yang diidamkan, banyak yang tidak dapat merealisasikan.
Tanpa pengendalian diri dan menunda konsumsi sekarang, investasi untuk masa depan hanyalah ilusi. Tidak sedikit karyawan yang bahkan tidak mampu melunasi utang jangka pendek berbiaya tinggi seperti utang kartu kredit atau KTA, karena tidak bisa menguasai dirinya. Berbeda dengan bias kognitif, mereka yang mengalami bias ini sadar akan kesalahan yang mereka lakukan. Akan tetapi, mereka juga tidak kuasa untuk membebaskan diri.
Mahasiswa yang ingin memperoleh nilai bagus juga mengalami bias ini. Mereka kerap gagal karena tidak dapat menahan diri untuk menghilangkan kebiasaan bermalas-malasan dan menunda belajar. Bukannya menghabiskan waktu dengan membaca dan latihan soal untuk persiapan ujian, mereka justru lebih sering nongkrong di kafe atau pergi ke mal, main game dan bermedsos ria.
Padahal waktu yang sudah terlewat tidak akan pernah kembali dan tidak dapat dibeli. Penyesalan tentu menyergap mereka begitu melihat hasil semesteran jelek. Namun, mereka kembali mengulanginya di kesempatan lain.
Bias ini juga melanda banyak wanita yang keranjingan belanja barang yang tidak dibutuhkan, karena tergiur tawaran big sale. Dengan belanja saat diskon besar, mereka merasa memperoleh dua kepuasan sekaligus, yaitu acquisition utility dan transaction utility.
Utilitas akuisisi berhubungan dengan kesenangan karena memperoleh sebuah barang. Sementara utilitas transaksi adalah kebahagiaan yang diperoleh pembeli dari transaksi (deal). Kepuasan transaksi timbul dari perbandingan harga aktual dengan harga referensi. Yang biasanya jadi harga referensi adalah harga normal barang atau harga sebelum diskon. Beberapa penjual memahami faktor psikologis ini. Mereka pun memasang diskon untuk barang-barangnya sepanjang tahun untuk memuaskan konsumennya.
Anda lebih suka membeli pakaian yang berharga Rp 500.000 dengan diskon 20% daripada yang seharga Rp 400.000 tanpa diskon, bukan? Namun, saya lebih suka menjadi orang yang membayar US$ 2 untuk barang bernilai US$ 1 yang saya butuhkan, daripada menjadi orang yang membayar US$ 1 untuk barang bernilai US$ 2 yang saya tidak perlukan. Ada pepatah kuno untuk ini. Jika Anda membeli barang yang tidak Anda butuhkan, pada waktunya Anda harus menjual barang yang Anda perlukan.
Pemegang kartu kredit juga tidak sedikit yang terkena bias ini. Mereka yang bersedia membeli barang dengan menggesek kartu kredit dan cenderung tidak jadi membelinya jika harus membayar tunai. Ini salah persepsi dan juga bias self control. Kartu kredit masih dilihat sebagai alat utang, padahal yang benar adalah alat bayar. Jika Anda masih mengalami bias self control bilamana ada kartu kredit di dompet, saran saya jangan bawa kartu kredit Anda sewaktu pergi ke mal.
Sulitnya self control juga menghinggapi mereka yang kelebihan berat badan (obesitas). Padahal formula diet mudah saja, yaitu seimbangkan kalori masuk dengan keluar. Jika Anda tidak suka berolahraga karena malas (self control lain) atau tidak punya waktu, kurangi makanan Anda. Jika Anda tidak bisa menyetop hobi menyantap banyak makanan dan kue, perbanyak olahraga atau kegiatan yang membakar kalori. Dua jam sebelum tidur usahakan tidak makan berat.
Pengalaman saya tinggal di asrama mahasiswa selama satu semester di kampus sebuah universitas di Amerika zaman muda dulu, makan malamnya disediakan di dining hall mulai pukul 4.30 hingga 6.00. Ini untuk membiasakan para mahasiswa tidak makan malam setelah jam 6 sore.
Terakhir, jika Anda terpengaruh iklan di media atau ingin dipandang eksis sehingga mengganti mobil setiap tiga tahun dan telepon genggam 1-2 tahun sekali, Anda positif mengalami bias self control.♦
Budi Frensidy
Staf Pengajar FEB-UI
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News