kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45982,54   -7,83   -0.79%
  • EMAS1.222.000 0,41%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%
KOLOM /

Bias representatif yang distortif


Senin, 18 Februari 2019 / 15:53 WIB
Bias representatif yang distortif


Reporter: Harian Kontan | Editor: Tri Adi

Ketika membeli saham di pasar modal, banyak investor gagal membedakan antara saham bagus dan perusahaan bagus. Hersh Shefrin, ahli behavioral finance, dalam penelitiannya menemukan, bahkan investor berpengalaman sekalipun menilai saham bagus atau jelek berdasarkan bagus atau jeleknya perusahaan.

Saham bagus tidak sama dengan perusahaan bagus. Saham yang bagus (good stocks) adalah saham berharga bagus atau saham yang menjanjikan return yang besar di masa depan. Sedangkan perusahaan bagus (good company) ukuran sederhananya adalah perusahaan yang mempunyai rating yang bagus, minimal tripel B sebagai batas rating layak investasi.

Sementara itu, majalah Fortune mendefinisikan perusahaan bagus sebagai perusahaan yang mempunyai sifat berikut: manajemen bermutu, produk dan jasa berkualitas, inovasi tinggi, keuangan sehat, tanggung jawab sosial tinggi, penggunaan harta perusahaan bijak (good governance), dan sumberdaya manusia yang kompeten.

Berdasarkan jawaban 8.000 eksekutif senior terhadap 311 perusahaan di 32 industri pada periode tahun 1990-an, Fortune menemukan kalau perusahaan dengan sifat-sifat di atas umumnya perusahaan besar (big cap) dengan rasio nilai buku terhadap nilai pasar yang rendah.

Mengapa banyak investor menganggap saham bagus adalah saham dari perusahaan bagus? Kahneman dan Tversky menyebut kejadian ini sebagai bias representatif. Bias ini berhubungan dengan fenomena manusia yang seringkali mengambil keputusan berdasarkan stereotype.

Banyak dari kita menemui contoh bias ini dalam kehidupan sehari-hari. Anak-anak dari orang tua yang pendek dipercaya akan juga pendek, calon pelamar kerja yang indeks prestasinya (IPK) tinggi (rendah), dianggap akan berprestasi tinggi (rendah) juga dalam pekerjaannya.

Yang sebagian besar orang abaikan dalam kasus anak dengan orang tua yang pendek adalah pada masa orang tuanya, ekonomi mungkin begitu sulit dengan penghasilan pas-pasan dan keluarga umumnya masih besar, sehingga gizi dan kualitas kehidupan marjinal. Ini tentu berbeda dengan zaman si anak sekarang. Begitu juga dalam kasus pelamar kerja yang tidak diterima karena ber-IPK rendah. Tidak pernah diperhitungkan kemungkinan nasib sial atau kondisi ekonomi dan emosi si calon pelamar yang belum stabil ketika berkuliah.

Dikaitkan dengan saham, perusahaan bagus dianalogikan dengan lulusan ber-IPK tinggi dan perusahaan jelek dengan yang ber-IPK rendah. Sedangkan return saham disamakan dengan prestasi kerja. Dengan pendekatan stereotyping seperti ini, perusahaan bagus diharapkan memberikan return yang bagus atau menjadi saham bagus.

Ada pengabaian

Bias representatif termasuk bias kognitif. Ada dua macam bias representatif dalam literatur behavioral finance, yaitu base-rate neglect dan sample-size neglect. Pandangan bahwa saham dari perusahaan bagus selalu bagus untuk dikoleksi dan orang yang ber-IPK tinggi diprediksi akan sukses dalam kariernya adalah contoh bias base-rate neglect, yaitu kecenderungan untuk mengandalkan sterotyping yaitu mengelompokkan sesuatu berdasarkan persepsi umum dan melupakan base rate. Contoh lain bias ini adalah membeli saham IPO akan mendapatkan untung abnormal; mahasiswa yang sangat berprestasi dan ber-IPK tinggi adalah yang kutu buku, introvert, dan berkacamata tebal; orang Minang dan orang Tionghoa jago berdagang.

Di sisi lain, ada bias representatif karena mengabaikan ukuran sampel atau sample-size neglect. Ketika mengevaluasi kinerja reksadana saham atau kompetensi analis saham, banyak pemilik dana hanya mendasarkan pada kinerja setahun atau beberapa tahun terakhir. Ukuran sampel yang kecil ini sejatinya tidak cukup sebagai dasar menilai dan untuk mengambil keputusan, karena mungkin disebabkan karena faktor keberuntungan atau pasar yang sedang bullish. Mestinya menggunakan the law of large numbers, banyak orang memakai dan percaya the law of small numbers, untuk mudahnya.

Studi Quantitative Analysis of Investor Behavior tahun 2003 oleh Dalbar menunjukkan, investor mengejar reksadana saham yang mampu memberikan return tinggi. Tetapi ketika terjadi penurunan kinerja di tahun berikutnya, mereka melepaskan dan menggantinya dengan yang lain. Investor bertingkah laku seperti ini, akhirnya hanya memperoleh return tahunan 2,57% selama 1984 hingga 2002 saat S&P 500 mampu memberikan 12,22% per tahun. Return serendah ini tidak cukup untuk kompensasi inflasi tahunan di sana yang 3,13% p.a.

Studi lain oleh Vanguard Investments Australia yang diterbitkan Morningstar memberikan hasil yang menarik. Sepak-terjang lima reksadana terbaik selama periode 1994 hingga 2003 dianalisis. Ternyata, hanya 16% dari yang terbaik itu dapat mempertahankan posisi 5 terbaik pada tahun berikutnya. Rata-rata return mereka 15% lebih rendah di tahun berikutnya dan nyaris tidak mampu mengalahkan pasar (hanya 0,3% lebih baik). Lebih mengagetkan lagi, 21% dari 5 terbaik itu berhenti beroperasi 10 tahun setelahnya.

Hasil studi di atas konsisten dengan penelitian Fan & Addams (2012) dan Kahn & Rudd (1995), bahwa kinerja reksadana saham tidak konsisten antartahun. Penelitian saya tahun lalu menggunakan data reksadana saham di Indonesia selama 10 tahun terakhir juga memberikan kesimpulan yang sama, baik ketika kinerja dilihat secara tahunan, tiga tahunan, maupun lima tahunan. Intinya, setiap tahun itu spesial dan reksadana saham pemenang di sebuah periode sering kali tidak mampu mengulangi kemenangan di periode berikutnya.•

 Budi Frensidy
Penulis Buku Gesit dan Taktis di Pasar Modal Berbekal Behavioral Finance

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Mastering Financial Analysis Training for First-Time Sales Supervisor/Manager 1-day Program

[X]
×