kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.249.000 2,21%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%
KOLOM /

Capitalism overreach


Senin, 07 Januari 2019 / 17:29 WIB
Capitalism overreach


Reporter: Tabloid Kontan | Editor: Mesti Sinaga

KONTAN.CO.ID -  Dalam bukunya yang provokatif, The Upside of Irrationality (2010), Dan Ariely, seorang guru besar psikologi dan ekonomi perilaku di Duke University, menguak beberapa irasionalitas sifat dan perilaku manusia.

Selain mendatangkan konsekuensi negatif, ternyata sifat irasionalitas juga telah ikut mendorong produktivitas manusia dan menggerakkan kompetisi ekonomi.

Sebagai contoh, perangkat iPads, mobil Ferrari, furnitur Da Vinci dan tas Dolce & Gabbana adalah produk-produk aspiratif yang berhasil menghadirkan kemewahan sebagai kebutuhan  pada masa kini.

Saking irasionalnya, orang tak mampu lagi membedakan antara kebutuhan (needs) dan keinginan (wants), ataupun antara kekhawatiran (worry) dan kecemasan (anxiety)

Ideologi kapitalisme berhasil mengeksploitasi sifat irasionalitas manusia dengan cara menyediakan kendaraan bernama kompetisi. Atas nama kompetisi, semua orang mengeksploitasi sifat dasarnya sebagai manusia, yaitu rasa takut (fear) dan rakus (greed) menjadi energi psikis yang dahsyat.

Tak dapat dipungkiri, bahwa energi yang luar biasa tersebut telah mendorong lahirnya inovasi, produktivitas dan dayang saing. Namun, pada saat yang bersamaan, diam-diam juga telah menggerogoti pengertian manusia akan substansi kehidupan itu sendiri.

Cerita berikut menjadi ilustrasi yang menarik bagaimana makna kehidupan manusia bisa tergerus arus besar kapitalisme.

Suatu saat, sejumlah alumni suatu universitas terkemuka memutuskan untuk mengadakan reuni. Mereka pun sepakat untuk berkumpul di rumah seorang profesor, sosok yang mereka kagumi dan hormati saat kuliah.

Saat bertemu, berbagai topik mereka obrolkan dalam suasana yang ceria dan riang gembira. Hingga, pembicaraan pun beralih ke arah keluh kesah.

Mereka - para alumni yang terbilang sukses dalam pekerjaan dan kariernya masing-masing - menceritakan pengalaman pekerjaan dan kehidupan yang penuh tekanan (stress) dan kecemasan.

Ternyata, kesuksesan yang mereka raup tak sanggup menutupi tekanan hidup yang mereka hadapi.

Sang profesor terdiam, lalu berkata, “Saya akan hidangkan minuman untuk kalian.” Ia pergi ke dapur, dan kembali bersama satu pot kopi besar dan beberapa cangkir.

Ada berbagai macam cangkir yang disediakan. Ada yang terbuat dari plastik, gelas kaca, porselen, hingga kristal. “Silakan, tuangkan kopi itu ke cangkir kalian masing-masing!”

Para mantan mahasiswa itu pun segera mengambil cangkirnya masing-masing dan menuangkan kopi.

Saat tamunya sedang menyeruput kopi, sang profesor  kembali berujar. “Lihatlah, kalian berlomba-lomba untuk mengambil cangkir yang mewah, dan meninggalkan cangkir yang murah. Kalian ambil yang indah, dan menyisakan yang biasa saja.  Ini serupa dengan apa yang terjadi dalam hidup kalian selama ini.”

Para tamu terdiam, dan memang benarlah yang dikatakan guru mereka. Cangkir kristal dan porselen terambil semua, sementara yang dari plastik tak diacuhkah sedikitpun.

“Itulah sumber masalah hidup kalian,” tambahnya. “Padahal, kita semua tahu, bukankah cangkir sama sekali tidak menambah atau mengurangi kualitas kopi? Lupakah kalian, bahwa yang kalian inginkan adalah kopi, bukan cangkirnya? Bahkan, bagusnya cangkir terkadang menyembunyikan apa yang kita minum. Tapi kalian secara sadar mengambil cangkir yang elok, dan saling melirik cangkir yang didapatkan oleh teman lainnya!”  

Ucapan profesor itu sontak membuat orang-orang sukses di hadapannya tertegun. Sebagian mengangguk, bahkan juga ada yang menunduk tak sanggup berbalas kata.

Lupa substansi

Pembaca, minuman kopi laksana hidup manusia itu sendiri. Capaian kedudukan, karier, posisi, status sosial ibarat cangkirnya. Cangkir, tak lebih tak kurang, hanya sarana untuk mewadahi kopi; hidup kita sendiri.

Bagusnya cangkir tak pernah sungguh-sungguh menunjukkan kualitas hidup kita yang sejati. Terlalu konsentrasi pada cangkir justru membuat kita lupa untuk menikmati kopinya.

Ideologi kapitalisme telah bekerja melampaui batas dugaan manusia, yang oleh beberapa pengamat disebut sebagai fenomena capitalism overreach.

Capitalisme overreach membuat manusia tak sadar akan batas kemampuan dan kepantasan dirinya, tak sanggup lagi membedakan antara:  kebutuhan dan keinginan, kekhawatiran dan kecemasan, sama  halnya dengan kopi dan cangkir.

Singkat cerita, capitalism overreach membuat kita terbiasa hidup dengan mengikuti sensasi, dan alpa memikirkan substansi. 

Dan, kata sang profesor di atas, dari situlah persoalan hidup manusia dimulai.                                      ◆

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×