Reporter: Tabloid Kontan | Editor: Mesti Sinaga
KONTAN.CO.ID - Hari Senin, 19 November 2018, menjadi hari yang sungguh kelabu bagi Carlos Ghosn dan tiga perusahaan raksasa otomotif yang dipimpinnya, Nissan, Renault dan Mitsubishi.
Seorang pemimpin bisnis otomotif dunia (yang nyaris menjadi legenda karena kehebatan visi dan sepak terjang eksekusinya) ditahan di Jepang atas tuduhan telah melakukan tindakan kecurangan finansial selama bertahun-tahun.
Lewat investigasi internal, perusahaan Nissan menyatakan Ghosn terbukti telah memanipulasi nilai penghasilannya dan juga menyalahgunakan aset perusahaan.
Berikutnya, tak pelak lagi, dewan direksi perusahaan Nissan pun diminta untuk segera mencopot jabatan Ghosn di perusahaan Nissan sebagai chairman.
Tak butuh waktu lama, satu hari sesudah penahanan Ghosn, harga saham tiga perusahaan otomotif yang dipimpinnya anjlok secara signifikan.
Asal tahu saja, tak tanggung-tanggung, Ghosn pada saat yang bersamaan juga menjadi chairman dari Renault dan Mitsubishi Motors.
Karena, tak dapat dipungkiri, dia adalah orang di balik aliansi masif sekaligus unik tiga raksasa otomotif tersebut, yang secara keseluruhan mempekerjakan 470.000 karyawan, mengoperasikan 122 pabrik sekaligus juga menjual 10,61 juta unit kendaraan sepanjang tahun 2017.
Banyak rekan, utamanya yang bergelut di dunia otomotif, tiba-tiba mempertanyakan peristiwa ini. “Kok bisa ya, seorang Carlos Ghosn melakukan hal ini?”
Pertanyaan ringkas tersebut muncul bertubi-tubi dari banyak kalangan, mengingat kehebatan dan kredibilitas sang titan industri otomotif dunia tersebut. Peristiwa ini tampak begitu naif, dan tak semestinya terjadi pada tokoh sekaliber Ghosn.
Beberapa analisa pun muncul bersliweran, mulai dari ketiadaan pengawasan eksternal terhadap jabatan seorang pemimpin yang menjadi super big boss (Maklumlah, Ghosn adalah orang nomor satu, yang secara struktural seperti tak memiliki tuan dan majikan lagi), hingga urusan instink kerakusan manusia yang dari sononya seolah tak berbatas.
Merenung sejenak, pikiran saya seketika teringat dengan sebuah novel bertajuk A Bridge Too Far yang ditulis oleh Cornelius Ryan pada tahun 1974.
Selanjutnya, begawan film Inggris, Richard Attenborough, pada tahun 1977 mengangkat kisah di novel tersebut ke layar lebar dengan judul yang sama.
Walaupun tak terlalu sukses di Amerika, film ini disambut antusias oleh publik di Eropa. Idiom a bridge too far muncul pada masa Perang Dunia ke II, saat pasukan sekutu gagal dalam misi penyerangan bernama Operation Market Garden.
Operasi ini ditujukan untuk mengambil-alih sejumlah jembatan di Belanda, yang waktu itu dikuasai oleh tentara Nazi Jerman.
Selama operasi berlangsung, pasukan sekutu memang berhasil menguasai dan melintasi beberapa jembatan yang ditargetkan, namun gagal menaklukkan sebuah jembatan di wilayah Arnhem.
Akibatnya fatal, karena banyak tentara sekutu yang akhirnya terjebak dan menjadi korban militer Nazi. Lebih dari 15.000 orang menjadi korban dalam tragedi tersebut, entah itu meninggal dunia, luka parah ataupun hilang tak jelas arah.
Terlalu ambisius
Konon, salah satu pemimpin utama dalam operasi tersebut yang juga menjabat sebagai Wakil Komandan Angkatan Udara Sekutu - I, Letnan Jenderal Frederick Browning, sedari awal sudah menyuarakan keraguan akan keberhasilan misi tersebut.
Sebelum operasi dimulai, Browning bertutur skeptis kepada Marsekal Bernard Montgomery, sang arsitek operasi militer tersebut, “I think we may be going a bridge too far”.
Dalam perhitungannya, target operasi tersebut terlalu ambisius, dan hanya akan memukul balik tentara sekutu itu sendiri. Dan, pada kenyataannya, skeptisme sang Jenderal menemui kebenarannya.
Sejak dituangkan sebagai judul novel dan film layar lebar, frase a bridge too far sering dipakai banyak kalangan. Idiom tersebut tak semata hanya dikaitkan dengan strategi dan operasi militer saja, namun juga dalam kehidupan sehari-hari.
Kalimat ringkas ini acapkali digunakan untuk menggambarkan sikap seseorang yang terlalu ambisius dan percaya diri dalam menetapkan keputusan, hingga abai terhadap nilai etika dan lalai melakukan perhitungan rasional.
Padahal, sudah menjadi hakikat alamiah, semakin tinggi pohon menjulang, semakin kencang pula angin menerpa. Oleh karenanya, dibutuhkan akar yang menancap kuat di dalam dasar tanah, untuk menunjang kekokohan batang sang pohon.
Dan, akar itu adalah nilai-nilai etika yang bersemayam di sanubari setiap manusia. ◆
* Artikel ini sebelumnya sudah dimuat di rubrik Refleksi Tabloid KONTAN edisi 3- 9 Desember 2018. Selengkapnya silakan klik link berikut: Carlos Ghosn, Kok Bisa?
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News