kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.345.000 0,75%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%
KOLOM /

Forgive, not forget


Rabu, 09 Januari 2019 / 07:30 WIB
Forgive, not forget


Reporter: Tabloid Kontan | Editor: Mesti Sinaga

KONTAN.CO.ID - Mungkin di antara pembaca pernah mendengar kalimat berikut, “saya memaafkan, tapi bukan berarti melupakan”. Bahasa kerennya, forgive but not forget.

Saat mendengar kalimat seperti itu, kita sering berpikir bahwa itu adalah sikap dari seorang pemaaf yang basa-basi; pemaaf yang sesungguhnya masih mendendam, namun berpura-pura untuk memaafkan. Benarkah demikian halnya?

Secara psikologis, memaafkan pada dasarnya adalah sebuah pilihan sikap. Dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu, seseorang bisa memutuskan akan memaafkan atau tidak.

Sementara melupakan adalah suatu kenyataan pikiran. Seseorang tidak serta merta bisa memutuskan untuk melupakan isi pikirannya, karena kemampuan mengingat (dan melupakan) adalah talenta yang diberikan Tuhan kepada setiap manusia; tentu dengan takarannya masing-masing.

Dengan demikian, forgive but not forget sesungguhnya bukanlah sikap memaafkan yang penuh basa-basi. Tak perlu merasa tersinggung atau sedih, jika ada orang yang bertutur seperti itu kepada kita.

Memang demikianlah halnya kenyataan pikiran manusia, seperti yang diilustrasikan dengan sangat baik dalam kisah di bawah ini.

Alkisah, suatu saat, ada seorang anak pemarah alias high-tempered yang mengadu kepada ayahnya. Tuturnya, “Ayah, banyak orang mulai tidak suka padaku. Aku ingin menjadi orang yang disukai teman-teman. Aku ingin menghilangkan sifat pemarahku yang jelek ini. Namun, caranya bagaimana, Yah?”.

Dengan takzim ayahnya menjawab, “Ayah sangat senang mendengar keinginanmu, Nak. Sekarang, coba engkau cari dan kumpulkan sekantung paku”.

“Untuk apa, Yah?” sahut sang anak seketika. “Sudahlah, nanti engkau juga akan tahu, anakku”, Ayahnya membalas sambil tersenyum bijak.

Dengan bekal sekantung paku, sang ayah meminta anaknya untuk menancapkan satu paku ke batang pohon di depan rumahnya, setiap kali si anak marah.

Baru saja dicoba, hari pertama anak itu telah menancapkan 25 paku! Artinya, ia sudah marah sebanyak 25 kali. Bukannya kaget, sang ayah justru tersenyum dengan paku-paku yang telah ditancapkan anaknya tersebut.

Selanjutnya, pada hari kedua, si anak menancapkan 15 paku ke batang pohon. Secara keseluruhan, hanya dalam dua hari, sudah ada 40 paku yang tertancap kuat.

Pada hari ketiga, paku yang ditancapkan hanya 5 buah. Berkurang cukup jauh dari hari-hari sebelumnya. Dan, pada hari ke empat, tidak ada paku yang ditancapkan lagi. Dengan demikian, saat ini ada 45 paku yang tertusuk ke dalam batang pohon.  

Sang ayah melihat dengan jelas kesungguhan sang anak untuk mengubah dirinya. Ia begitu gembira, dan berkata kepada anaknya, “Nak, ayah senang dengan tekadmu untuk berubah.

Sekarang ayah minta agar setiap kali engkau bisa menahan amarahmu, engkau cabut satu paku yang sudah tertancap di batang pohon itu”. “Baiklah, Yah. Aku akan lakukan”, demikian jawab anaknya serius

Mengolah kemarahan

Hari-hari berikutnya, si anak berhasil menahan rasa amarah. Seiring berjalannya waktu, maka paku-paku yang tertancap di batang pohon juga bisa tercabut semuanya.

Sang ayahnya pun berkata penuh hikmat, “Anakku, lihatlah engkau telah berhasil menahan amarahmu. Engkau telah berhasil mengalahkan “dirimu” sendiri. Tapi..., lihatlah lubang-lubang itu tetap menganga di batang pohon. Seperti halnya engkau menusukkan belati kepada seseorang; berapa kali pun engkau meminta maaf, luka itu akan tetap ada. Persis seperti lubang-lubang bekas paku yang ada di hadapanmu saat ini”.

Saya jadi teringat dengan nasihat Mahaguru Zen Buddhism, Thich Nthat Hanh, tentang perkara mengelola kemarahan ini.

Nhat Hanh menganalogikan emosi kemarahan seperti sebuah kentang mentah. Kita tentu tak bisa makan kentang mentah, namun juga kita tak boleh membuangnya hanya karena itu mentah.

Kita bisa  memasaknya, agar menjadi makanan layak santap. Jadi, kita memasukkannya ke dalam sepanci air, memasang tutupnya, dan selanjutnya menaruh panci itu di atas api.

Saat pemanasan dilakukan, perubahan pun terjadi. Perlahan tapi pasti, kentang itu menjadi semakin empuk, mengeluarkan bau harum yang menggoda, dan oleh karenanya layak disantap.

Seperti halnya kentang yang harus dimasak, emosi kemarahan pun perlu dikelola dengan baik. Mengekspresikan emosi kemarahan dengan begitu saja, ibarat menancapkan paku ke batang pohon.

Bisa saja paku itu dicabut dengan sejuta permohonan maaf, namun toh, lukanya akan tetap menganga  lama.                                         ◆

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×