kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45935,34   -28,38   -2.95%
  • EMAS1.321.000 0,46%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%
KOLOM /

Greed is good


Jumat, 08 Januari 2021 / 14:40 WIB
Greed is good
ILUSTRASI. Ellen May, Pengamat Pasar Modal dan pendiri Ellen May Institute.


Reporter: Harian Kontan | Editor: Harris Hadinata

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Greed is good jika investor tahu kapan waktunya untuk mulai “serakah” dan kapan waktunya untuk menahan diri. Greed is good jika investor tahu alasan “greedy” adalah karena munculnya peluang, bukan sekedar nafsu atau emosi.

Greed yang rasional akan menguntungkan. Greed yang emosional, tidak hanya akan menghancurkan portofolio investasi, namun juga hidup secara keseluruhan.

Bicara tentang greed, saya punya pengalaman berharga sejak tahun 2008 hingga 2020 lalu. Pengalaman ini bisa jadi bekal untuk ke depannya, kapan harus “greedy” dan kapan harus mengerem diri.

Masih jelas dalam ingatan saya, di 2007, pasar saham terus bergerak naik. Indikator perekonomian pun menunjukkan perekonomian di Indonesia dan di Amerika saat itu sedang panas-panasnya.

Saat itu angka pertumbuhan ekonomi Indonesia di level 6,3%, yang merupakan tertinggi sejak tahun 1996. Tingkat inflasi waktu itu di angka 6,59%.

Siapa yang menyangka krisis finansial akan menghantam di 2008 dan pergerakan harga saham di Amerika porak-poranda karena krisis subprime mortgage, bahkan berdampak juga di negara lain, termasuk Indonesia. Waktu itu, IHSG turun lebih dari 60%.

Di masa kelam itu, semua orang ketakutan dan tidak berani membeli saham. Namun, justru saham yang saya sempat beli di akhir 2008 berbuah hingga 1.600% di 2013.

Pengalaman tersebut membuat nasihat dari Warren Buffet “be greedy when others are fearful, be fearful when others are greedy” terngiang di benak saya hingga hari ini. Bahkan sangat membantu saya dalam mengambil keputusan investasi di 2020.

Di 2020 lalu, pasar saham bergerak sangat volatil, memberi warna berbeda buat investor saham pada umumnya, dan buat saya khususnya sebagai investor, trader, juga pengajar. Jika di 2008 saya sibuk menenangkan diri, maka tahun lalu saya sibuk menenangkan komunitas yang panik saat harga saham jatuh. Juga sebaliknya, saya megingatkan untuk ngerem ketika sedang euforia.

Beberapa kali pasar saham turun tajam di 2020. Di Maret saat awal pandemi, IHSG sempat turun 31,67% dalam 14 hari. Di September IHSG anjlok 10,66% dalam tujuh hari.

Pada saat itu, investor sangat panik dan pesimistis pasar saham sedang memberi peluang bagus untuk menambah kekayaan, dengan membeli saham terdiskon. Padahal, momen tersebut adalah momen langka untuk berinvestasi dengan diskon extravaganza, setelah krisis subprime mortgage di 2008.

Namun sungguh tidak mudah meyakinkan investor untuk memanfaatkan peluang tersebut, di mana kondisi perekonomian di pertengahan 2020 sedang berat-beratnya. Semua indikator perekonomian, menunjukkan tanda melambat pada Maret–Juni 2020.

Ini terlihat dari data pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) yang menunjukkan pendapatan perkapita masyarakat Indonesia, anjlok 5,32%. Deflasi 0,10%-0,05% dari Juli-September, yang menunjukkan perekonomian bergerak melambat.

Indeks keyakinan konsumen (IKK) sempat anjlok ke angka 77,8 jauh dari batas angka 100. Angka di atas 100 artinya masyarakat optimistis.

Angka Purchasing Managers Index (PMI) Manufacturing sempat anjlok ke level 27,5 di April tahun lalu, menjadi yang terendah dalam 25 tahun terakhir. Angka PMI di atas 50 menunjukkan sektor manufaktur ekspansif.

Penjualan ritel turun 20,6%, penjualan mobil turun 89% bulan Mei dibanding April. Ditambah lagi kinerja perusahaan mulai berdarah-darah dengan berita PHK di mana-mana. Sepertinya enggak ada bagus-bagusnya buat investasi.

Ketika angka perekonomian mulai menanjak di September 2020 pun, tidak mudah bagi investor pemula untuk mulai berinvestasi. Indonesia masuk resesi dikarenakan PDB yang tumbuh negatif selama 2 kuartal berturut-turut.

Waktu itu saya melirik sektor properti, konstruksi dan ritel yang masih bervaluasi super terdiskon dibandingkan historikalnya. Tidak banyak yang tertarik dengan saham-saham tersebut karena kinerjanya di 2020 sangat terpukul pandemi.

Singkat cerita, setelah berjalannya waktu hingga Desember 2020, kini saham-saham tersebut sudah mulai bertumbuh dan berbuah. Terlampir grafik PBV beberapa saham di sektor properti dan konstruksi yang menunjukkan level bottom atau termurah di September 2020 dan saat ini masih cukup murah dibanding beberapa tahun sebelumnya.

BSDE PBV Band

CTRA PBV Band

WSKT PBV Band

PTPP PBV Band

Pada kuartal ketiga dan keempat 2020 lalu, nampak bahwa perekonomian sudah mulai mengalami recovery. Ini nampak dari angka pertumbuhan PDB, PMI manufaktur dan IKK, naiknya penjualan juga tingkat mobilitas masyarakat, meski pandemi belum usai.

Sumber : Tradingeconomics

Nampak dari gambar di atas bahwa PDB Indonesia mulai berangsur membaik, meski masih negatif pada kuartal III-2020, yang menunjukkan penghasilan per kapita dan kesejahteraan masyarakat membaik.

Indonesia Manufacturing PMI

Sumber : Tradingeconomics

PMI Manufaktur pun sudah melampaui angka 50 di 51,3 pada Desember. Artinya aktivitas manufaktur makin ekspansif.

Indonesia Inflation Rate Mom

Sumber : Tradingeconomics

Angka inflasi sudah meningkat menjadi 0,45 setelah sempat tiga bulan berturut-turut deflasi. Ini menunjukkan aktivitas ekonomi semakin panas.

Sumber : Tradingeconomics

Tingkat optimisme masyarakat yang ditunjukkan oleh IKK meningkat hampir mendekati angka 100. Jika IKK melampaui 100 artinya masyarakat cenderung optimistis.

Indonesia Retail Sales Yoy

Sumber : Tradingeconomics

Data penjualan ritel sudah mengalami peningkatan, menunjukkan aktivitas belanja masyarakat mulai meningkat.

Indonesia Total Car Sales

Sumber : Tradingeconomics

Data penjualan mobil pun terus merangkak naik sejak Mei, dan mencapai level tertinggi dalam delapan bulan terakhir di November 2020, sejak Indonesia terdampak pandemi pada April 2020 yang lalu.

Berbagai riset dari sekuritas dan pandangan dari teman-teman fund manager pun kompak meyakini di tahun 2021 ini akan terjadi demand boom. Ini seiring kondisi pandemi yang diprediksi akan membaik, dikarenakan vaksin sudah mulai didistribusikan.

Hal ini akan sangat berdampak positif bagi sektor komoditas, baik batubara, CPO, gandum, soybean, minyak dan gas.

Tidak hanya dari sentimen vaksin. Dari Amerika, kebijakan stimulus, rencana naiknya pajak perusahaan dan perorangan, serta rencana pelaksanaan green energy oleh Joe Biden juga menjadi katalis utama untuk menghijaukan pasar saham di 2021.

Di 2021, Indonesia juga secara khusus mendapat sentimen positif dari pelaksanaan Ombibus Law dan Sovereign Wealth Fund, yang akan berdampak positif bagi sektor konstruksi, infrastruktur dan industri semen.

Naiknya harga saham secara signifikan hingga Desember 2020 ini membuat valuasi saham sudah mulai meningkat. Belum bisa dibilang mahal, namun sudah masuk kategori fair value. Misalnya saja saham BBRI, APLN, SMGR, ADHI, KAEF

Hal ini membuat saya mulai mengantisipasi, faktor risiko apa sajakah yang berpotensi menjadi downside di 2021? Beberapa potensi risiko yang saya antisipasi untuk 2021 antara lain, pertama, vaksin Sinovac yang diimpor ke Indonesia memiliki efikasi rendah dibandingkan vaksin lain. Jika nanti pemberian vaksin tidak efektif, justru malah akan memberikan dampak negatif buat pasar saham.

Kedua, mutasi virus Covid-19, yang saat ini masih menjadi tanda tanya besar, apakah bisa tertanggulangi atau justru memperburuk situasi. Beberapa investor memutuskan mengabaikan kedua sentimen tersebut, terutama mutasi virus yang dianggap masih jauh, belum sampai di Indonesia.

Hal ini mengingatkan saya akan bagaimana respons masyarakat Indonesia ketika pandemi Covid-19 merebak di beberapa negara pada Desember-Februari 2020, di mana Indonesia memilih untuk tenang-tenang saja, daripada bersiap dan mengantisipasi, hingga akhirnya Covid-19 pun merebak tak terkendali saat ini.

Apa yang sebaiknya kita lakukan saat ini? Bolehkah terus menambah investasi? Atau haruskah kita mulai menahan diri? Bagaimana kita menyikapi, memanfaatkan peluang pasar saham terus naik, namun tetap terhindar dari risiko?

Salah satu kuncinya, be greedy when others are fearful, be fearful when others are greedy, sebagaimana dikatakan oleh Warren Buffett.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP) Negosiasi & Mediasi Penagihan yang Efektif Guna Menangani Kredit / Piutang Macet

[X]
×