kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.222.000 0,41%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%
KOLOM /

Hasil = proses?


Senin, 12 November 2018 / 22:32 WIB
Hasil = proses?
ILUSTRASI. Pengamat & Kolomnis Ekuslie


Reporter: Tabloid Kontan | Editor: Mesti Sinaga

KONTAN.CO.ID - Asian Games ke-18 telah berlangsung di Indonesia dari 18 Agustus hingga 2 September 2018. Terlepas dari kekurangan-kekurangan kecil yang ada, rasanya kita bersepakat bahwa penyelenggaraan pesta olahraga se Asia ini telah menghadirkan euforia yang luar biasa. Kita gembira karena pelaksanaannya  berjalan lancar dan meriah.

Kita juga dipenuhi rasa sukacita, karena banyak prestasi yang ditorehkan oleh atlet-atlet pejuang olahraga, dan akhirnya menempatkan Indonesia di urutan ke-4. 

Di tengah-tengah kegembiraan capaian prestasi tersebut, saya sering sekali mendengar kalimat “Memang, hasil tak pernah mengkhianati proses”. Kalimat itu acapkali terlontar dari mulut para atlet, komentator olahraga, pejabat terkait, hingga pengamat pada umumnya.

Mereka melontarkan kalimat tersebut dalam pengertian bahwa segenap “proses” (latihan, coaching, kompetisi dsb.) yang telah ditempuh oleh para atlet secara keras selama ini, diganjar lunas oleh capaian “hasil” yang gemilang (dalam hal ini medali, khususnya medali emas) yang diraih dalam event sekelas Asian Games.

Kalimat itu juga bermakna seakan-akan bahwa “proses” yang benar pasti mendatangkan “hasil” yang benar.

Mengapa? Karena, sekali lagi, hasil tak akan pernah mengkhianati proses.  Bersiap-siaplah untuk “menyesal dan marah dengan keadaan”, jika ternyata itu tak terjadi.

Artinya, walaupun sudah berjuang keras menjalani “proses”, tapi tak mendapatkan imbalan “hasil” yang sepadan. Benarkah demikian adanya?

Tentang penyesalan, saya teringat dengan sebuah gambar kartun yang menarik. Gambar itu menunjukkan seseorang yang dengan palu panjangnya sedang menggali perut bumi untuk mendapatkan emas.

Namun, setelah sekian lama menggali, ia pun berhenti dan balik badan meninggalkan lahan yang sedang ditambangi. Padahal, tak jauh setelah itu, bongkahan emas tengah menunggu kedatangannya.

Saya menduga, ilustrasi ini diilhami oleh kisah seorang “paman” di Amerika Serikat pada abad ke 19, saat negeri itu sedang dilanda “demam emas”.

Suatu hari, sang paman datang ke negara bagian Colorado untuk mengadu nasib. Dinaungi peruntungan yang baik, dalam beberapa hari pertama saja ia sudah menemukan bijih emas dalam jumlah besar. Lokasi tambangnya kemudian digadang-gadang sebagai salah satu lahan yang paling prospektif.

Optimisme ini tentu saja menimbulkan semangat yang menyala-nyala, sehingga sang paman kemudian ingin membeli dan mendatangkan mesin-mesin pengeboran yang baru.

Untuk keperluan pembelian alat-alat pengeboran tersebut, sang paman pun berkongsi dengan keponakannya yang bernama R.U. Darby. Karena tak punya modal, mereka bahkan berutang kanan-kiri kepada para tetangganya.

Apa mau dikata, setelah beberapa pekan melakukan pengeboran, jalur emas yang semula begitu menjanjikan, ternyata tak menunjukkan wujudnya.

Dengan penyesalan mendalam, mereka pun akhirnya memutuskan untuk menghentikan usaha pengeboran. Seketika itu juga, mereka meninggalkan lahan pengeboran dan menjual semua peralatan kepada seorang pedagang besi tua.

Pengalaman gagal

Berbeda dengan pedagang besi tua pada umumnya, pedagang yang satu ini cukup cerdas dan cermat untuk urusan bisnis. Ia mengundang seorang insinyur pertambangan untuk meninjau lahan pertambangan tersebut, dan memintanya untuk melakukan perhitungan ilmiah.

Di luar dugaan, ternyata hasil kalkulasi insinyur menunjukkan, hanya sekitar satu meter di bawah titik pengeboran berhenti, bijih emas dalam jumlah yang besar dan kandungan yang kaya sedang menunggu untuk dikeruk!

Karena Darby dan sang paman tak memiliki pengetahuan lengkap tentang dunia pertambangan, dan juga tak mengundang insinyur ahli untuk membantunya, mereka tampak begitu sial menghadapi kenyataan yang ada.

Namun, Darby tak berhenti pada kesialan yang dialaminya. Pengalaman kegagalan tersebut diubahnya menjadi pembelajaran yang mahal, dan kelak membuatnya berhasil membangun bisnis asuransi jiwa bernilai jutaan dolar.

Tentang kegagalannya ini, Darby suka berujar, “Saya memang berhenti satu meter dari tumpukan emas, tapi saya tak akan pernah berhenti hanya karena seseorang awalnya berkata “tidak” saat saya menawarkan polis asuransi”.

Kembali kepada pertanyaan awal di atas, sesudah bersua dengan kegagalan, pantaskah kita menyesal dan mengutuk keadaan?

Sesungguhnya, dalam kehidupan keseharian (termasuk urusan pekerjaan dan bisnis), ada hal yang kita bisa kendalikan, ada pula perkara yang tak dapat dikendalikan.

Bila “proses” sudah kita jalani dengan sebaik-baiknya, namun “hasil”nya belum sesuai dengan yang diharapkan, jangan buru-buru menyimpulkan bahwa terjadi “pengkhianatan” hasil atas proses yang telah dijalani.  

Karena , sesungguhnya “hasil” tak melulu dalam bentuk capaian prestasi, namun juga dapat berupa progres pembelajaran. Seperti yang dialami oleh Darby.                                   ◆

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Mastering Financial Analysis Training for First-Time Sales Supervisor/Manager 1-day Program

[X]
×