kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.347.000 0,15%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%
KOLOM /

Intelegensi pengelolaan krisis


Senin, 17 Desember 2018 / 19:23 WIB
Intelegensi pengelolaan krisis
ILUSTRASI. Pengamat & Kolomnis Ekuslie


Reporter: Tabloid Kontan | Editor: Mesti Sinaga

KONTAN.CO.ID -  Baru saja, bulan Agustus 2018, kota Lombok mengalami gempa berskala besar yang menelan ratusan korban jiwa.

Hanya sebulan berselang, Palu dan Donggala mengalami hal serupa, bahkan disertai tsunami dan likuifaksi. Korban jiwa yang ditimbulkan pun jauh lebih besar, yang hingga saat ini masih dalam proses perhitungan.

Gempa ataupun musibah alam lainnya (semisal gunung meletus, luapan banjir, dan sebagainya) yang dulu dirasakan jauh dari kita, saat ini tak dapat lagi dianggap fenomena di “seberang sana”.

Kenyataan bahwa negara Indonesia dikitari oleh ring of fire yang rawan dengan ancaman letusan gunung dan gempa bumi, membuat kita harus bersiap menghadapi potensi krisis.

Kita harus menerima fakta bahwa krisis bukan lagi sebuah perkara jika (if), melainkan kapan (when).

Tak jarang urusan krisis seperti ini tak terkelola dengan baik. Bahkan, saat memberikan pembekalan kepada para birokrat peserta Pelatihan

Kepemimpinan Nasional (PKN) Tingkat I pada tanggal 8 Oktober 2018, Wapres Jusuf Kalla secara khusus menyoroti manajemen krisis para kepala daerah dan pejabat birokrasi setempat.

Kesimpulan beliau, setiap terjadi bencana dan masyarakat sangat memerlukan, pemerintah seringkali tidak muncul. Justru pihak tentara yang lebih aktif mengambil peran pengelolaan krisis, yang semestinya dipikul oleh pemerintah daerah (Kompas, 9 Oktober 2018).

Beberapa perusahaan menyikapi potensi krisis ini dengan mempersiapkan contingency-plan dalam perencanaan bisnisnya. Bahkan, beberapa perusahaan juga telah menginstitusionalisasikan agenda business continuity plan (BCP). 

BCP ini bertanggung-jawab untuk memikirkan keberlangsungan operasi perusahaan bila mereka betul-betul menghadapi krisis.

Dan, ada pula yang melengkapinya dengan inisiatif risk-management (RM), yang mengantisipasi dan mengelola potensi resiko krisis dari setiap langkah operasional perusahaan.

Manajemen efektif
 

Langkah-langkah semisal BCP dan RM memang sangat penting dalam upaya manajemen krisis. Namun, manajemen krisis sesungguhnya tidak hanya menyangkut langkah teknis seperti itu.

Ian I. Mitroff – bapak manajemen krisis modern -, dalam bukunya Why Some Companies Emerge Stronger and Better from a Crisis (2005), mengungkapkan bahwa manajemen krisis adalah sesuatu yang bersifat sistemik.

Lebih dari sekadar langkah teknis, manajemen krisis menyangkut proses berpikir, sikap antisipatif, dan rencana tindakan dalam menghadapi potensi krisis yang dapat terjadi pada diri siapapun, bisnis apapun, dan di daerah manapun.

Manajemen krisis yang efektif, menurut Mitroff, memerlukan tujuh kompetensi yang diringkasnya sebagai tujuh IQ.

Pertama, emotional IQ, yakni kesanggupan untuk menyadari bahwa krisis dan bencana dapat terjadi setiap saat. Bila itu terjadi, jangan menghabiskan waktu dan tenaga untuk mempertanyakan mengapa.

Ini serupa dengan imbauan Denis Waitley untuk, “Expect for the best, plan for the worst, and prepared to be surprised”.

Kedua, creative IQ, yakni kemampuan untuk melihat krisis sebagai sesuatu yang tidak melulu merusak kehidupan. Dalam aksara China, krisis disebut wei jie, yang merupakan gabungan dari makna ancaman (wei) dan peluang (jie).

Kemampuan berpikir out of the box-lah yang mampu membuat kita melakukan transformasi krisis dari ancaman menjadi peluang.  

Ketiga, social and political IQ, yakni pemahaman bahwa sebuah bisnis/organisasi juga dipengaruhi oleh tantangan-tantangan yang bersifat sosial dan politik, yang sekilas tampak tak berhubungan langsung dengan perkara bisnis.

Keempat, integrative IQ, yakni kesadaran bahwa sebuah krisis sangat mungkin dipersepsi secara berlainan oleh stakeholders yang berbeda. Kesanggupan untuk mengintegrasikan segenap persepsi tersebut secara jernih akan membuat kita menghasilkan solusi yang tepat.

Kelima, technical IQ, yakni keterampilan untuk mengatasi krisis secara taktis. Untuk itu, sebuah institusi harus berani secara sadar mengintensifkan pengalaman krisis lewat rangkaian kegiatan pelatihan dan pembelajaran yang terencana baik.

Keenam, asthetic IQ, yaitu kesanggupan untuk menyesuaikan desain organisasi seturut perkembangan modus krisis. Desain organisasi haruslah responsif terhadap krisis zaman sekarang, sekaligus juga antisipatif terhadap potensi krisis di masa mendatang.

Terakhir, spiritual IQ, yakni kesanggupan menyatukan nalar (reason) dan rasa (emotion), untuk tetap dapat menemukan makna dan harapan atas kehidupan manusia di dunia.

Krisis acap meninggalkan keputusasaan dan ketidakberdayaan. Di situlah nalar yang jernih dan nurani yang bersih dapat ikut membangun harapan dan makna hidup yang baru.             ◆

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP) Negosiasi & Mediasi Penagihan yang Efektif Guna Menangani Kredit / Piutang Macet

[X]
×